Romance - Kywan__

12 4 2
                                    

Ditulis oleh: Rizky Wandhani(Kywan__)
Judul: Hujan
.
.
.
.

Gadis itu meringkuk di bawah selimut tebal berwarna cokelat. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia diam seribu bahasa, hanya terdengar suara hujan lebat di luar sana. Tak ada lagi suara tangis yang tadi tak mau berhenti. Tak ada lagi air mata yang tadi lebih deras dari pada banjir di luar. Ia sudah lelah. Kalau masih bertenaga, mungkin ia akan menangis sampai besok pagi.

Ponsel hitamnya berdering, tapi gadis itu tetap saja berdiam diri. Terpampang nama sahabatnya di sana. Shelin. Ah, padahal tadi ia sempat berharap Arjunanya yang menelpon, walaupun nanti akan ia tolak juga. Bukannya tak menghargai Shelin. Hanya saja gadis itu rasanya ingin mendengar permintaan maaf dari Adnan.

Syifa akhirnya bangkit perlahan, menjawab telfon dari Shelin. Kasian sahabatnya itu, sudah menelponnya berpuluh-puluh kali.

Syifa diam sejenak, belum ada niat untuk bersuara, walau ia sudah menggeser tombol warna hijau.

"Ha ... lo, Syif?" tanya Shelin di ujung sana, ragu-ragu karena syifa tak bicara.

"Halo." sahut Syifa, suaranya serak akibat menangis berjam-jam.

"Syif, kamu nggak apa-apa?"

Syifa kembali terdiam. Ia tak tahu harus bilang apa. Ia tentu sedang tak baik-baik saja. Tapi, ia juga tak bisa mengatakannya begitu saja.

"Halo, Syifa?" Suara di telfon berubah menjadi suara berat seorang laki-laki. Suara yang sangat familiar. Tentu saja karena suara itu telah menjadi suara favoritnya selama dua tahun belakangan ini.

"Mau apa kamu, Nan?" tanya Syifa tanpa basa-basi. Suaranya sedikit tercekat, menahan sejuta luapan emosi.

"Aku minta maaf, Syifa." Syifa memijit keningnya. Rasanya ia ingin menangis lagi.

"Buat apa? Kamu nggak salah," ujarnya, berusaha menyembunyikan desakkan dalam hatinya.

"Aku yang salah, Adnan. Aku yang salah menilai perhatianmu sebagai tanda suka. Aku yang salah menilai senyummu sebagai rasa. Aku yang salah," sambungnya.

"Harusnya aku yang minta maaf. Maaf sudah lancang punya rasa padamu."

Adnan tampak terdiam dari ujung sana. Entah apa yang ia rasa. Mungkin kasihan pada teman seangkatannya itu. Salahnya juga tak pernah peka pada Syifa.

"Katakan yang sejujurnya, Adnan. Katakan kalau kamu memang tidak mencintaiku. Lakukan seperti seorang gentleman. Agar setelah ini, aku bisa pergi dengan lega." Syifa bisa mendengar helaan napas Adnan di ujung sana setelah perkataannya itu.

"Maafkan aku, Syifa. Maaf pagi ini aku menembak Shinta dihadapanmu. Maaf aku tak pernah punya perasaan lebih kepadamu."

Syifa dapat merasakan hatinya bagaikan di remas. Inilah kalimat yang paling ia tunggu sejak dahulu. Pernyataan bahwa Adnan tidak mencintainya sehingga ia tak perlu bimbang untuk pergi atau tidak. Tapi ia tak pernah tahu rasanya akan sepedih ini.

Air mata Syifa kembali mengalir. Kali ini ia berusaha menahan isakkannya. Gadis itu berdiri, menghampiri jendela kamar di depannya. Ia membuka horden, lalu menatap ke luar. Suasananya gelap sekali, hanya ada satu lampu jalan. Tapi, tetesan-tetesan air hujan itu tampak berkelap-kelip di antara kegelapan.

"Kamu tau, Adnan? Aku selalu menganggap kamu seperti hujan. Selalu datang tiba-tiba. Kadang datang dengan lembut, kadang datang dengan tajam dan beringas. Tapi, selalu menenangkan."

Adnan menyimak dengan cermat apa yang dikatakan Syifa, walau ia bisa merasakan kepedihan terpendam dalam kalimat-kalimat itu.

"Adnan, aku menyukaimu seperti aku menyukai hujan. Tapi, hujan tak pernah melihatku. Jadi, kupikir kamu akan melihatku walau sedikit kesempatannya. Tapi, dua tahun aku menyimpan rasa rupanya telah membuatku lupa, bahwa hujan mungkin tak kembali saat musim kemarau. Dan aku menyadarinya hari ini, kamu tak akan kembali seperti hujan saat musim kemarau."

"Syifa, aku-"

"Aku tahu. Kamu pasti ingin kita berteman seperti biasa, kan?" Syifa tersenyum pedih tanpa Adnan tahu.

"Baik. Mari kita berteman." Syifa memutus sambungan telfon secara sepihak. Ia menghela napas. Memandang pada hujan yang tak kunjung henti. Sama seperti pedih hatinya yang tak kunjung henti.

"Aku tak percaya pada pelangi. Karena kupikir tadinya hujan sudah cukup untukku."

○○○

Maafkan saya yang mungkin tidak pandai merangkai kata, bahkan hanya untuk sekadar menjelaskan apa itu patah hati kepadamu.

Writing One Week (Minggu Ke-2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang