A 3

193 18 6
                                    

           

*** 

Dina berjalan dengan anggunnya dalam balutan dress selutut yang sedikit bergaya sabrina. Rambutnya dicepol tinggi, memperlihatkan lehernya yang panjang. Wajahnya yang dirias dengan makeup natural, membuatnya semakin terlihat bersinar.

Pada dasarnya, dari lahir, Dina memang sudah cantik. Bulu matanya sudah lentik tanpa harus pake mascara, bibirnya sudah merah tanpa harus pake lipstick, pipinya sudah merona tanpa perlu pake blush-on, alis matanya sudah tebal seperti ulat bulu, ditambah dengan bola matanya yang berwarna biru alami tanpa bantuan softlens. Dia nyaris sempurna untuk ukuran wanita.

Sayangnya, kurangnya hanya satu. Dia tidak pernah memiliki pacar meski usianya hampir menginjak 21 tahun.

Alias jomblo dari lahir.

"Kamu cantik," pujian yang dilontarkan Zidan pada Dina barusan membuat perempuan itu tersipu malu.

"Makasih, pak. Eh, maksud saya, Zidan."

"Silahkan duduk."

Dina duduk dengan anggun. Meski dia terlihat nyaris tidak ada kurang, nyatanya ia gemetaran setengah mati untuk berhadapan dengan bos barunya yang ternyata juga teman kencannya.

"Kamu mau makan apa?"

"Saya pemakan semua, pak."

Zidan yang tengah melihat buku menu, langsung melihat ke arah Dina.

"Ma-maksudnya, makanan apa aja saya suka," ralat Dina buru-buru.

"Kirain kamu bakal jadi kayak vampire yang makan darah juga."

Dina tertawa kikuk,"Kalo saya vampire, bapak yang pertama saya gigit," gumam Dina dalam hati. "Dilema punya bos terlalu tampan ini mah namanya."

Zidan mengangkat tangannya untuk memanggil waitress.

Saat Zidan sibuk menyebutkan nama-nama menu yang akan dipesan, Dina justru disibukkan dengan sosok laki-laki yang baru saja masuk ke dalam restaurant. Yang membuat semua mata kaum hawa langsung tertuju padanya. Laki-laki dengan gaya semena-menanya. Bahkan, ia memanggil pelayan dengan seenaknya.

Laki-laki yang memiliki alis tebal dan hitam. Bulu matanya lentik. Bibirnya merah. Dan, memiliki kornea mata berwarna biru.

Sama seperti miliknya.

"Tadi kesini naik apa?"

Pandangan Dina soal laki-laki itu langsung buyar seketika.

"Naik taksi, pak."

"Duh, kenapa tadi gak saya jemput aja, sih?"

"Gak usah, pak. Ngerepotin."

"Gak apa-apa, kok. Direpotin Dina juga saya mau."

Dina tersenyum malu.

Modus juga nih bos. Kalo bukan bos udah gue sikat ini mah. Gumamnya.

"Jangan pake 'pak' dibillang."

Dina mengangguk malu,"Iya, pak, eh, Zidan."

"Saya permisi mau ke toilet dulu, ya," pamit Dina.

"Oh, iya silahkan."

Dina berjalan dengan cepat menuju toilet yang tidak berada jauh disana. Selain untuk keperluan manusiawi, ia juga mengatur detak jantungnya yang sejak tadi tak henti-hentinya berlarian di tempat.

"Gila, gue butuh oksigen, woi. Duh, kenapa mesti ganteng banget sih tuh orang. Kenapa juga dia harus jadi bos gue," Dina merapikan tatanan rambutnya yang jelas-jelas masih rapih.

Saat ia sedang melangkah keluar, ia melihat beberapa roh halus mulai berkeliaran di hadapannya.

"Yah, mulai dah nih gangguan ke-roh-halusan."

Tidak ingin mengacau suasana, Dina memiliih untuk tidak menghiraukan kehadiran mereka. Alias pura-pura gak liat.

Semakin Dina bertingkah seperti itu, justru para roh halus itu akan semakin jahil padanya.

Benar saja, saat Dina sedang melangkah, ia diselengkat kakinya hingga menabrak pelayan yang sedang membawa minuman di depannya dan terjatuh mengenai baju laki-laki yang tadi sempat ia amati.

"Augh," laki-laki itu berseru.

"Maaf, pak, maaf."

Ups.

Pandangan laki-laki itu langsung tertuju pada Dina yang masih berpegangan meja agar tubuhnya tidak ikut terjatuh.

"Eh," panggil laki-laki itu pada Dina.

Dina melongo. "Saya?" Ia mengacungkan telunjuknya, menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, elo."

"Kenapa?" tanya Dina berusaha santai. Padahal, kakinya sudah mulai gemetar.

"Punya mata?"

"Punya."

"Punya kaki?"

"Punya."

"Ah, tapi pasti gak punya otak."

"Hah?" Dina melotot seketika.

Laki-laki itu berdiri menghampiri Dina dengan wajah sangarnya.

"Karena, kalo lo punya otak, lo gak akan nanya 'kenapa' setelah lo buat baju gue basah gara-gara minuman."

Tak mau kalah, Dina ikut menantang laki-laki itu. "Maaf, gak sengaja."

Laki-laki itu berdecih. "Maaf? Lo pikir baju gue bisa kering cuma karena maaf?"

Dina menghela napasnya,"Iya, maaf. Sini bajunya biar saya cuci."

Tak butuh waktu lama, laki-laki itu melepas pakaiannya di hadapan Dina.

"Nih,"

Dan, menyodorkannya pada Dina.

Membuat beberapa orang yang memperhatikan mereka langsung bergeming melihat kejadian barussan.

Dina memalingkan pandangannya dari laki-laki yang sudah bertelanjang dada saat itu. "Kamu gila, ya?"

"Katanya mau nyuciin."

"Ya gak gini juga caranya."

"Terus? Gue harus dateng ke rumah lo, buka baju disana? Gitu?"

Dina geram. Ia memberanikan diri menatap laki-laki itu.

Kedua mata mereka bertemu. Mengunci satu titik yang membuat waktu seakan berhenti sepersekian detik.

Detak jantung mereka berdegub secara bersamaan. Berpacu bak kuda yang sedang berlomba. Pikiran mereka mendadak melayang tak karuan.

Untuk beberapa detik, mereka terdiam. Saling memandangi. Memasuki jiwa satu yang lainnya melalui tatapan mata masing-masing.

Sebelum akhirnya, semua dibuyarkan oleh kehadiran Zidan.

"Dina? Kamu gak apa-apa."

Dina langsung memalingkan pandangannya ke arah Zidan.

"Gak apa-apa, pak," Dina mengangguk.

Zidan beralih ke arah laki-laki yang masih telanjang dada itu.

"Apa? Terpesona sama badan gue?" ujar laki-laki itu dengan ketus.

Baru Zidan ingin berbicara, Dina sudah lebih dulu mengajaknya keluar. Dengan alasan tidak enak badan.

Itu bukan bohongan. Nyatanya, setelah tatapan sepersekian detik yang lalu, dia mendadak tidak karuan.

Kacau.

Zidan mengangguk tanda mengerti, dan menarik tangan perempuan itu untuk melangkahkan kaki keluar. Dina membiarkan tangannya digenggam Zidan, ia bahkan tidak punya kekuatan lebih untuk menolak apa yang sedang terjadi saat ini.

Dia benar-benar kacau.

AzkadinaМесто, где живут истории. Откройте их для себя