cintaku di Hutan Kematian

50 4 1
                                    

Aku tertegun melihat seutas pita berwarna biru yang melingkar di sebuah batang pohon. Memoriku berkelana padanya, wajahnya terus berdesakan dalam kepalaku. Pening. Ekspresi teduh darinya membuat mataku berkunang-kunang, enggan menerjemahkan pita itu sebagai tanda keberadaannya. Pita biru dengan warna yang langka, aku tahu itu punyanya. Tidak, aku percaya itu bukan dia. Tidak, itu memang dia. Uh, kepalaku terasa sangat sakit.
Memoriku langsung berubah warna. Hutan ini, segala tentangnya adalah hitam. Aku pernah masuk dan takkan pernah mau kembali. Ya, bertemu dengannya pertama kali di sini. Tempat yang paling ia benci, tapi mengapa kini ia berada di sini? Tidak, aku menyangkal dia di sini. Dia takkan ada di sini, pita ini hanya kebet
ulan. Tidak, dia di sini.
"Aaaaaaaa!!!!" Aku berlari membabi buta masuk ke dalam hutan. Hatiku terus mengatakan dia di sini meski otakku menolak. Mataku terasa panas, memutar kembali memori kelam masa laluku di hutan kematian ini.
***
Aku berjalan terseok dengan pandangan kosong. Pukulan, pengucilan, dan keputusasaan membayangi benakku. Aku tidak dibutuhkan, itu yang kutahu. Aku diabaikan, itu yang kumengerti. Aku tidak berguna, itu yang kupahami. Aku memandang ke sekeliling, masih dengan perasaan kalut, gelap menyelimuti semua suasana hutan ini sekalipun pada siang hari. Sesekali, sekelebat bayangan berhasil membuat bulu kudukku berjingkat.
Aku tersandung. Kutatap ngeri mayat yang terbujur kaku di sampingku. Aku bergidik, merangkak menjauh dengan perasaan kalut luar biasa. Tangan dan tubuhku mulai bergetar ketika bau anyir juga menyergap penciumanku. Hutan ini benar-benar memberikan kesan yang sangat mengerikan untuk orang yang baru pertama kali masuk. Sampah berserakan, barang-barang ditinggalkan pemiliknya yang telah memutus nyawa, dan seakan selalu ada sesuatu yang mendorongku untuk terus berangsak masuk.
Aku berdiri dengan susah payah, aku kemari untuk bunuh diri, aku hampir melupakannya. Tidak ada waktu bagiku untuk merasa takut dan kalut melihat semua ini karena seharusnya aku sudah tahu akan seperti ini jadinya. Aku memandang sekali lagi pada mayat yang tergeletak di tanah penuh dedaunan dan akar-akar yang muncul ke permukaan, lalu memutuskan untuk pergi ketika sebuah bayangan kembali berkelebat di depan mataku.
Sejauh kakiku bergerak, sebanyak itu pula mataku terus menangkap mayat-mayat yang bergelantungan di hampir semua pohon. Mungkin tidak semuanya karena sebagian besar telah menjadi tulang-belulang, yang aku yakin mayat-mayat ini memiliki rasa keputusasaan yang sama.
'Hidup Anda adalah hadiah tak ternilai dari orang tua. Ingatlah saudara-saudara dan anak-anak Anda. Jangan simpan sendiri. Bicarakanlah masalah-masalah Anda.'
Aku membaca kalimat persuasi di sebuah papan yang dibuat oleh pemerintah itu dan memutuskan untuk mengabaikannya. Orang tua? Aku yakin mereka takkan peduli padaku sekalipun aku mati. Aku hanya seperti sebuah boneka mainan untuk pukul-pukulan. Saudara? Aku tidak yakin pernah mengenal kata itu. Anak-anak? Jangan membuatku tertawa, aku masih SMA, tapi SMA yang jauh lebih mengerikan dari hutan ini.
