The Eye

10 0 0
                                    

Malam itu dingin, awan sudah menggumpal bagai kapas kelabu di atas langit dan bergerak terbawa angin. Suara angin menderu dalam gelap ditemanin sorotan sinar rembulan yang terang memecah dingin malam. Di sebuah rumah tua seorang gadis kecil menutupi lilin yang dia nyalakan dengan kedua tangannya untuk mencari sedikit kehangatan. Malam itu memang sangat dingin tapi tidak hujan hanya angin yang bertiup membuat malam semakin membekukan alam. Gadis kecil itu tersenyum kecil penuh syukur atas kehangatan yang dia dapatkan dari lilin yang dinyalakan. Dalam hati ia berkata "Lilin selalu bisa jadi teman saat aku sendiri". Sambil menutup mata dia menikmati setiap detik.

Suara langkah kaki mulai terdengar di telinganya, hentakan langkah yang terdengar diatas lantai kayu. "Minerva! Ini makananmu !" terdengar suara seorang pria dengan suara yang keras seperti membentak. Minerva adalah nama gadis kecil itu. "Iya ayah, tunggu sebentar!", jawab minerva dengan suara seperti ketakutan, segera Minerva meniup lilin nya dan berlari kearah pintu untuk membuka pintu.

Saat dia membuka pintu ayahnya berdiri didepan pintu membawa sebuah mangkuk kecil berisikan sup yang akan diberikan kepada Minerva untuk makan malam. "Makan ini dan segara tidur! Banyak hal yang harus kamu kerjakan besok pagi", ayahnya berkata. "Baik ayah", Minerva menjawab dengan wajah tertunduk takut. Jelas saja sosok ayahnya yang bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh bekas jahitan luka membuatnya takut, ditambah lagi sesungguhnya dia bukanlah ayah kandung Minerva.

Hubungan mereka tidak pernah baik semenjak ibu Minerva meninggal dunia 2 tahun yang lalu. Sebelumnya ayah tiri Minerva selalu bersikap baik, hangat dan perhatian kepadanya. Namun setelah kepergian ibunya ayahnya berubah sikap, segala kebaikan yang dulu selalu dia lihat hilang. Ayahnya yang dulu bekerja sebagai banker di kota, sekarang hanyalah seorang tukang kayu yang menebang kayu di hutan dan menjadikannya sebagai bahan material bangunan dan kayu perapian. Namun walaupun demikian ayahnya selalu memberikan makanan setiap hari dan memasak untuk mereka berdua.

Segera setelah ayahnya meninggalkan kamarnya, Minerva kembali masuk kedalam kamar dengan membawa sebuah mangkuk berisi sup yang ayahnya bawakan untuk dia. Segera Minerva mulai memakan supnya, "Supnya masih hangat dan selalu enak. 

Ayah memang sangat pandai memasak" sambil tersenyum Minerva berkata pada dirinya sendiri. Namun raut wajahnya mulai berubah menjadi sedikit muram. 

"Andai ibu masih hidup pasti ayah tidak akan bersikap dingin seperti ini padaku", kembali Minerva berkata pada dirinya sendiri.

Mangkuk supnya pun telah kosong, Minerva telah selesai memakan makan malamnya. Saat itu pukul 20.15. Angin masih tetap bertiup kencang, rintik hujan mulai turun bagai nada pengisi sunyi malam. Suara binatang malam kian terdengar karena memang rumah Minerva jauh dari keramaian kota. Dia dan ayah tirinya tinggal jauh dari keramaian kota yang tidak banyak dihuni orang.

Bisa dikatakan mereka tinggal dipinggiran kota. Minerva mulai bersiap untuk tidur. Suara hujan memang selalu menjadi irama alam pengantar tidur favoritnya. Tak heran dia sangat bersemangat untuk merebahkan dirinya dan menyelimuti tubuh kecilnya. Minerva pun mulai terlelap. Pagi pun telah tiba gadis yang akan segera genap 11 tahun usianya itupun bersiap memulai hari. Minerva tidak lagi bersekolah. Dia membantu ayahnya mencari ranting pohon untuk dijadikan kayu perapian. Pagi itu cuaca cukup mendung, ayah tiri Minerva sudah terlebih pergi menebang pohon dihutan. Minerva menyusuri setiap jalan dengan langkah kecilnya, beralaskan sepatu lusuhnya yang bergemul dengan deduanan kering yang terhampar dijalan dia menapak. Di pertengahan musim gugur hutan selalu dipenuhi dengan pepohonan tak berdaun, hanya ranting ranting panjang yang menjulang berjejer tak beraturan.

Tak pernah tau arah tujuan kemana Minerva biasanya pergi mencari ranting. Namun pagi itu dalam hatinya dia ingin sedikit bermain main untuk menyusuri setiap jalan yang dia lalui. Pagi itu Minerva pergi cukup jauh tidak seperti biasanya. Minerva berhenti berjalan sembari menatap ke atasnya. Dia melihat begitu tingginya pepohonan disekitarnya dan dia menyadari betapa kecilnya dia. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 14, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Minerva & The Seed DescendantsWhere stories live. Discover now