Pria itu memang bajingan yang beruntung, Amara setuju. Bagaimana tidak? Bahkan ketika Amara tidak menyukai pria itu, tubuhnya ternyata memiliki pendapat sendiri. Tubuh Amara merespon pria itu, tubuhnya menyukai belaian tersebut dan dengan senang hati mengingatkan pada Amara bagaimana rasanya ketika Liam mulai menciumi tubuhnya. Benaknya memproses reaksi tubuhnya, memicu pada lebih banyak ingatan, tubuh Amara bergetar ketika memori itu terlepas dari sangkarnya dan mengalir lancar. Amara bisa merasakan gairahnya bangkit...

Tetapi...

Oh Tuhan... apakah Amara bahkan tahu apa artinya gairah? Namun itu adalah kebutuhan yang menggebu-gebu, kebutuhan tidak tahu malu yang nyaris tidak bisa dikontrol olehnya. Seperti menjadi anak remaja yang dikuasai nafsu, tidak ada yang lebih Amara inginkan selain memeluk Liam dan membiarkan pria itu mempraktikkan ucapannya dalam usaha untuk meredakan denyut di pusat tubuh Amara.

"You like it when I am in you, don't you, Amara?"

Amara ingin mengucapkan sesuatu, seharusnya ia mengucapkan sesuatu... tetapi, ia tidak bisa. Amara merasakan jari Liam sudah merayap ke kancing teratas kemejanya dan mulai membuka bulatan kecil itu satu demi satu, sementara tangannya yang lain masih meremas bokong Amara dengan kekuatan yang membuat Amara terengah. Tidak itu saja, Amara bisa merasakan tonjolan keras di perut pria itu, bukti bahwa Liam memang menginginkannya. Liam mungkin saja memang menginginkan setiap wanita, tapi saat ini Amara tahu bahwa tubuh Liam bereaksi karenanya. Entah bagaimana, hal itu terasa cukup.

"I'll give you a baby, Amara."

Ya, ya, ia menginginkannya.

Rok Amara tersingkap. Ia melenguh ketika telapak panas pria itu bergerak untuk membelai paha dalamnya. Naik dan semakin naik. Dekat dan semakin dekat. Napas Amara tertahan di dada ketika Liam mengeluarkan sebelah payudaranya. Pria itu lalu menunduk untuk mengulum sebelah putingnya sementara tangannya yang lain kini sedang aktif menggoda kewanitaan Amara.

Ia sama sekali tidak bisa mengontrol tubuhnya, akal sehat Amara sudah terlempar jauh di belakang kebutuhannya. Sensasi itu mulai mengalir dan mengambilalih tubuh Amara, menjalar dan menyebar cepat dalam bentuk titik-titik yang menyerbu semua saraf-sarafnya. Ia melemparkan kepala ke belakang, mendongak sehingga dadanya membusung semakin tinggi. Amara memejamkan mata dan mulai melenguh kembali.

Jari pria itu... yang kini berputar... Mulut Liam... ia mendesah saat bibir itu mengisapnya keras. Mata Amara masih terpejam ketika ia membiarkan tubuhnya menyerah. Kata-kata Liam berputar dan tertanam di dalam benaknya. Tidak ada salahnya bersenang-senang. Amara bisa memanfaatkan Liam untuk membebaskan dirinya sendiri.

Liam membalikkannya dengan mudah. Amara mendapati dirinya didorong ke atas meja, dengan setengah tubuh menempel di permukaan dingin yang keras itu sementara kedua kakinya berjinjit payah. Jari jemari Liam terentang, lalu membelai melewati kain tipis itu sehingga Amara bergetar. Ia nyaris tidak sadar ketika pria itu menurunkan celana dalamnya dan Amara mungkin juga tidak sadar ketika ia membantu Liam meloloskan benda itu dari kedua pergelangan kakinya.

Saat Liam berdiri di belakangnya, dengan kedua tangan membelai sisi pinggangnya dan bisikan panas pria itu mendirikan bulu roma di tengkuknya, Amara tidak bisa melakukan apapun selain menikmati antipasti tinggi yang mengalirkan darah ke pusat tubuhnya yang mendidih.

