Dua Puluh

502 80 6
                                    

Ayah keluar toko diantar Pak Sanjaya, berbasa basi sebentar sebelum Ayah berpamitan.

"Kita bicara di rumah nanti, Ra. Ayah balik ke kantor lagi." Tepukan Ayah mendarat di bahu Aira. "Langsung pulang ya!"

"Iya, Ayah. Terima kasih," sajut Aira yang dijawab dengan anggukan kepala Ayah.

***

Suara berdenting berkali-kali. Serbuan pesan masuk whatsapp saat ponselnya berhasil mendapat sinyal. Sama seperti Aira yang rasanya mendapat udara segar alami.

Ruangan wawancara benar-benar rapat dan kedap suara. Bahkan sepertinya udara pun harus minta izin untuk masuk ke ruangan itu, Aira bisa membayangkan betapa pengapnya di sana jika seandainya tak ada AC.

Ayah dan Pak Sofyan masih di dalam rungan untuk wawancara lanjutan. Sedemikian sulit untuk membuat paspor dan visa bagi anak di bawah umur!

Sebenarnya tidak. Hanya saja banyak persyaratan pendukung yang harus disertakan selain syarat-syarat utama. Ayah dan Pak Sofyan juga harus menandatangani beberapa dokumen yang menyatakan bahwa Aira boleh bepergian sendiri. Izin berlapis atas nama orang tua dan kepolisian. Ah, Aira merasa jadi orang penting.

Kepolisian juga sudah membantu menghubungi Natalie dan memastikan keberangkatan Aira. Terlalu berlebihan kah? Mereka mau bersusah payah demi tulang yang terserak.

Berkali-kali Aira harus meyakinkan Ayah dan Pak Sofyan, semua yang dia lakukan demi sebuah kepercayaan seorang sahabat. Kepolisian tidak bisa mengirimkan anggotanya untuk menyertai Aira. Dan Pak Neil, sepertinya tak terlalu kecewa, karena saat ini kondisi keluarganya kembali sejuk.

Semalam Aira juga harus beradu argumen cukup lama dengan Ayah. Memastikan Zeeshan akan mengawal Aira dengan sangat baik, sebelum Ayah mengatakan, boleh!

Aira menyapukan telunjuknya di layar ponsel. Beberapa nama terlihat online. Pesan masuk dari teman-temannya di sekolah dan Arul. Dia memang tak memberi tahu alasan izinnya.

Satu demi satu Aira membalas pesan itu sambil menunggu Ayah selesai wawancara. Hanya pada Arul dia berkata jujur, saat ini sedang di Kantor Imigrasi.

Masih lama? Tulis Arul di pesannya.

Yup. Selesai dari sini, langsung ke kedutaan. Dibantu Pak Sofyan untuk proses semuanya.

Nanti malam aku ke rumah ya.

Ketemu besok pagi aja ya Kak, aku nggak tahu balik jam berapa nih. Habis dari kedutaan balik ke RSUD. Ketemu Dokter Zul untuk surat jalannya.

😟😟😟

Hanya emotikon yang Aira terima. Tapi sepertinya hari ini akan cukup melelahkan. Dan Aira merasa tak enak karena harus merepotkan banyak orang.

Ayah dan Pak Sofyan belum juga keluar ketika Aira mendapat panggilan untuk foto. Tanpa menunggu, Aira masuk ke bilik pengambilan gambar. Tak ada lima menit dia sudah selesai.

Aira gelisah menunggu, sepuluh menit selepasnya berlalu dengan sia-sia. Dia hanya memainkan ponsel dengan gelisah, ketika tiba-tiba denting email masuk.

Belum sempat Aira membuka, pesan whatsapp mendahului.

Namira, aku mengirim surat sponsor untukmu. Kukirimkan ke polisi, dan lampirannya kepadamu. Kutunggu di bandara Schipol.

Aira membalas cepat.
Terima kasih, Nat, atas bantuanmu.

Tidak. Aku yang berterima kasih. Aku selalu bercerita pada Daddy tentang rencanamu. Dan kau tahu? Saat kami bercerita kemarin, Dad memberikan reaksi yang luar biasa. Kami nyaris putus asa, ketika tiba-tiba bola mata yang menutup dan jemarinya bergerak-gerak. Satu senyuman terlihat di bibir Dad!
Datanglah Namira, kami menunggu.

I'll be so love it, Nat.

Aira menutup ponsel saat melihat Ayah dan Pak Sofyan keluar ruangan, satu buku kecil berada di tangan polisi senior itu.

