Judi Sholat

260 2 0
                                    

Sebuah warung di jalan masuk perumahan punya teve besar 24 inch. Tiap ada siaran langsung sepak bola, jadi ramai orang menonton. Dan... taruhan. Ya, itulah penyebabnya. Bahkan sang pemilik warung nyaris tak pernah absen memasang jagoannya. Tapi siang ini, wajahnya kusut masai. Ia kalah taruhan satu juta.

Aku menyadarinya saat memesan segelas kopi. Encer sangat. Airnya terlalu penuh. Hilang sudah aroma biji kopi penyemangat saraf yang lelah di siang hari.

"Saya ingin berhenti ikut taruhan, mas," katanya tiba-tiba. "Kalah terus."

Apa mungkin bisa berhenti? Dalam hati aku merasa sangsi. Warung ini ibarat kasino bagi tukang ojek, pengayuh becak, supir angkot, serta lelaki pengangguran di perumahan. Perputaran uang sangat pesat di sini. Kalau ada pertandingan final, si pemenang bisa saja pulang dan keesokan harinya dapat motor baru. Atau untuk uang muka pembelian mobil bak di kampung, bahkan kawin lagi - mungkin.

Itu teorinya. Kenyataan bicara lain. Seringkali uang habis begitu saja. Entah bagaimana, kemenangan yang diraih hari ini bisa terkuras untuk pertandingan lain keesokan hari. Makin buntung begitu kalah lebih banyak, solusi terakhir terpaksa menghutang.

"Kalau sholat lalu berjudi ya begitu. Nggak ridho, jadi sering kalah. Kalau mau sholatnya afdol, pelan-pelan direm judinya, jadi usaha bisa lebih untung dan berkembang. Tapi kalau mau judi, ya... sayang aja sholatnya. Mending judi aja sampai puas, he...he...he."

Aku tahu si pemilik warung rajin sholat. Setiap seruan dari mesjid datang, ia sering menutup warung 10 menit untuk pulang ke kontrakannya. Masalahnya mungkin, hanya berada di lingkungan yang penuh tantangan.

"Iya, saya juga sadar, mas. Judi itu nggak bener. Awal-awalnya sih menang, setelah itu kalah terus. Kalau lagi sholat sering malu juga. Lama-lama modal habis, nggak bisa belanja atau kirim uang. Saya janji, mau berhenti judi. Kasihan anak-istri di kampung."

"Nah, bagus itu bisa paham sendiri. Coba aja dengerin kata hati, nanti bisa merasa yang baik dan tidak, kok," jawabku sambil tersenyum kecut. Ini gara-gara rasa kopi yang aneh. "Tambah kopinya, dong. Biar agak pahit. Ini terlalu encer."

"Loh, itu kan kopi sachet, mas. Sudah begitu takarannya. Airnya kebanyakan, ya? Kalau mau saya bikinin kopi baru, deh."

Pemilik warung siap menggunting bungkusan kopi lagi, ketika seseorang masuk tergopoh-gopoh.

"Nanti malam liga Inggris, perang derby, satu kota. London. Berani pasang?"

"Wah, ayo siapa takut?"  sahut si pemilik warung. Mereka berdua pun bernegosiasi menentukan harga taruhan. Setelah sepakat dan 'sang musuh' pergi, si pemilik warung menoleh padaku.

Mulutnya menyeringai, cuping hidungnya kembang-kempis.

"Yang ini cuma iseng, kok. Biar seru nontonnya."

Tiba-tiba perutku melilit, harus segera ke toilet.  Ini pasti gara-gara kopi encer itu...

Judi SholatWhere stories live. Discover now