1

23 0 0
                                    


Rabu,15 April 2007

Wanita paruh baya itu tersenyum padaku, namun ada sesuatu yang ganjil kutangkap dari sorot matanya, bukan untuk yang pertama kali. Tapi tak mungkin, atas dasar apa aku menuduhnya? Walaupun memang sebelum kejadian tiga hari yang lalu, Kania mendatangi perpustakaan bernuansa klasik itu dan pulang dengan mata sembab, bukan berarti satu-satunya terduga adalah wanita yang biasa kami panggil dengan sebutan Tante Jen.

Naomi menutup buku harian merah muda itu dengan hati-hati. Tak lupa ia menyemprotkan sedikit parfum PINK by Victoria Secret favoritnya dan sesosok Kania, sahabat sejati yang kini telah tiada. Perempuan yang dua hari lalu menginjak usia kepala dua ini merebahkan dirinya ke sofa merah sambil menghela nafas panjang. Ini akan menjadi semakin sulit.

"Apanya yang sulit, Sayang?"

Entah dari mana Davi muncul di hadapannya membawa sebuah gelas dengan asap yang mengepul, Naomi tebak isinya adalah kopi.

Aneh sekali. Naomi mengingat-ingat, ia merasa telah mengunci semua pintu karena hari sudah menjelang malam dan dirinya akan seorang diri di kosan malam ini seperti malam-malam yang lalu, tanpa Kania.

"Wah, Dav. Aku lupa kalau kamu bisa "membaca" apa isi otakku. Dan aku sedikit terkejut melihatmu ada di sini." sahut Naomi tanpa melihat ke arah Davi sedikit pun.

Davi tertawa kecil, duduk disamping Naomi dan meletakkan segelas kopi hangat yang membuat Naomi menelan ludah.

"Yah, apa yang membuatmu melupakan kemampuanku? Sebelumnya, sekalian saja ku tanyakan padamu agar mudah kamu menyimpulkan jawaban. Mengapa kamu tidak pernah ingat untuk mengambil kunci yang menggantung di pintu pagar? Kamu tau, pelaku kejahatan di kota metropolitan ini sudah semakin merajalela, Naom. Bisa kan meningkatkan sedikit kewaspadaanmu? Apalagi jika nanti kamu sudah tinggal di Australia,apakah kamu tetap akan membawa kebiasaan burukmu ini?"

Ya, itu dia jawabannya mengapa Davi bisa ada di dalam rumah ini bersamanya sekarang, juga salah satu alasan mengapa Naomi tak pernah bisa memaafkan dirinya sampai saat saat ini.

"Hei, kok mematung seperti itu?" Davi mengibaskan tangan di depan wajah kekasihnya.

"Tidak,hanya memikirkan jawaban yang cocok untuk ketiga pertanyaanmu."

"Keempat, lebih tepatnya. Sudahlah sayang, aku yang akan selalu mengingatkanmu untuk urusan kecil tersebut."

Naomi tersenyum. Davi memang bagaikan pengingat setianya. Apapun yang dilakukan Naomi akan lengkap jika Davi yang mendampingi. Begitupun sebaliknya. Mereka hampir selalu bersama.

"Kenapa tersenyum? Ayo pergi. Aku lapar sekali. Kamu tahu? Aku belum sempat pulang ke rumah dari kampus tadi. Aku langsung ke sini karena daritadi hanya kamu yang terlukis di pikiranku. Sampai aku tadi hampir menabrak tong sampah di samping kosanmu ini. Saat aku masuk dengan mudah, perasaanku semakin buruk. Tapi untungnya kamu dalam keaadan baik."

Naomi mencubit pipi Davi yang disambut dengan ringisan.

"Sudahlah Dav.  Kalau lapar lebih baik kita pergi sekarang. Ocehanmu tak akan membuat kenyang."

****

Suasana di kelas sangat kondusif pagi ini. Ya, tidak lain tidak bukan hal ini disebabkan oleh dosen yang mengajar, yaitu Pak Jauhari. Sangat cerdas, enerjik, dicintai mahasiswa dan mahasiswi karena sering memberi nilai yang tinggi tanpa harus berusaha keras, namun Naomi membencinya. Lelaki paruh baya ini merupakan terduga kedua dalam kasus meninggalnya Kania.

"Untuk hari ini Bapak cukupkan. Ada yang ingin bertanya?" ia mengedarkan pandangannya.

Naomi merasa udara disekelilingnya memanas. Oksigen di dadanya menipis membuatnya sesak. Kini isi otaknya hanyalah semua kenangan indah bersama Kania.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 15, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Siapa Pembunuhnya?Where stories live. Discover now