•••(Jeno POV)

299 19 0
                                    

Sepulang Jeni ke Korea, hidupku dengannya berubah. Kadang aku merasa tertukar dengannya akibat coordi yang lebih memperhatikan airport style Jeni. Aku dibuat bingung dan bertanya pada diriku sendiri. Sebenarnya yang idol itu siapa sih?

"Haduh, jangan pakai sweater saat ke bandara. Di sana nanti pasti panas. Cuacanya memang dingin, tapi jangan pakai sweater karena kamu akan berkeringat," kata coordi pada Jeni.

"Jangan sampai kamu terlihat norak. Sini, Aku tata rambutmu," kata coordi saat melihat rambut Jeni berantakan.

Sedangkan,

"Jangan tonjolkan dirimu dengan warna kontras," peringatan coordi padaku.

Hanya komentar itu yang sering terdengar untukku.

Aku juga sedikit iri karena Jeni sudah punya pacar. Keputusan awal mereka memang hanya bersahabat. Namun, akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat. (Tidak usah ku beritahu, kalian juga pasti ingat siapa orang yang aku maksud)

Jeni jadi sangat menempel dengan pangeran dari perbatasan itu. Lebih dari kedekatannya denganku. Kemanapun Jeni pergi pasti ada orang itu. Bahkan, pacar Jeni itu rela pindah sekolah di Korea hanya karena ingin dekat dengan Jeni.

"Yang penting tidak membuat Jeni menangis seperti di taman bermain waktu itu. Aku malu tau," ujarnya saat kutanya alasan ia pindah ke Korea.

Aku merasa gagal menjadi kakak yang baik karena Jeni yang lebih memilih curhat ke pacarnya. Kami pun jadi tidak terlalu dekat karena Jeni yang sibuk chatting dengan pacarnya.

"Apa sih kak? Jangan ganggu dulu ih," ucapnya saat aku ingin mencoba Qtime dengannya di kamar.

Namun, ada saatnya juga Jeni menangis dipelukanku. Ada banyak alasan kenapa ia menangis. Yang paling sering terjadi salah satunya adalah saat pacarnya tidak menghubungi.

"Jun~ah tak lagi meneleponku. Apa dia marah?" tanya Jeni sesenggukan.

"Dia bilang padaku kalau dia sedang perjalanan pulang ke China untuk menengok ibunya. Nomor ponsel koreanya non aktif untuk beberapa waktu ini. Sebenarnya dia ingin menghubungimu dengan nomor ponsel china miliknya tapi biaya telepon ke sini cukup mahal," jelasku.

Ia semakin membenamkan wajahnya di dadaku. Ia jadi sangat manja padaku setelah itu.

Kadang, aku juga sedikit lega karena dia masih perhatian padaku. Ia masih peduli ketika aku pulang terlambat atau bahkan jarang pulang ke rumah.

"Baru pulang Jen? Ada masalah di dorm ya? Ini ada minuman hangat untukmu," sambut Jeni saat aku pulang larut.

Di lain kesempatan...

"Sibuk ya? Pulang-pulang lemes gitu? Kamu sakit?" tanyanya menjejali pikiranku. Pada saat itu, aku memang sedang sakit.

Tanpa menjawab aku pun langsung memeluk Jeni. Aku memang sudah lemas dan tak mampu lagi berpikir.

"Badan kamu panas Jen. Sepertinya kamu demam," kata Jeni. Ia memindah posisiku menjadi merangkulnya. "Ayo kita ke kamar. Ganti bajumu, makan, minum obat, lalu istirahatlah," katanya lagi.

Aku yang lemas hanya bisa menurut.

"Kalau ada apa-apa, panggil aku saja. Aku akan sesering mungkin ada di kamar Jen," kata Jeni. "Oh iya, kamu harus tidur. Besok kamu absen dulu dari sekolah ya? Aku akan bilang Papa untuk membuatkanmu surat izin," tambahnya.

Ia juga sangat menepati perkataannya. Sewaktu aku sakit dan ia berjanji untuk sesering mungkin ada di kamar, dia benar-benar melakukannya. Ia dengan setia menemaniku dan menjagaku. Jeni adalah semangatku.

Tak jarang Jeni mengajakku bercerita. Aku sangat terhibur dengan semua ceritanya. Ia tipe orang yang polos dan jujur saat bercerita. Semua yang ia lihat, dengar, dan rasakan selalu ia ceritakan dengan gamblang. (kecuali masalah pacar :v)

"Jeno... Kamu tahu tidak? Sekolah tadi jadi sepi. Aku merasa bosan saat pelajaran tadi. Happy virus Haechan sepertinya juga tidak mempan," ujarnya.

"Kenapa?" tanyaku lemas.

"Mungkin karena kamu tidak ada. Oh iya Jen, tadi aku hampir jadi korban bullying lagi. Kalau Jaemin atau Haechan tidak cepat datang, aku ragu bisa bertemu denganmu lagi atau tidak," ucapnya yang membuatku tercengang. Ia bahkan masih bisa buka-bukaan tentang masalah pribadinya di sekolah yang mengancam nyawanya.

"Ada masalah apa lagi hah?" Aku panik.

Saat kutanya seperti itu, ia langsung menangis tidak mau menjawab. Sepertinya masalah lama terungkit lagi ditambah dugaanku tentang apa yang selama ini kulihat secara nyata dan pribadi.

"Tapi kamu engga apa-apa kan? Kamu luka?" aku berusaha bangkit di tengah kondisiku yang lemah saat itu.

Jeni hanya menggeleng dipelukanku. Dia memang rentan dengan satu hal yang menimpanya saat ini. 

"Renjun tahu soal ini?" tanyaku.

Sekali lagi ia menggeleng.

Aku bersyukur saat Renjun belum tahu soal yang satu ini. Jika ia terlanjur tahu, mungkin akan lebih berbahaya dan mungkin juga aku benar-benar tidak bisa bertemu lagi dengan Jeni.

Jeni memang adikku yang super kompleks, tapi kekompleks-an dialah yang membuatku semakin sayang.

Star's TwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang