Un

22.5K 588 8
                                    

"Jessie!" teriak ibuku memecah keheningan kamarku.
Sosoknya yang kurus muncul dari balik pintu bersama derap langkahnya yang menghentak-hentak. Menatapku setajam mata pisau sambil bertolak pinggang.
Aku mendongak membalas tatapan tajamnya dengan tatapan memelas.
"Jangan kau paksa aku lagi, bu. Aku lelah. Kasihanlah sedikit padaku. Aku ini anakmu... bukan robot. Aku sudah hilang hasrat untuk menjadi artis. Pekerjaan itu melelahkan, bu. Aku ingin jadi orang biasa saja."

Ibu menjerit kencang. "Anak tidak tahu diri! Kau pikir siapa yang membesarkanmu sampai menjadi seperti sekarang? Aku! Apa susahnya menuruti kemauanku, hah? Kau tahu kan bahwa sekarang ini kau sedang naik daun dan banjir tawaran mengisi acara. Seenak hati saja kau menolak semua tawaran itu dan mengatakan mengundurkan diri dari dunia hiburan pada pers?! Hutangku masih banyak, Jess!"

"Kau bisa membayarnya dengan tabunganku, bu. Aku punya cukup tabungan untuk kita hidup. Uangnya juga bisa digunakan membuka usaha. Aku bisa berbisnis."

"Memangnya sebanyak apa uangmu?! Pokoknya tarik kata-katamu kembali. Katakan pada pers bahwa yang kau katakan pagi tadi hanya gurauan. Ya Tuhan... Bisa hancur reputasimu jika kau berhenti jadi artis! Kau mau kita jadi miskin? Itu yang kau mau, hah?!"

Aku menggeleng kepala.
"Aku sudah memutuskan; aku takkan merubah keputusanku!"

Ibu langsung mencengkram tanganku dan menyeretku turun dari tempat tidur.
"Kalau kau membantah, aku tak segan-segan akan memukulmu. Dengarkan aku, Jess. Kalau kau bersikukuh ingin berhenti... aku bersumpah akan menikahkanmu dengan Youssef, produser itu." Kerutan-kerutan di wajahnya menciptakan kesan menakutkan ketika sedang marah.

Aku tercengang mendengarnya. Youssef Shivraj. Produser paling menjijikkan. Dia adalah satu dari sekian banyak pria yang terobsesi padaku. Tingkah dan kelakuannya juga sangat buruk. Lebih dari dua kali orang itu telah melecehkanku. Menikah dengannya sama saja seperti cara bunuh diri paling tolol. Tidak akan!

Setetes air mata terjatuh dari pelupuk mataku.
"Kau tahu, bu? Sekarang aku sudah paham. Bahwa aku bukan manusia di matamu, melainkan sebuah mesin. Mesin penghasil uang."

***

Mobilku berhenti di halaman rumah yang begitu luas. Aku menghela napas panjang sebelum keluar dari mobil.
Hembusan angin yang lembut menyapaku begitu aku keluar. Tanganku terangkat menahan silaunya cahaya matahari sore. Dari kejauhan dapat kulihat seseorang tengah melayangkan sebuah stik hendak memukul bola putih kecil berjarak beberapa inci di depan kakinya. Senyumku mengembang dengan sendirinya.
Tanpa membuang waktu lagi aku datang menghampirinya.

"Masalah tak pernah ada habisnya," katanya dengan keadaan aku lima meter di belakangnya. Seakan tahu betul siapa yang datang.

Aku terkekeh, melanjutkan langkahku sampai berdiri tepat di sampingnya. Bersamaan dengan pukulan keras stik golf yang mengenai bolanya. Bola malang itu pun terlempar jauh.

"Pukulan yang bagus," gumamku pelan.

Lelaki di sebelahku menolehkan kepalanya menatapku.
"Martha tidak ingin kau berhenti, eh?"

Aku tersentak kaget.
"Tahu darimana kau?" tanyaku heran.

Dia tertawa pahit, dan menatapku dalam.
"Aku menonton berita, kau menyatakan keluar dari dunia hiburan; Aku hanya berasumsi."

Jengkel rasanya mengetahui siapa lelaki di hadapanku ini. Hanya orang sibuk yang tidak tertarik menonton televisi. Apalagi menonton berita.
"Your asisten," dengusku.

It Will Be OkayWhere stories live. Discover now