"Apa kau tahu?" Ia berdesir ketika bibir pria itu menempel di sisi kepalanya. "You'll get a bigger chance if I breed you from behind."

Amara bergerak menuruti insting, mencengkeram keras apapun yang ada di dekatnya dan mengerang lebih keras lagi ketika Liam mulai menghunjam masuk. Liam menerobosnya dengan mudah.

"You are damn wet and hot."

Amara mengerang bersama Liam, melepaskan jeritan kecil ketika pria itu kembali melesak keras setelah menjauh hingga hanya kepalanya yang terbenam. Liam benar, ia terasa lembap. Suara seks mereka mengisi ruangan tersebut, tubuh yang bertemu tubuh, diiringi desah napas berat dan lenguhan lembut.

Lagi dan lagi... Amara ingin merasakan Liam lebih lama. Ia terengah kasar saat Liam mengakhiri gerakannya dan mengisi dirinya dengan semburan hangat.

"Pelepasan yang manis dan menyenangkan, bukan?" ucap pria itu saat dia sudah berhasil mengendalikan napas.

Amara menyetujui – tetapi dalam hati. Setelah napasnya sendiri terkendali, Amara menggerakkan tubuhnya kasar, mengusir Liam agar pria itu mengangkat tubuh darinya. Pria itu menurut - masih sambil terkekeh pelan, Liam membebaskan tubuh Amara dari himpitannya.

Himpitan? Sial!

Stop! Jangan memikirkannya.

Ia menarik napas dalam, mengumpulkan keberaniannya sebelum berdiri gemetar di atas kedua kaki dan berbalik pelan, bergegas merapikan diri sekenanya.

"Apa kubilang? Seks spontan adalah yang paling menggairahkan."

Yang membuat Amara tidak senang, bukanlah kata-kata pria itu atau nada santainya yang tertangkap jelas – seolah mereka tidak baru saja saling mengerang seperti binatang liar. Yang membuat Amara tidak senang adalah fakta bahwa Liam memang benar. Amara berjalan cepat ke belakang meja, senang karena mendapatkan perlindungan sementara. Ia bergegas mengenakan kembali kain tipis di dalam genggamannya tersebut.

"Tugasmu sudah selesai," ujar Amara kemudian, dengan dingin.

"Tugas?"

Amara melirik pria itu singkat dan mengangguk tegas. "Kau datang ke sini untuk memenuhi kewajiban perjanjian kita. Sekarang, setelah kau selesai, bisakah kau meninggalkanku agar aku bisa melanjutkan pekerjaanku yang lain?"

"Sure," ucap Liam kemudian. "Kita masih punya waktu nanti malam. Kutunggu di rumah."

Amara belum bisa memikirkan jawaban yang tepat untuk mengomentari pernyataan tersebut dan Liam sudah berbalik menjauh.

"Tidak ada salahnya menikmati seks yang sehat. Kau tidak perlu malu mengakuinya."

Ketika pintu kantornya berdebam menutup, Amara menjatuhkan wajahnya yang memanas merah ke atas meja sambil mengeluarkan erangan pelan.

Tidak ada yang berjalan sesuai rencananya. Tidak ada!

Amara pikir semua akan berjalan mudah, ia hanya perlu memaksakan diri untuk tidur dengan Liam. Tetapi pada akhirnya, hal itu juga tidak berjalan seperti yang diramalkannya. Ia tidak merasa terpaksa dan Liam tidak pernah... bahkan tidak perlu memaksanya.

Mungkin... mungkin ia bisa memanfaatkan pernikahan ini untuk menyembuhkan dirinya, untuk menemukan kembali Amara yang dulu pernah hidup di dalam dirinya.

Lagipula, Liam terlihat berbeda. Pria itu mungkin bukan pria paling terhormat. Namun, Amara tahu bahwa ia bisa memegang kata-kata Liam. Pria itu tidak akan melanggar batas.

Their Marriage Agreement (The Wedlock Series #3)Onde histórias criam vida. Descubra agora