Aokigahara. Nama yang tidak cocok untuk hutan ini, mengapa tak disebut Hutan Harakiri saja? Toh, sepanjang mata berkeliaran yang ada di sini hanya mayat, tulang belulang, dan pohon dengan tingkat persuasi sangat kuat untuk menggantungkan diri. Cukup menggiurkan untuk orang-orang yang diselubungi oleh rasa putus asa berlebih.
Aku menatap ke arah salah satu pohon yang membuatku ingin berhenti. Aku tidak tahu ada apa, tapi lumut-lumut yang melekat di salah satu sisinya menarik perhatianku. Lumut-lumut itu sedikit bercahaya terkena seberkas sinar matahari yang berhasil menerobos masuk dengan susah payah. Aku menghampirinya sambil mengeluarkan tali dari tasku.
Aku membuat lingkaran pada tali. Ini adalah cara yang paling tepat untuk mengembalikan kehormatanku, aku menyeringai. Aku selalu merasa ketakutan akan ancaman teman-temanku, hutangku menumpuk pula pada mereka. Hutang yang takpernah kupinjam. Mereka memaksaku memberikan uang dan sebuah pukulan tak segan mampir di tubuhku saat sakuku kosong uang.
Kupanjat dahan pohon, sedikit sulit karena banyak lumut yang menghalangi jalanku. Aku mengikatkan tali pada ranting, dan memakai tali dengan ujung lingkaran, di leherku. Bekas-bekas lebam di tubuhku terus membuat keputusasaanku menggelora. Aku menangis. Seharusnya setiap orang bisa hidup tenang, bukan berada di bawah ancaman. Seharusnya setiap orang bebas hidup, bukan sewaktu-waktu direnggut.Aku menjatuhkan diri. Leherku tercekik. Panas melilit semua anggota tubuhku, terutama dadaku. Sesak. Kerongkonganku terasa seperti lepas dari tubuhku. Pandanganku sedikit kabur, tapi aura-aura hitam terlihat terbang mengelilingiku. Aura dengan seringai yang mengerikan, seakan menyemangati nyawaku untuk segera pergi dari ragaku. Sakit. Leherku memaksa lidahku terjulur ke luar. Meraup keputusasaan yang terkecap lewat lidah. Ini mengerikan.
Saat itulah ia terlihat samar berdiri di depanku. Tersenyum, membuatku kalut dengan perasaanku sendiri.KRAAK! BRUK! Kurasakan tubuhku terhempas ke tanah. Jatuh berdebam dengan sebatang ranting tergeletak di sampingku. Aku tersengal. Udara yang sempat habis dari paru-paruku segera mengambil alih pernafasanku. Keringat mengucur deras dari dahiku. Seseorang tertawa. Aku mendongak pelan karena rasa sakit di leherku, sebelum akhirnya aku tersentak ketika seorang gadis benar-benar ada di depan mataku.
"Kau ini, jangan memilih ranting yang sekecil itu untuk menggantung tubuhmu!" Ia tergelak. Kutatap nanar wajahnya yang dihiasi tawa. Ia menatapku. "Gomennasai1." Ia berhenti tertawa, lalu menghampiriku. "Daijoubu desu ka2?" Aku masih memandangnya tak percaya. Apakah dia manusia?
"Ha-hai, dai-daijoubu." Aku tersedak, kemudian terbatuk. Kuraba tenggorokanku yang terasa kaku, aku mengernyit ketika menyentuh luka lecet di sana.Ia tersenyum lagi, "Yokatta yo3!" Aku menerima uluran tangannya untuk membantuku berdiri. "Shingyouji Fumie desu. Yoroshiku4!"
Aku hanya memandangnya. Masih tak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Aku kemari untuk bunuh diri, aku mengikatkan tali di ranting, dan gantung diri, lalu rantingnya patah? Dan ada gadis ini di depanku? Pikiranku rancu.
