Gue benar-benar enggak mau merusak holiday ini dengan mengingat percakapan barusan.

[Magnitudo]

Semua orang kayaknya senang banget.

Bahkan seseibuk bernama Mona yang awalnya protes mulu soal gathering akhirnya juga ikutan gila. Yah... meskipun level kegilaan Mona dan Lanti paling banter sampai semprot-semprotan pake pistol air. Cemen banget.

Cuma gue sama Saga yang cocok dalam urusan ini. Tadi siang kami sudah mencoba berbagai macam tantangan. Dari flying fox, arung jeram, sampai yang paling ekstrem itu gue ikutan bungee jumping.

Sumpah... raga gue kayaknya lepas dari tempatnya.

Tapi, abisannya gue lega banget. Kayak baru ngelunasin hutang aja gimana. Meskipun abisannya cape, gue puas banget.

Itulah kenapa gue milih mojok di kursi bambu. Angkat kaki gue yang kedinginan sambil sayup-sayup dengerin teman-teman sekantor ngobrol. Gue... ngantuk banget, tapi ogah mendekam di kamar.

"Masih menikmati rasanya dibayari kantor?"

Mata gue membuka seketika.

Di hadapan gue, menjulang sosok yang seminggu lebih ini bener-bener gue hindari. King, biasa dengan alisnya yang berkerut itu, lho.

"Maksud Bapak apa?"

"Otak kamu masih bisa mencerna pertanyaan saya, kan?" Dia melempar tatapan meremehkan. "Atau—"

"Kalau mau ngoceh soal kekurangajaran saya kemarin, ngomong aja," sela gue.

Anjir... ni mulut minta ditabok. Kenapa ngomong gitu, Kemilau? Lo oon atau apa sih? Kalau King beneran membahasnya, yang paling duluan semaput pasti lo!

King berdeham dua kali. Sekilas gue lihat, sudut-sudut bibirnya ketarik.

"Hampir saja lupa. Tapi, iya. Kamu benar-benar beranggapan Pak Arven sejahat itu?"

Suara-suara di sekitar gue terasa semakin jauh. Sepertinya orang-orang sudah mulai beranjak ke cottage masing-masing.

"Saya sebenarnya enggak bermasuk ngomong begitu," kilah gue. "Tapi—"

"Tapi apa?"

"Ya... seharusnya Bapak enggak boleh dengar bagian itu, dong."

Gue bisa merasakan King terkekeh. "Seingat saya, saya enggak pernah nanya. Kamu yang nyerocos di depan saya."

Sumpah, gue keki. Banget!

"Ya... seharusnya Bapak tutup kuping!" sembur gue.

Anjing!

Gue bentak-bentak anak bos. Dan... untungnya King malah tertawa, hingga matanya segaris. Emangnya gue lucu?

Sudahlah, Kemi. Tutup mulut saja, daripada tambah runyam.

"Bagaimana caranya saya tutup kuping, sementara kamu berkhotbah dari jarak setengah meter? Kamu pikir saya tuli?"

"Tulikan saja telinga, Bapak!" bentak gue. "Atau langsung bilang kalau Bapak itu anaknya Pak Bos. Atau langsung berdiri menjauh."

Kemilau! Stop! Semua suara yang lo keluarin pas lo panik itu pasti beracun!

"Yakin kamu enggak ngejar saya dan tetap melanjutkan petuah kamu?" sindirnya lagi.

"Enggak. Kalau saya tahu Bapak itu anaknya Pak Bos, saya akan—"

"Bersikap pura-pura dan menjilat?"

Ini orang kok beneran bikin mulut gue susah mingkem banget, kenapa sih?

"Enggak kayak gitu. Setidaknya saya bakal lebih hati-hati," tutur gue. "Aslinya saya enggak sekurang ajar itu," dalih gue. Gue silangkan telunjuk di belakang punggung. Gue boong, gue tahu.

"Justru karena kamu enggak tahu dan main nyerocos saja, saya yakin kamu jujur."

Gue jujur sih, tapi itu gara-gara gue kesal. Hampir aja gue melontarkan kata maaf, tapi bersamaan dengan itu gue mendengar tawa ketiga sohib gue. Entah kelakar apa yang mereka omongkan. Bukan soal gue kan?

"Bukan jujur, sih. Penilaian saya subjektif, mungkin gara-gara saya kesal," aku gue.

King mengangguk-angguk. "Akhirnya saya paham."

"Apanya?"

"Emosi masih dangkal, pikiran masih labil begitu, mau naik jabatan?"

Heh!

"Ditambah lagi dengan enggak bisa menyimpan rahasia."

"Maksud lo apa?" Mata gue menyipit.

"Saya cuma berpikir, mungkin saya orang kesekian yang kamu ocehin tentang keburukan atasan kamu sendiri?" Lagi-lagi King mengangkat alisnya. Dia lima kali lebih menyebalkan.

"Saya benar, kan?" ulangnya.

Gue menolak menjawab. Sisi kepala gue beneran berdenyut kencang. Mata gue memanas. Gue gigit bibir gue kencang-kencang.

"Enggak bisa jawab?" tantangnya lagi. "Saya benar, kan?"

Gue menahan napas. "Terus? Lo mau ngadu? Sono! Bilang ke Bokap lo tentang apa yang gue omongin! Biar kelar sekalian! Biar gue dipecat sekalian! Puas lo?"

Anjir... Kem! Stop ngoceh, Kem! Stop! Lo bakal kehilangan penghas—

"Buat apa ngadu?" jawabnya santai. "Lalu, saya kehilangan tontonan menarik seperti seseorang yang bersembunyi di sudut, celingukan melihat sekitar baru berani melangkah, dan yang pertama kali lari saat berpapasan?" sindirnya tepat sasaran.

"Kampret!" desis gue.

"Kamu persis seperti maling kutang yang mengendap-ngendap di jemuran."

Di detik itu juga, gue menyerbu King danmenjambak-jambak rambutnya!    


Note:

Dari usulan cast kemarin, enggak ada yang bikin saya berpaling dari cast saya. Muahahaha... udahlah, kalau enggak setuju, bayangin masing-masing aja gimana. Gitu aja kok rempong. Wkwkwkwk..

Mari kenalan sama Kemi:

Mari kenalan sama Kemi:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ps. Si Neng lagi galau-galaunya, ketakutan dipanggil si Bos atau anaknya. Wahahaha

MAGNITUDO (Stagnasi #2) - CompletedWhere stories live. Discover now