1. Maharani

56.6K 4.6K 625
                                    

Kita di sini bukan untuk relationship

Tapi get over shit

***

"Alex," cowok itu menyebut namanya.

"Eng ... Jenny...." Aku membalas setelah menelan ludah.

Nama itu muncul begitu saja di kepalaku gara-gara Majimakcheoreom barusan kelar diputar. Bukan tanpa alasan kenapa aku pakai nama samaran sebab memang sudah disepakati bahwa malam ini kami sedang dalam misi menjadi orang lain. Semalam aja. Itung-itung balas dendam.

Namaku yang sebenarnya cukup sederhana, Maharani.

Nggak ada nama tengah, nggak ada nama belakang. Bapakku memang produk lama yang nggak suka ribet soal nama. Kakak sulungku dinamai Halimun karena lahir dini hari saat berkabut. Namaku diambil dari nama nenek yang meninggal beberapa saat sebelum ibu mengandungku. Adik semata wayangku dinamai Kintamani karena ... kata bapak bikinnya di Kintamani.

Panggil aku Rani aja.

Usiaku sedang ranum-ranumnya. Lulus kuliah usia dua-dua, nganggur sebentar, kemudian kerja di kota metropolitan kira-kira udah setahun lebih.

Secara fisik, nggak ada yang spesial. Mataku dua, hidungku satu, rambutku hitam, kulitku sawo matang (akhir-akhir ini bersihan karena makin nggak pernah kena polusi). Soal penampilan, yah rata-rata ... kalau kubilang cantik, wong nggak cantik-cantik amat. Jelek juga enggak, dong, muka sendiri masa dikatain? Mau ngaku cantik malu aku, tuh, kebiasaan dari kecil kalau ada yang bilang aku cantik bapak pasti langsung ngejek hidungku yang dulu selalu dijepit jepitan jemuran sama bunda biar lebih mancung.

Sampai kemudian putus hubungan sama cowok yang udah aku kencani sejak masih duduk di bangku kuliah jurusan psikologi Universitas Harapan Indonesia, hampir nggak ada yang istimewa dalam hidupku. Semua lancar, mulus, tapi tidak ada yang weowe.

Aku dan Bima bertemu waktu aku pulang ke Yogya. Dia orang Jakarta yang kuliah di kampung halamanku, aku orang Yogya yang kuliah di kampung halamannya. Kupikir awalnya LDR-an kami aman-aman saja. Yah godaan sekali-sekali datang menerpa, tapi nggak sampai bikin kami putus. Tahulah kehidupan gemerlap Yogya gimana, palakor tersebar di mana-mana. Nggak usah tersinggung, ya, namanya juga lagi kesel. Tapi memang bener juga. Misal cowokmu kuliah di sana, atau ngapain aja di mana aja yang jauh darimu, jangan terlalu percaya kalau tiba-tiba jam delapan malam dia bilang udah tidur, atau butuh waktu terlalu lama membalas chat padahal tiap berduaan nggak pernah pisah dari handphone-nya.

Meski udah sering curiga, tapi aku nggak pernah menangkap basah perbuatannya. Sampai suatu ketika, waktu dia main serong sama lonte-nya di Amplas, bunda yang lagi jalan-jalan sore bareng geng pengajian Kelurahan memergokinya. Mungkin karena yang ngabarin bundaku sendiri, ples banyak saksi mata, tanpa babibu, dhiyesss, aku langsung minta putus.

Terluka, dong, harga diriku.

Aku lagi di jakarta, kerja. Dia di Yogya, masih kuliah, dan nggak lulus-lulus. Nggak jarang aku yang biayain hubungan jarak jauh ini. Ya pulsa, ya tiket pulang, ya kadang buat dia makan kalau ngeluh kelaparan, ya apa aja, orang dia pengangguran. Mahasiswa abadi yang masih dikirimin duit sama orang tuanya.

Aku sedih berat, sempet nggak tahu harus ngapain. Tiga tahun, lho, kami pacaran. Kalau ibarat anak SMA, tiga tahun itu udah lulus. Mahasiswa baru, udah mau skripsi. Kredit motor uang muka tujuh ratus ribuan, udah keluar BBKB-nya. Paling cuma sinetron yang tiga tahun belum tamat.

Sudah tiga hari dua malam aku nangis, bahkan ngambil cuti khusus buat nangis. Bilangnya sakit, sih. Untung teman sedivisiku baik-baik. Katanya kalau lagi sehat aja aku kerjanya suka ngaco, apalagi kalau lagi patah hati, bisa-bisa aku salah masukin data lembur dan merusak hajat hidup orang banyak.

Enjoy The Little Thing [SUDAH TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang