"Kakak kenap-" mata Sasi membulat sempurna. Pulang telat, bau alkohol, dan "Hei! Kenapa kakakku bisa bersamamu!" Adrenalin Sasi meningkat dengan pesatnya.

Telinganya memerah sempurna, wajahnya merah padam. Sasi marah, "Pergilah." Tidak, Sasi tidak peduli ucapan perempuan dengan minim bahan yang membopong kakaknya malam ini. Sasi dengan cekatan memindahkan tangan kakaknya untuk merangkul pundak dan membawa kakaknya masuk ke rumah.

Sesaat berlalu Sasi keluar lagi untuk menutup pintu namun matanya kembali membara saat menatap wanita dengan pakaian minim bahan tadi masih berdiri dengan posenya yang ewh di tempat semula.

"Terima kasih, pulanglah." blam Sasi menutup pintu rumah kasar.

Sasi akan menjadi sangat berbahaya jika moodnya jelek apalagi ada orang yang sengaja membuatnya marah.

Sesampainya ia di ruang tengah, Genta justru tertidur di sofa. Genta mendengkur. Keadaannya kacau dan yang paling membuat Sasi benar-benar marah adalah adanya banyak noda lipstik di kemeja sang kakak.

"What the fuck kak Genta!!!" Teriaknya tepat di telinga sang kakak yang tetap memejamkam mata meski di teriakki.

Semoga kak Jeannie tidak terbangun.

💛💛💛

Sinar matahari pagi sukses membuat Jeannie mengerjapkan matanya beberapa kali. Tidak terlalu silau karena masih tertutupi tirai putih di sebagian celahnya.

Matanya tiba-tiba tak tentu arah. Jeannie tidak menemukam adanya spesies macam suaminya di kamar mereka.

'Kamu kemana lagi' batinnya.

Kakinya melangkah turun dari ranjang. Tubuhnya membawa ia berjalan keluar kamar segera menuju dapur.

Namun langkah kakinya terhenti saat menemukan suaminya terongonggok lelap di sofa favoritnya. Lelaki itu hanya menggunakan baju dalam putih dengan celanan panjang abu yang masih lengkap dengan sepatunya.

"Kalau kamu pulang kenapa tidak tidur di kamar kita." Ucap Jeannie namun lirih hampir tak terdengar oleh siapapun karena tak ada siapapun di ruanngan tersebut selain sepasang suami istri itu sendiri.

💛💛💛

'Eunggh' lenguhan Genta terdengar dengan sangat baik oleh Jeannie dari bilik dapur rumah mereka.

Genta mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya ia menggunakan tangannya untuk mengucek kedua matanya.

Ia menegakkan badannya, sesekali ia meringis karena ngilu di beberapa bagian tubuhnya dan lagi bau alkohol masih sangat tercium olehnya sendiri.

Sesaat pikirannya melayang ke peristiwa semalam. Semuanya benar-benar keinginan Genta, Ia bermalam di rumah sang mantan. Mantan sebelum ia bertemu dan membina rumah tangga dengan Jeannie. Mantan yang membuatnya mati-matian berusaha untuk mendapatkannya kembali. Mantan yang sebenarnya merusak Genta dari segi batin namun sekali lagi cinta itu buta, Genta hanya tahu dulu ia mencintai sang mantan dengan sangatnya dan sekarang mengkhianati sang istri demi mantannya tersebut.

Sementara itu di dapur.

"Bapak sudah bangun buk. Tapi saya melihat bapak melamun." Ucap salah satu maid di rumah tersebut.

Jeannie mengangguk, "it's okay. Jangan lupa antarkan sarapan ke kamar Sasi." Setelah berucap demikian, Jeannie pergi meninggalkan dapur menuju suaminya yang ternyata masih melamun.

Beberapa detik lebih dari sepuluh yang jelas, Jeannie mengamati suaminya; penampilannya, sangat buruk.

"Hei." Ucapnya pelan sembari menyentuh pipi Genta.

Genta menggeleng pelan saat sadar ada tangan di pipinya, "Pagi." imbuh Jeannie lagi sambil tersenyum tulus.

"Jam berapa sekarang ?" Bukannya menyahut, Genta malah berucap demikian dengan suara khas orang bangun tidur.

"Jam setengah delapan. Ada apa?" Genta menggeleng .

Cup

"Morning kiss sayang." Naif sekali.

Jeannie tersenyum lalu duduk di pangkuan suaminya "Semalam pulang jam berapa?"

Iya Genta kelabakan, terlihat dari pandangan matanya yang seolah bingung.

"Kak Genta balik jam satu lebih kak." Sasi menyahut dengan suara lantangnya.

"Oh." Kedua kakak beradik tersebut menatap Jeannie yang hanya menjawab demikian.

Genta yang takut Jeannie akan marah setelah ini dan Sasi yang bingung kenapa kakak iparnya tersebut tidak mengamuk saat ini juga.

"Aku ke kamar dulu." Setelahnya Jeannie berdiri dan pergi meninggalkan kakak beradik tersebut yang masih bingung dengan pikiran mereka sendiri.

Sepeninggal Jeannie, Sasi berjalan pelan ke sebelah Genta. Ia duduk di sana. Mengamati sang kakak dari atas hingga bawah beberapa kali.

"Kakak ngapain aja semalem?"

Genta mengejapkan matanya, "maksud kamu?"

"Jangan pura-pura. Kak Jeannie nggak tahu masalah semalam. Kakak pikir kakak siapa? Enak banget main perempuan sana sini."

Genta menoleh menatap adiknya dengan wajah merah padam, namun sayang Sasi pun juga demikian. Wajah wanita mungil itu merah padam, lebih padam dari Genta. Sasi kecewa akan sikap sang kakak. Dan masalah semalam belum sampai ke telinga keluarga mereka.

"Tidakkah kakak berpikir kalau kak Jeannie sedang hamil besar? Kalau sampai kemarin yang bukain pintu kak Jeannie terus kakak mikir nggak yang kejadian apa?" Nadanya meninggi beberapa oktaf di bagian akhir.

Genta diam seribu bahasa. Ia tidak memikirkan Jeannie saat sudah bertemu dengan mantan kekasihnya tersebut.

"Jangan lagi-lagi deh kak. Kakak kan tau, perempuan itu licik." Masih diam seribu bahasa. Ucapan Sasi benar adanya.

"Kakak semalem dari mana?" Genta kembali menatap wajah sang adik.

Andai mereka tahu, sedari tadi ada seseorang yang bahkan sudah mencoba menahan tangisnya dari balik tembok pemisah antara ruang tengah dengan tembok pembatas tangga ke lantai dua.

"Ayolah kak. Jangan begini." Ucap Sasi lagi, setengah dari merengek dan geram akan sikap sang kakak.

"Dari club malam dengan Natasya."

"Are you sure?." Bukan salah Sasi jika ia tak mempercayai kakaknya. Namun sungguh kemeja Genta semalam sangat menjelaskan segalanya yang ada di pikiran Sasi saat ini.

"Di kamar club malam." Terjawab sudah pikiran Sasi dan tangis seseorang pecah di balik tembok tersebut.

✅️ 4. ThunderstruckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang