Perfect Life

91 10 15
                                    

Sesimple dan sesempurna ini hidupku. Saat bangun di pagi hari sudah tersedia jeruk hangat di atas nakas dan aku segera meneguknya perlahan hingga tandas. Bik Siti tahu betul rutinitasku setelah bangun tidur sehingga aku tidak perlu memanggilnya berulang-ulang karena ia lupa dengan jadwal dietku.

Atha sudah tidak ada di sampingku. Barangkali ia sedang mandi karena ada meeting dadakan di kantor pagi ini. Mungkin juga ia tengah lari di atas treadmill seperti biasa. Entahlah, aku tidak yakin dengan keduanya sebab handuk birunya masih tergantung rapi di jemuran kecil tempat kami biasa menjemur handuk. Dan tidak terdengar napas memburu di ruangan tempat alat-alat gym berada. Rumah terasa hening dan sepi.

Aku menarik napas panjang. Aubrey pasti masih tidur, gadis kecilku yang masih berusia lima tahun itu memang terbiasa tidur di atas jam sembilan hingga membuat kepalaku pusing karena mataku sudah lima watt sementara ia masih asyik bermain playdoh dan membuat ruang bermainnya bak kapal pecah.

Lagi-lagi, Bik Siti menjadi penolong. Jika aku sudah teramat lelah, dengan suka rela asisten rumah tanggaku itu menunggui Aubrey sampai bosan. Mencuci kedua tangan dan kakinya, menggosok giginya dan membawa Aubrey ke tempat tidur.

Selepas ASI exclusive, Aubrey memang belajar tidur sendiri. Kamar kami berdekatan, aku bahkan seringkali melongok ke jendela kamarnya memastikan apa ia sudah tertidur nyenyak atau belum. Kebiasaan itu sangat membantu saat ia sudah sebesar sekarang. Aubrey jadi mandiri, tidak cengeng, dan saat ngantuk ia tahu di mana tempatnya tidur.

"Sudah bangun, Sayang?"

Atha masuk ke kamar dengan kaos yang dipenuhi keringat, celana pendeknya juga terlihat sedikit basah. Ia terlihat seksi dengan wajah capek dan rambut ikalnya yang basah.

"Treadmill lagi?"

Ia mengangguk pelan, menghampiriku dan mencium keningku dengan lembut.

"Kamu sudah seksi, buat apa terus melakukan exercise?"

Aku memandangi tubuhnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki dengan tatapan menggoda. Ia tertawa, balik menggodaku dengan kerlingannya yang nakal.

"Kamu juga, buat apa mati-matian diet?" ia mengacak rambutku penuh sayang lalu mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Bau!" protesku manja.

"Sana mandi, kalo terlambat kamu bisa terjebak macet panjang."

"Mau bareng?"

Aku menggeleng tergesa dan segera bersembunyi di balik selimut tebal.

"Kamu gak akan nyesel, Aluna sayang?"

Atha masih terus membujuk, menarik perlahan selimut yang menutup tubuhku. Aku tertawa dalam hati. Itulah salah satu alasan kenapa aku begitu jatuh cinta kepada Athala Mahesa dari sejak pertama kami bertemu, sikap manis dan hangatnya yang begitu membuai. Selain itu ia tampan dan menawan, ditambah kecerdasan di atas rata-rata yang membuat karirnya terus menanjak.

"Tidak, aku masih ngantuk," teriakku saat tangan Atha mulai mencengkram jemariku perlahan.

"Ayolah, Sayang."

"TIDAK..."

Aku segera meloncat dari kasur. Tawa Atha berderai panjang. Aku segera menjulurkan lidah ke arahnya sambil membenahi rambut panjangku yang berantakan.

"Aku mandi dulu ya, Cinta?"

Mata kanannya mengerling ke arahku.

"Genit."

Ia menyambar handuk lalu segera masuk ke kamar mandi. Aku kembali berjalan menuju kasur, membenahi selimut yang nyaris jatuh ke lantai akibat ulah Atha. Sebenarnya aku tidak benar-benar ngantuk, lagipula ini sudah siang. Aku baru ingat bahwa hari ini adalah hari pertama Aubrey masuk sekolah.