"Kau tak mau menyebutkan namamu? Aku manusia, kok!" Ia tertawa renyah, seakan tahu semua yang ada di pikiranku. Aku terkesiap.
"Sa-sakuragi Tatsuya desu." Aku membungkuk sedikit. Ia mengangguk. "Kau.."
"Kau ingin bunuh diri karena apa?" Ia menyela ucapanku. Aku mengerutkan kening. "Ya, meski begitu intinya tetap sama, karena putus asa." Ia memandang berkeliling. Matanya menyiratkan sebuah kepedihan yang tak kutahu berasal darimana.
"Aku... aku..." Air mata yang belum kering, kembali bercucuran deras di pipiku. Mengingat betapa tak bergunanya aku, aku tergugu. Aku hanya mampu menyusahkan orang tua, dikucilkan di pergaulan, dan dipukuli karena kelemahanku, lalu apa yang patut kubanggakan jika aku terus hidup? Hanya ada kesia-siaan dan ketidakberuntungan."Kau..." Aku mengangkat wajahku padanya. Menyelami matanya yang digenangi air mata. "Sebenarnya, masalahmu hanya satu. Manusia adalah makhluk sosial dan kau tak diberikan itu. Aku tidak mengerti apa masalahmu, tapi melihat air matamu hatiku trenyuh." Ia mengusap air mataku dengan jemarinya. Membuatku terpaku karena kelembutannya. "Kau butuh bertemu dengan orang lain yang memahamimu, menerjemahkan ekspresi, dan mendengar suaranya, hingga kau bisa menyelami emosinya... bahwa kita sama-sama ada."
***
Aku diselamatkan olehnya, sejak itu dan seterusnya. 3 kali kucoba pergi dan bunuh diri karena permasalahan yang sama, tapi setiap itu pula ia muncul di depanku. Menyelamatkanku dengan kata-katanya yang menyentuh. Aku juga putus asa padanya, ia seperti tahu aku ada dimana. Tapi kali ini aku ingin tahu ia dimana, ini seperti permainan petak umpet yang tak ada habisnya.
. Aku terengah-engah, berhenti di papan persuasi yang dulu selalu kuacuhkan. Betapa bodohnya aku, saat itu aku memang belum mengerti apa arti dari kepedihan yang tersirat di matanya. Aku tenang karena dia ada di sisiku sejak saat itu, tanpa bisa menerjemahkan emosinya. Aku tak bisa memahaminya, kenapa? Air mataku mengalir. Kuremas sebuah surat yang ditinggalkannya untukku.'Kau tahu, Tatsuya? Seolah-olah aku menemukanmu saat dulu kau selalu ingin bunuh diri, tapi sebenarnya akulah yang kau temukan...' Aku menggertakkan gigi. 'karena seenarnya akulah orang yang paling ingin bunuh diri.'
"FUMIIIEEEEEE!!!!!" Aku menjerit. Suara gesekan dedaunan segera memenuhi hutan, diikuti suara kepakan sayap Burung Gagak yang terbang ke angkasa. Aku tersedu. Hawa di hutan ini masih sama. Gelap, bau busuk mayat sedikit merampas oksigenku. Aku menatap ke depan, kucari pita berwarna biru di antara pita-pita dan tali yang terikat di pohon. Aku tahu, ia ragu. Ia ragu ingin bunuh diri karena pita-pita dan tali-tali inilah saksi bisu keraguan yang bercampur keputusasaan orang-orang yang meregang nyawa di hutan ini.
Aku berlari lagi setelah kutemukan pita biru itu. "Fumie!! Kau, kau yang mengatakan padaku!" Aku memandang membabi buta ke seluruh sudut yang terjangkau mataku. "Kau, kau bilang bunuh diri bukanlah penebus kehormatan, kau pembual!!" Aku terus berlari dengan nafas memburu dan air mata penuh.
Aku berhenti pada sebuah tanah dengan sebuah tenda berdiri di atasnya. Aku menghampirinya perlahan, "Mungkinkah Fumie?" Aku menggeleng. Tidak, untuk apa dia memasang tenda di tempat seperti ini.Mataku memandang ke sekeliling dan menemukan sebuah boneka terbalik dengan wajah sobek, boneka itu sengaja dipaku ke pohon di samping tenda. Aku mundur teratur dengan keringat deras bercucuran dari dahiku saat kulihat tidak jauh dari boneka itu terpaku, sebuah mayat dengan linangan darah mengucur deras seolah menatapku. Aku menggertakkan gigi dan berlari ke jalan setapak.
Aku terus mengumpat dalam hati, merutuki hutan yang terkutuk ini. Hutan yang seolah takkan tumbuh tanpa mayat di sekelilingnya. Banyak mitos-mitos yang beredar di Jepang tentang hutan ini, hutan terkutuk yang digunakan sebagai tempat pembuangan manusia yang dianggap memperbesar biaya hidup. Mereka dibuang di sini sampai mati, itulah mengapa banyak yurei5 di sini. Aku memejamkan mata.
BRUK!! Tubuhku tersungkur telak. Lagi-lagi sebuah sepatu dari mayat yang telah menjadi tulang-belulang menghalangi jalanku. Aku mencoba bangkit dengan perasaan hancur. Kutatap lekat tanah tempatku berpijak."Aku, aku..."
'Aku tidak bisa hidup dengan tekanan ini. Kita sama. Aku frustasi dengan kuliah yang tak kunjung selesai, aku selalu dihina dosenku karena skripsiku yang berantakan, ibuku meninggal, ayahku mabuk-mabukan, dan tidak ada yang mau mempekerjakanku karena aku ceroboh. Apa yang salah sebenarnya?'
"Aku, aku minta maaf!!!" Aku menggenggam tanah berselimut daun di bawahku, menunduk dalam-dalam untuk menyesali semuanya. "Aku minta maaf karena tak bisa memahamimu. Kau benar, kau tak membutuhkan orang yang tak bisa memahamimu." Aku berdiri susah payah. "Tapi aku membutuhkanmu! Dan aku akan membuat dirimu juga membutuhkanku!!" Aku berlari lagi, mengusap kepedihan yang tertoreh perih di ulu hati.
'Semua yang kukatakan, aku bohong. Sebenarnya, akulah yang paling butuh kata-kata itu. Aku hanya mencoba menguatkan diriku sendiri saat aku mengucapkannya, aku naif jika aku berkata itu semua untukmu. Maafkan aku. Kau boleh menganggap semua itu omong kosongku.'
"Tidak, Fumie!! Itu semua bukan omong kosong!" Aku menemukan satu pita lagi dan berbelok ke kanan mengikutinya. Dadaku sempat berhenti ketika kulihat sebua tubuh bergelantung tak jauh dari pita itu. Aku berhenti dan kupertajam lagi penglihatanku, bukan Fumie. Aku menangis dan berlari lagi.Kepalaku berkunang karena tekanan dan hawa kematian yang menyelimuti tiap senti dari hutan ini. Beberapa bayangan berkelebat di seluruh sudut mataku, membuat bulu kudukku terus berjingkat ngeri. Tapi, Fumie di sini. Ia sendirian bergelut dengan putus asa dan keraguannya, sedangkan aku tak ada untuknya.
Mataku terus menyisir sekelilingku, berharap aku bisa menemukan tubuh Fumie dengan cepat sebelum terlambat.
"Fumie, kau, kau bilang aku butuh menyelami emosi orang yang memahamiku! Kau yang memahamiku, tapi aku tak bisa menerjemahkanmu! Kau emosi bernyawa yang terlalu rumit untuk bisa kupahami! Karena itu, karena itu..." Aku tersentak saat kutemukan sesosok tubuh tergantung di sebatang pohon yang lumayan besar.
Dadaku terasa nyeri, membuat kakiku melemas, tapi kupaksa berlari ke arahnya. Aku tahu itu dia meski dalam hati aku menolak. Tangisanku semakin tak terkendali. "KARENA ITU JANGAN MATI SEPERTI INI!!!!" Aku meraung, melompat, dan kuhentakkan talinya hingga membuat ranting itu patah.
KRAAK, BRAK! Aku memeluk tubuh Fumie dengan kalut, melindunginya agar tak terjerembab di tanah, dan menjadikan tubuhku sendiri sebagai bantalan untuknya. Aku memandang langit-langit hutan yang hanya berisi dedaunan dan pohon yang menjulang tak berperasaan. Tubuhnya terasa dingin.Benar, hanya Fumie yang bisa memahamiku. Aku membutuhkannya dan semakin merasa tak berguna ketika tahu aku bukan apa-apa untuknya. Aku membiarkannya bergelimang dengan kepedihannya sendiri tanpa menyadarinya. Tidak, aku bukannya tak menyadarinya. Aku hanya terlalu egois dengan masalahku sendiri tanpa berusaha memahami isi hatinya yang sebenarnya, kebenaran di balik setiap senyumnya.
Sekarang, akankah bisa kuminta kembali nyawa yang telah melayang dari tubuhnya? Membuatnya sengsara dengan segala keegoisanku lagi, apa aku bisa? Kuurai kembali bayangan-bayangan wajah dan senyumnya yang hangat.
"Aku tahu itu bukan senyum palsu, Fumie..." Aku menutup wajahku dengan lengan kananku, "Aku yakin semua yang kau katakan bukan omong kosong, karena kata-kata itu telah merengkuhku. Kau tidak naif." Kubiarkan keringat dan air mata saling berebut di wajahku.
Burung-burung Gagak terbang lagi. Menimbulkan kebisingan sesaat, namun segera meninggalkan kesenyapan pasti di sini.
"Aishiteru6..." Aku sesenggukan. Merasakan betapa hancurnya aku saat ini.
"Uhuk-uhuk!" Aku terkejut dengan suara batuk itu. Aku memandang tubuh Fumie yang bergetar. Terdengar suara sesenggukan berasal dari sana.
"Fu-Fumie?" Dadaku mencelos saat ia mendongak ke arahku, air mata turut berlinang menggenangi pipinya."Uhuk! Kau... terlalu banyak bicara," Suaranya terdengar parau,"...menghabiskan waktuku mendengar semua ocehanmu itu." Dia tergugu. Tanganku bergetar menghapus air matanya. Kupandang wajahnya sepuasku, wajah yang membuat hatiku hancur dan utuh dalam waktu yang bersamaan. "Saat, saat akhirnya ocehanmu berhenti dan aku menggantung diri, kau malah menemukanku, dan mematahkan rantingnya. Shimatta7!" Ia kesal, tapi senyum terkembang di wajahnya. Ia memelukku.
"Aku tahu kau mendengarku." Aku membalas pelukannya. "Karena aku yakin kita sama-sama ada, menyelami emosimu mungkin akan terasa sangat sulit bagiku..." Aku menarik nafas dalam-dalam, "...karena aku takkan mungkin bisa dengan mudah menerjemahkan isi hati gadis yang kusukai dengan tepat, dan hidup tanpamu sama saja seperti mati bagiku." Aku tersengal mengatakannya.
Fumie berhenti menangis, ia memandangku dengan tatapan yang tak pernah kumengerti. Ia memelukku lebih erat, seperti merasakan hal yang sama denganku. Perasaan tak ingin kehilangannya lebih dari apapun.
Untuk pertama kali dalam hidupku, hutan ini memberikan kenangan yang takkan pernah mau kulupakan. Aku tidak peduli makhluk-makhluk apa yang selalu berkeliaran di sekeliling kami, yang aku mengerti Fumie ada bersamaku. Itu sudah lebih dari cukup untukku.
***

Cintaku Di Hutan KematianWhere stories live. Discover now