02:00

72 10 6
                                    

——

  KALAU pada umumnya anak-anak seusiaku masih memejamkan mata, terlelap pulas hingga fajar merangkak naik, maka seratus delapan puluh derajat situasi berbeda denganku. Aku, seorang anak kecil yang menginjak usia delapan, akan terjaga bila selimut tak lagi bergelung di tubuhku.

Dia sudah memintaku agar menemaninya bermain.

Masih dengan sisa-sisa kantuk, aku melirik jam digital yang terletak di atas nakas; pukul 02:00. Segera aku mengingsut ke tepi tempat tidur, lantas mendapati Anna tengah melompat-lompat di atas sofa sementara tangannya hendak melempar salah satu komik yang sisanya telah bertebaran di nyaris seluruh petak lantai.

    "Hai, Clea,” tegurnya.

Aku menyunggingkan seulas senyum seperti kemarin-kemarin sebelumnya. "Kukira kau tak akan membanguniku, lagi," kataku seraya membereskan hasil perbuatan Anna. Mama pasti bakal memarahiku lagi kalau melihat kamarku berantakan.

Anna membelalakkan mata. "Kau tak ingin bermain denganku, huh?”

    "Tentu saja aku ingin," timpalku. "Anna, aku bahkan membutuhkanmu sebagai seorang teman."

Anna. Seorang anak perempuan yang agaknya dua tahun lebih muda dariku. Merupakan seorang gadis cantik yang kerap datang di setiap malam selama musim dingin ini. Kali pertama kedatangannya hingga detik ini, Anna selalu mengenakan sebuah gaun putih selutut yang tampak identik dengan kulit pucat susunya.

Anna melangkah (seringkali membuat keningku berkerut karena cara berjalannya yang ... aneh?) mencapai jendela yang menghubungkan kamarku dengan balkon lantai dua. Pintu serta tirainya mendadak tersingkap dengan sendirinya kala Anna berjalan mendekat.

Sepasang mata hijau Anna menajam ke arahku. "Kau mau ikut bersamaku?" tanyanya lirih seakan suaranya adalah angin.

Tidak, itu yang ingin kukatakan padanya. Namun begitu aku ingin menggeleng, sekejap Anna melesat menghadapku, mencengkeram dan menyeret pergelangan tanganku agar menuruti perkataannya.

    "Anna," Aku melirih, tanpa sadar aku beringsut mundur menjauhi jendela yang kini terbuka lebar-lebar. "Mama selalu melarangku mendekati balkon."

    "Kau mau ikut bersamaku, Clea?" Dia mengulang.

Sebelum berkata apa-apa lagi, Anna segera meraih selimutku. Kemudian, tahu-tahu saja selimut itu telah mengait besi penyangga balkon sementara kami berdiri di tepi yang dindingnya hanya berbatasan setinggi pundakku.

    "Anna," Suaraku bergetar. "Esok, pagi-pagi sekali, adalah waktu di mana Ayah mengunjungiku," kataku pelan sambil menggigit bibirku. "Aku harus segera tidur."

Anna mengabaikanku. Kepalanya menunduk, memandang nyalang taman pekarangan rumahku yang temaram dan sunyi. Jarinya menuding tempat itu ketika dia berkata, "Aku mau main di sana."

Membisu, aku hanya bergeming; menggenggam erat besi penyangga dengan tanganku yang sudah basah oleh keringat. Menit-menit berlalu, kulihat Anna mengepal tangannya, sedang ekspresinya berubah suram. Dia bersuara lagi, "Aku, kau, turun."

Aku memelotot. "Tidak!"

Anna tak mau kalah, dia juga menghunuskan tatapan bak belati. Tanpa tunggu lebih lama, dia mendorongku, memaksaku memanjat hingga aku terduduk di tepian balkon. Sekejap aku lantas menggapai selimut yang sempat Anna ikat mati sebelum seperkian detik berikutnya tangannya kembali mendorong, membuatku bergantungan di luar sisi balkon.

    "Anna! Apa yang kau lakukan!" jeritku.

Aku memejamkan mata kuat-kuat, mengatakan kepada diriku sendiri agar jangan pernah melihat ke bawah. Tapi, suara Anna mengusik, "Clea, aku di sini. Buka matamu."

    "Tidak!"

    "Buka matamu, Gadis Kecil!"

Tepat ketika empat kata itu mendera nyaring, — yang sama sekali bukan suara Anna, melainkan gelagar aneh nan menyeramkan seperti nenek sihir — sesuatu tak kasat mata rasanya merobek kelopak mataku, membuatku membelalak hingga bola mataku nyaris keluar. Aku mengerang sebab nyeri di seluruh anggota tubuhku.

Satu detik, ia menempeleng kepalaku agar menunduk. Dua detik, isi perutku yang sempat kutahan lolos begitu saja dari mulutku. Tiga detik, salah satu pegangan tanganku terlepas.

Empat detik, "Clea," Suara Anna, diikuti oleh derai tawa seorang lain. "Maafkan aku."

Lima detik, "Anna, apa yang ..."

Enam detik,

Tepat, kurang lebih pukul dua sebelum fajar tiba, sebelum kudengar samar-samar Mama menyerukan namaku, aku menyatu dengan angin.[]

6:27 pm
Dec 28, 2017













Pukul Dua ✔Where stories live. Discover now