"Nggak usah. Ada Pak Beni tuh di belakang."

"Pak Beni?"

"Dia yang biasa bantu nyetir kalau kita lagi pergi agak jauh." Jelas nenek. Aku hanya mengangguk paham.

"Kakek akan ajak cucu-cucu makan, terus kemana lagi ya Nek?" kakek menoleh ke arah istrinya.

"Beli mainan?" Nenek mencolek Asya dan gadis kecil itu mengangguk kesenangan. Aku tersenyum senang dengan pemandangan dan suasana saat ini. Aku bisa melihat nenek setengah meringis di antara senyumnya. Ia menghela napas sedikit panjang.

"Nenek baik-baik aja?" aku mendekatinya. Kuraih ranselku dari atas meja sambil duduk di sebelah nenek.

"Sedikit pusing aja."

"Ava tensi dulu ya." Aku mengeluarkan alat tensi portable yang memang selalu berada dalam tasku sejak aku di Ende.

"Ah...senangnya nenek punya dokter pribadi."

"Kak Lisa kan juga dokter, Nek."

"Iya sih...tapi Lisa bukan dokter siaga kayak gini." Nenek mencibir lucu dan membuatku tertawa.

"Bawahnya sedikit rendah, Nek. Atasnya normal." Kataku. "Nenek harus ditraktir makan enak, Kek." Aku menoleh pada kakek yang menjawabku dengan anggukan dan acungan jempolnya. Asya keluar dari kamar sambil menenteng ransel imutnya.

"Kak Ava nanti kita main di TimeZone ya...ummm...." Dia menggaruk-garuk ujung hidungnya tampak sedang berpikir. "Aca mau ke kidsnia juga deh."

"Kidzania?" aku mengoreksinya dan ia mengangguk cepat sambil tersenyum lebar.

"Ya udah ayuk, nanti kesiangan." Ajak kakek dan aku membantu nenek bangun kemudian kita berjalan keluar bersama. Nenek sempat menitip pesan pada Tina, asisten rumah tangga Kak Lisa, sebelum kami semua berangkat.

Asya bukan tipe balita yang tidak bisa diam. Gadis kecil ini mudah sekali diatur dan tidak rewel selama kami makan siang di sebuah restoran yang menurut kakek adalah restoran favoritnya dulu sebelum pindah ke Bogor. Sambil makan kakek dan nenek banyak menceritakan tentang riwayat sakit nenek dan juga rencana sekolahku di Jerman.

"Spesialis bedah jantung?"

"Iya, Kek. Papa meninggal karena jantung dan itu yang membuat Ava ingin jadi dokter spesialis jantung."

"Kakek yakin kamu akan jadi dokter hebat, Va." Puji kakek meski aku tahu pujian ini bagi orang lain terkesan biasa dan sedikit berbau basa-basi namun tidak bagiku. Sinar mata kakek saat mengucapkannya sungguh terlihat sangat yakin dan membuatku jauh lebih bersemangat untuk menggapai cita-citaku. Aku ingin kembali ke Negara ini dengan titel yang tentu saja akan sangat berguna bagi banyak orang dan terutama bagi orang-orang yang mencintaiku, mendukungku, yaitu keluargaku. Baru kali ini aku menyebut kata keluarga dengan percaya diri yang teramat besar meski itu hanya dalam hati saja.

"Timezone?"

"Yeeeeeiiiiyy..." Asya berseru kegirangan saat mobil mengarah ke sebuah mal yang tidak jauh dari tempat kami makan. Gadis kecil itu mulai akrab denganku. Ia senang berada di pangkuanku dan memainkan rambutku yang mulai memanjang. Aku memandangnya saat ia sedang tertawa kegelian akibat gelitikanku, entah kenapa saat melihatnya sekarang aku teringat dengan masa kecilku. Aku tidak bisa menggambarkan secara detil kemiripan apa yang dimiliki Asya dan aku namun suara tawanya dan barisan giginya yang mungil yang terlihat saat ini membuat semua kenanganku bersama Papa muncul.

Papa selalu ingin membuatku tertawa dengan cara apapun. Ketika ia pulang kerja dan melihatku hanya sendirian duduk di sudut dapur sambil memperhatikan mbok Imah memasak, ia akan segera mengangkat tubuhku dan menggelitikku hingga membuatku tertawa kegelian bahkan sampai mengeluarkan air mata. Papa yang selalu membuatku tertawa dan bertahan di rumah.

SAUDADE (Fly Me High) -  BACA LENGKAP DI STORIAL.COOnde histórias criam vida. Descubra agora