Gadis Pemulung Masuk Televisi

114 6 4
                                    

Cerpen oleh Gol A Gong

Aini duduk di pos ronda. Karung teronggok di tiang. Dia menyeka keningya. Punggung tangannya basah. Ini hari panas sekali. Mungkin pertanda akan hujan. Dia baru sekitar 1 jam mengelilingi perumahan; mencari-cari rongsokan. Karungnya baru terisi seperempat. Di bak sampah tikungan jalan komplek, dia hanya memperoleh beberapa botol minuman plastik. Di bak sampah rumah nomor 9, hanya ada 2 botol plastik minuman ukuran besar.

 Kerongkongannya kering. Yang dia bayangkan adalah air es. Tapi dia sedang puasa. Sudah seminggu puasa berjalan, tubuhnya terasa lemah. Setiap sahur, tiada yang bisa dimakannya selain air teh dan ubi rebus. Sekali pernah ayahnya membawa pulang seliter beras. Dengan garam dan daun singkong, dia dan adiknya merasakan sahur yang nikmat sekali. Setelah BBM naik, harga-harga di pasar berlipat-lipat jadinya. 

Ayahnya hanya penyapu jalanan. Tak mampu berbuat banyak. Aini hanya meminta pada ayah mereka, bahwa sekolah didahulukan. Biar makan sekali sehari ditambah puasa Senin Kamis, urusan sekolah tetap dinomorsatukan. Aini termasuk murid yang cerdas di sekolahnya, sehingga pihak sekolah meringankan segala biaya tambahan. Sebuah mobil sedan tiba-tiba berhenti di depannya. Kaca jendelanya turun. Aini tersenyum kepada para penumpangnya; dua wanita cantik-cantik. Hmm, pasti tubuhnya harum. Aini membayangkan dirinya secantik mereka. Tapi, wajahnya jelek. Kulitnya hitam terbakar matahari. Rambutnya kemerahan.

"Hallo!" kata yang di sebelah pengemudi.

"Ya, Kak?"

"Kamu, sini!" si pengemudi melambaikan tangannya.

Aini dengan kikuk mendekati mobil, "Kakak manggil saya?"

"Iya."

"Namamu, siapa?" tanya yang menyetir.

"Aini."

"Sekolahnya kelas berapa?" kembali yang duduk di sebelah pengemudi bertanya dengan senyuman.

"Kelas lima..."

"Ikut Kakak, yuk?"

Aini mundur beberapa langkah. Pintu mobil terbuka. Perempuan cantik itu tersenyum. Aini semakin mundur ke pos ronda. Tangan kanannya meraih ujung karung.

"Jangan takut, Ain..."

"Kakak nggak bermaksud jahat, kok!" teriak si pengemudi.

"Kakak mau apa?" Aini melihat ke sekeliling. Siang terik seperti ini, orang-orang memilih berlindung di rumah. Dia tidak bisa meminta pertolongan jika terjadi sesuatu yang buruk padanya.

"Ngobrolnya jangan di sini...."

"Ayo, ikut sama Kakak."

Tubuh Aini membentur kayu pos ronda. Dia tidak bisa ke mana-mana lagi. Kata ayahnya, dia harus hati-hati jika berhadapan dengan orang yang tidak dikenal. Siapa tahu orang itu akan menculiknya. Lalu menjualnya ke orang-orang kaya. Ayahnya pernah bercerita, suatu hari sedang menyapu di sekitar Monas. Tiba-tiba ayahnya mencium bau busuk di tong sampah. Ternyata ayahnya menemukan potongan mayat yang dibungkus plastik. Jika mengingat cerita itu, dia bergidik membayangkannya.

"Ain nggak mau. Ain mau pulang."

"Ain, Kakak mohon maaf, kalau sudah membuat Ain takut..."

"Ros! Udah, tinggalin aja. Kita cari yang lain."

"Sebentar, Sus!"

Aini memanfaatkan untuk melarikan diri.

"Aini! Tunggu!"

"Apa gue bilang! Cari yang lain aja!"

Aini tidak berpikir apa-apa lagi. Terus berlari. Lari. Karung di tangannya memberatkannya. Tapi, dia tidak mungkin membuang karungnya, karena di dalamnya bisa digantikan dengan beberapa lembar ribuan. Tadi dia berjanji pada Latifah akan membeli telor untuk menu buka puasa nanti. Aini terus menggenjot tenaganya.

Api dan CintaWhere stories live. Discover now