Journal 1

18.9K 1.6K 99
                                    

Gue bangun dengan lengan kekar memeluk perut gue. Senyum merekah saat menyadari siapa yang mendengkur halus di balik selimut yang menutupi pinggang hingga kakinya. Suami gue. Abizar.

Kalian tahu betapa kami mengalami perjalanan sulit sebelum akhirnya terlontar kata 'SAH' di depan penghulu kan? Gue tidak bisa mendefinisikan lagi arti bahagia yang saat ini gue lalui. Sangat sangat bahagia.

Sudah sebulan kami menikah. Tadi malam, kami baru sampai di Jakarta setelah melalui bulan madu di negeri Paman Sam. Ide gue sih itu karena dari dulu memang ingin banget ke sana. Pas Abi nanya mau honeymoon kemana, ya sebagai rakyat jelata nggak tahu diri gue minta ke Amerika sekalian. Mumpung suami gue ini cinta mati dan duitnya banyak. Alhamdulillah.

Sebulan pernikahan membuat gue menyadari bahwa kita belum mengenal terlalu banyak. Gue belum tahu banyak kebiasaan apa yang dia suka dan dia tidak suka. Bahkan gue nggak tahu kalau Abi itu alergi dengan karpet bulu. Ceritanya, ketika awal kita pindah ke apartemen ini (apartemen Ana akhirnya 'bye-bye'), kita ke IKEA untuk beli beberapa perabotan. Eh, gue naksir tuh sama karpet bulu-bulu warna krem. Yaudah deh kita ke kasir setelah menambahkan beberapa belanjaan lain. Pas sampai di kasir, mungkin dia baru sadar kali ya istrinya ini ngambil apa aja setelah melihat daftarnya di komputer kasir. Kemudian dia berbisik, "Yang, karpetnya itu boleh di-cancel aja nggak?" Gue langsung bingung dong. Gue berpikir mungkin kurang oke kali ya bagi dia? Alhasil gue tanya, "Kenapa? Kurang bagus ya?" Dia cuma geleng-geleng.

Kita keluar menuju parkiran mobil setelah itu. Gue penasaran kenapa dia nggak mau sama karpet bulu-bulu yang gue pengin banget itu. Mau tau jawabannya apa?

"Aku nggak kuat sama alerginya, Yang," jawabnya.

Gue langsung merasa berdosa. Bahkan alergi suami sendiri aja gue nggak tahu. Istri macam apa gue?

Setelah gue korek lebih lanjut, ternyata dia alergi sama bulu gitu. Kalau kena bulu kulitnya langsung merah-merah dan gatal. Kasihan. Padahal dulu niatnya kalau udah nikah pengin punya kucing. Tapi laki gue sendiri malah alergi sama bulunya. Yaudahlah ya, gue cintanya sama laki gue ini bukan sama kucing.

"Abi," gue menepuk lengan Abi untuk membuat suami gue ini terbangun. Sudah pukul tujuh pagi dan gue ingin ke kamar mandi karena sejak semalam belum merasakan dinginnya air. Semalam setelah sampai di apartemen, gue dan Abi tak berdaya. Langsung melepas pakaian yang kita kenakan lalu tidur.

Hari ini kita berdua masih mengambil cuti. Kita? Oke ralat. Gue masih mengambil cuti. Abi yang punya perusahaan, suka-suka dia mau masuk atau nggak. Gue kan masih kacung, jadi kudu cuti.

"Sayang..." kali ini gue panggil dengan nada yang lembut sekali.

Abi hanya menggeliat dan semakin membuat gue tertindih dan berat. Nggak nyadar kali ya ini badan udah segede gentong air? Berat banget! Untung cinta loh, kalau nggak udah gue tendang ini Abizar Gallen Wimala.

Dari tadi kayaknya gue ngomongin 'untung cinta'mulu ya? Kenapa? Karena ya gue cinta banget sama sosok pria yang sedang mendengkur kembali ini. Dialah orang yang mampu sabar menghadapi segala posisi gue up and down hidup gue. Terutama saat bunda nggak ada dulu. Gue sampai nangis kejer saat tahu bahwa segigih dan sesabar itu Abizar mempertahankan untuk Bersama walau gue nggak menggubris kehadirannya. Bunda sempat berpesan, "Cinta itu lebih indah ketika kita diharapkan." Ya, dan gue merasakannya.

Baiklah, gue menyerah. Ngantuk juga karena semalam belum dapat jatah tidur yang cukup, mari kita kembali memejamkan mata.

***

"Besok mau bawain anak kantor oleh-oleh apa aja, Yang?" tanya gue saat membereskan koper belanjaan dari New York.

"Adanya apaan aja sih?" Abi bertanya dari balik selimut. Ya, ini sudah pukul satu siang dan dia belum sedikitpun berpisah dengan ranjang kami. Kalau gue sih udah mandi dan delivery lunch malah.

Tisa's Marriage JournalWhere stories live. Discover now