Memang masih dua jam lagi. Tapi membangunkan Aubrey bukan perkara mudah. Terlebih ia harus sarapan agar tidak masuk angin. Aku lalu duduk di sisi ranjang dan memandangi ke sekeliling kamar.

Semua memang sempurna. Sangat sempurna. Tapi hidup tidak akan selamanya menikmati suka cita. Aku mengingat perjuangan Atha membangun karirnya dengan susah payah. Meski terlahir dari orangtua berada, ia bukan anak mama yang memilih hidup bersenang-senang tanpa perjuangan.

Orangtua Atha? Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang terasa nyeri di ulu hati.

*

"Mama tunggu kamu di luar ya?"

Mata bening nan indah itu terlihat berbinar. Ia mengangguk pelan mengiyakan.

"Mama boleh pulang kalo kelamaan tunggu aku di sini," Aubrey menatapku dalam-dalam.

Aku tersenyum, merentangkan tangan dan disambut pelukan Aubrey yang hangat. Gadis kecil itu menciumi pipiku berulang kali.

"I love you," suaranya begitu lembut terdengar di telinga.

"I love you too, sweetheart," balasku kemudian.

"Ya udah, Abey masuk kelas ya. Teman-teman udah nungguin tuh," sambungku sambil menunjuk kepada sekumpulan anak yang malu-malu menatap Aubrey di depan pintu.

Ia mengangguk cepat dan segera berlari ke arah kelas sambil melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangannya dengan hati lega.

Aku segera bangkit sambil membetulkan rambutku dan berbalik. Tak diduga aku nyaris menabrak sesosok tubuh jangkung yang tengah tergesa.

"Maaf," ucapku merasa bersalah.

Aku mengangkat wajah dan jantungku seakan berhenti berdetak.
WENDY!

"Luna? Aluna Prameswari?"

Lelaki tampan berparas manis dengan tinggi sekitar 170 itu menatapku takjub.

Aku terpaku tak percaya. Bagaimana bisa wajah yang sudah kulupakan sepuluh tahun yang lalu itu kini tiba-tiba ada di hadapanku?

"Papa..."

Sebuah suara memutus lamunanku.

"Iya sayang, sebentar ya," suara itu masih sama lembutnya.

Aku terdiam, menatap sosok mungil yang berdiri di samping Wendy. Wajahnya tampan dan rambutnya sedikit ikal. Mungkin saat kecil Wendy mirip dengannya.

"Aku masuk dulu ya, kamu masih lama kan di sini?" Wendy menatapku semringah.

Kenapa tatapannya harus seperti itu? Membuat aku merasa jengah. Aku menggeleng pelan.

"Aku udah mau pulang," jawabku singkat dan pelan.

"Kalo gitu aku minta nomor telepon kamu."

Entah aku harus menjawab apa. Memberinya nomor kontakku terdengar bukan ide bagus. Melihatku termangu ia terlihat tidak enak.

"Itupun jika kamu tidak keberatan," sambungnya kemudian.

Tak urung aku menyebutkan juga sembilan angka dengan fasih lalu berpamitan ketika Wendy hendak masuk ke dalam kelas.

"Kamu masih sama seperti dulu, Luna, cantik," ucapnya sambil berlalu.

Aku membuang pandang menyembunyikan mukaku yang tiba-tiba merah merona dan bergegas keluar ruangan menuju parkiran.

Kunyalakan remote mobil dan segera masuk. Wendy, gumanku dalam hati. Kenapa kita harus bertemu lagi? Aku terdiam lama mengingat pertemuan pertama kami yang sangat mengagetkan.

Sepuluh tahun sudah ia menghilang dan tak tahu rimbanya. Kini tiba-tiba ia muncul masih dengan senyum yang sama indahnya seperti dulu. Hanya saja wajahnya kini terlihat lebih dewasa dan lebih kalem.

Aku menarik napas panjang. Tidak, Wendy hanya masa lalu yang harus kukubur dalam-dalam. Bukankah semua sudah selesai? Aku juga kini punya kehidupan yang begitu sempurna bersama Atha dan Aubrey.

Segera kunyalakan fortuner hitamku. Aku menjalankan mobil dengan perlahan memasuki jalanan yang sudab sangat ramai. Tiba-tiba aku ingin sekali menelpon Atha.

Prahara AlunaWhere stories live. Discover now