Pak Sofyan tersenyum kecil, "Kita lanjut ke kedutaan."

Aira tersenyum. Artinya paspor lolos. Di kedutaan, proses juga lancar. Surat sponsor yang diberikan Natalie seperti menjadi jaminan kehidupan Aira disana agar tak terlunta-lunta.  Screening tabungan Ayah dan bermacam persyaratan lain, termasuk lagi-lagi... wawancara! Dan Pak Sofyan menjadi mata tombak Aira.

Proses visa juga bisa menjadi lebih cepat karena tingkat kepentingan urusan. Tiga hari ke depan visa siap digunakan. Tinggal tiket dan surat jalan.

Dengan mengendarai mobil dinas Pak Sofyan mereka meluncur menemui Dokter Zul, memastikan persiapan hal-hal yang diperlulan Liz untuk 'pulang'. Aira benar-benar dibantu penuh oleh Pak Sofyan.

"Pak Sofyan, saya sangat berterima kasih. Saya tidak tahu dengan apa membalas kebaikan Bapak," kata Aira saat mereka dalam perjalanan menuju RSUD.

"Ada. Saya memang sepertinya butuh bantuanmu Aira. Besok malam saya undang kamu ke rumah, datang sekeluarga ya. Kita makan malam bersama di rumah saya ya," jawab Pak Sofyan tanpa memalingkan mata dari fokus jalanan. "Bisa kan, Pak?" tanyanya memastikan pada ayah Aira.

"Insya Allah , Pak." Ayah menjawab sambil melirik Aira yang duduk di kursi belakang, tepat saat Aira juga menatap ayahnya. Bantuan Pak Sofyan ternyata tidak cuma-cuma.

"Bantuan tentang apa, Pak?" Aira mencoba bertanya.

"Bantuan kecil. Besok saja kalau kalian sudah di rumah, semoga Aira bisa menolong saya."

Aira hendak membuka mulut lagi, tapi lirikan Ayahnya memberi kode untuk diam. Dan Aira benar-benar bungkam sampai mereka masuk ke ruangan Dokyer Zul.

Tulang belulang Liz yang sudah tak utuh ditempatkan dalam peti kecil sepanjang enam puluh centi. Lebar dan tinggi peti kecil itu sepertinya hanya dirancang untuk muat satu tulang tengkorak saja.

Dokter Zul menatap Aira dan menggeser peti itu mendekat.

"Kamu mau buka?" tanya Dokter Zul sambil bersiap membuka peti itu.

Aira menggeleng.

"Tidak, Dok. Saya justru sedang melihat Liz dalam bentuk utuhnya." Pandangan Aira tertuju pada sebelah kanan peti.

"Apa kabar, Liz? Kau bahagia akan segera pulang?" tanya Aira terang-terangan dengan bersuara layaknya biasa.

Aira melihat Liz mengangguk dengan senyuman paling manis yang pernah dia lihat.

"Ini dokumen yang perlu dibawa," terang Dokter Zul sambil mengulurkan satu bendel map pada Pak Sofyan, "Silahkan. Termasuk jasad Liz juga boleh dibawa, tetapi kalau mau diambil saat mau berangkat juga boleh."

'Mereka memperlakukanmu dengan baik, Liz?' tanya Aira dengan suara batinnya, tak ingin mengusik pembicaraan antara Pak Sofyan dan Dokter Zul.

"Sangat. Dokter Zul membersihkanku seakan sedang merawat anaknya sendiri."

'Syukurlah.' Aira melepas napasnya. 'Ted menunggumu Liz, kata Natalie kondisinya membaik.'

Salahkah Aira saat melihat mata Liz mengambang sedih. Linangan air mata semacam kaca kecil retak yang siap luruh.

'Liz, bahagia lah,' seru Aira.

"Aku bahagia, Aira. Sangat. Terima kasih buat semua yang kau lakukan."

'Kalungmu.... " kata-kata Aira yang menggantung.

"Kalung itu milikmu, terserah mau kau apakan, yang penting aku bisa pulang, Ra."

Aira mengangguk. Tak terasa tiga tahun persahabatannya menorehkan rindu meski tak sempurna. Aira tiba-tiba teringat kata Arul, bahkan sebelum Liz benar-benar pergi, hatinya telah merindu.

---££££----
Wooooh, update nunggu lepas dini hari itu ternyata... sesuatuuuu 😅😅😍

Rest To Home (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora