Little Talk at Little India

81.8K 3.4K 33
                                    

"Kita mau kemana, Bang?" tanya Diandra pada Azwan. Mereka sedang meluncur melewati jalanan Singapura yang mulus dengan menggunakan mobil Azwan. Jalanan cukup ramai namun anehnya tidak macet seperti jalanan di Jakarta. Diandra mengira ini karena moda transportasi publik mereka yang nyaman, bersih, dan aman. Masyarakat lebih memilih naik transportasi umum daripada kendaraan pribadi. Enaknya lagi, Diandra belum pernah melihat Azwan membayar tol. Padahal semua jalanan di sini mulus seperti jalan tol. Entah kapan Jakarta bisa seperti ini, hatinya mengerang. 

"Kita akan menjemput Ju yang sedang belanja di Mustafa Center, tapi sebelumnya kita makan dulu di sekitar sana." 

Mobil Azwan telah memasuki kawasan Little India tepatnya di Syed Alwi Road. Mustafa Center adalah salah satu pusat perbelanjaan terbesar dan terlengkap di kawasan Little India maupun Singapura. Sesuai namanya, baik karyawan, pedagang, pembeli, maupun pengunjung, hampir semuanya berwajah India. Beberapa kuil Hindu pun terdapat di sini, salah satunya yang terbesar adalah Sri Mariamman Temple, yang di bagian depannya penuh dengan patung-patung dewa Hindu berwarna-warni. Beberapa penjual bunga berbentuk kalung yang melingkar berwarna kuning oranye tampak sibuk melayani pembeli yang akan beribadah. 

Tak lama, keduanya telah duduk berhadapan di dalam Restoran AB Mohammed, salah satu resto favorit Azwan di kawasan ini. Berbeda dengan Azwan, Diandra tidak begitu menyukai kuliner India karena tidak terbiasa dengan bumbunya yang tajam. Namun, ia membiarkan saja Azwan memesankan sepaket Nasi Briyani dengan ikan dan segelas teh tarik. Setidaknya rasanya lumayan dibandingkan paket ayam. 

"Keberatan kalau kita bicara sambil makan?" tanya Azwan. 

"Tidak masalah." 

"Oke. Jadi besok pagi aku akan mengantarmu ke rumah Nate. Jonathan, maksudku. Kau harus mengingat baik-baik semua yang akan kukatakan sekarang. Kau mengerti?" 

Diandra mengangguk cepat. 

"Bagus. Nah, aku sudah bilang pada Nate bahwa kau ini adalah saudara sepupu dari pekerja di rumah Raziq. Kau masuk Singapura sebagai pelancong dan paspormu hilang. Sekarang paspormu akan diurus tapi kau tak punya uang. Jadi kau memutuskan untuk bekerja sementara sampai kau mendapatkan uang yang cukup untuk biaya pengurusan paspormu." jelas Azwan. 

"Wohoo..stop! Apa menurutmu dia akan percaya alasan bodoh semacam itu? Kedengaran sangat tidak masuk akal bagiku." 

"Bodoh katamu? Lantas cerita apa yang harus kukarang padanya? Kau tahu, semua TKW yang bekerja di sini harus melalui agensi. Untungnya, akulah yang meminta dia untuk mempekerjakanmu di flatnya. Coba kau pikir majikan mana yang mau mempekerjakanmu?" 

Diandra terdiam. Azwan benar. Tidak ada lagi alasan sebaik itu. 

"Maaf, Bang. Aku hanya takut dia akan curiga." 

"Sudahlah. Itu hanya perasaanmu. Lagipula, dia tidak bertanya apa-apa lagi padaku. Itu artinya dia percaya padaku." 

Diandra juga berpikiran sama. Kalau bukan karena sang editor yang meminta, belum tentu si Nate ini mau menerimanya. Sejenak Diandra merasa sangat beruntung memiliki Azwan.

"Oh ya, kau pasti tak percaya ini. Dia bahkan ingin langsung memberimu uang cash saja, maksudku tanpa harus bekerja. Katanya dia kasihan padamu." 

Apa?! Rasanya Diandra tak percaya masih ada orang sebaik itu yang mau saja mengeluarkan uangnya untuk menolong seseorang yang tak dikenal, di zaman yang serba egois seperti ini. 

"Dia memang punya banyak uang. Tapi Nate memang pria yang baik. Dia juga tampan. Uh...aku tak heran kalau nanti kau jatuh cinta padanya. Masalahnya adalah, apakah dia mau denganmu atau tidak,"  ujar Azwan sambil mengedipkan sebelah mata lantas terbahak. 

Sial! Diandra tersenyum kecut sambil meninju lengan sepupunya. Enak saja. Otak Azwan mungkin sedikit terganggu karena sudah tak sabar ingin menikah. Padahal pernikahannya tinggal dua bulan lagi. Dasar cowok!  

"Ayo, habiskan tehmu. Ju sudah selesai belanja."

Sosok jangkung Julaiha Abdullah, tunangan Azwan, terlihat berdiri di depan pintu utama Mustafa Center. Di sampingnya ada seorang wanita paruh baya berjilbab bermata sipit. Diandra mencium pipi Ju kanan kiri sebelum berpaling ke pada wanita di sebelahnya.  

"Ma, masih ingat Diandra sepupu Azwan dari Jakarta kan?" 

"Tentu, aku masih ingat. Apa kabarmu, Sayang?" Eileen Chang menepuk pelan kedua pipi Diandra. Makcik Lin, begitu Diandra memanggilnya. Orangnya ramah dan senang melucu. Itu yang bisa Diandra simpulkan saat pertama kali bertemu dengan Eileen. Sayangnya, Eileen tidak ikut menumpang pulang dengan mereka, namun langsung menuju Rumah Sakit Mount Elizabeth dengan taksi untuk menjenguk temannya yang sakit.  

Dalam perjalanan pulang, Diandra dan Ju saling bertukar cerita. Ju mengenai rencananya untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pramugari Singapore Airlines setelah menikah nanti dan Diandra mengenai rencananya menjadi TKW dengan bantuan Azwan. Ju hampir-hampir tak percaya mendengarnya. Si cantik blasteran India-Cina itu bahkan memuji keberanian Diandra.  

"Semoga berhasil, Diandra." doanya tulus.  

Yah, saat ini Diandra memang butuh dukungan dan doa karena entah mengapa ia merasa gugup. Semoga semua berjalan lancar, harapnya dalam hati.

Merlion, I'm in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang