PROLOG

10 1 0
                                    

Mobil yang kutumpangi melaju pelan melewati pematang sawah menuju sebuah desa di daerah Lamongan. Desa dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh tani. Tapi ada pula sebagian dari mereka yang lebih memilih untuk mengadu nasib di ibu kota Jakarta. Saat bulan Ramadhan datang, itulah yang paling dinanti-nanti oleh para perantau. Mereka semua akan berbondong-bondong pulang ke kampung halaman dua hari menjelang lebaran. Tentu saja banyak sekali anak kecil yang menyukai saat-saat seperti ini. Karena mereka akan mendapatkan uang jajan tambahan dari para perantau yang pulang kampung. Mungkin itu semua sudah menjadi sebuah tradisi di berbagai desa, yang salah satunya adalah desa tempat dimana kulalui masa remajaku beserta kekonyolan yang ada di dalamnya.

Sudah genap 5 tahun lamanya aku meninggalkan desa ini. Saat itu aku sudah lulus SMA, sebelum pada akhirnya ayah membawah keluarga kecil kami untuk tinggal di Jakarta. Saat itu aku yang sudah mau lulus dari SMA tentu saja telah merencanakan akan kuliah di mana nantinya. Tapi setelah selesai UN, ayah memberitahuku bahwa kami sekeluarga harus pindah secepatnya. Tentu saja aku sangat kesal dengan keputusan yang tiba-tiba seperti ini. Apalagi aku sudah merencanakan untuk melanjutkan kuliah di tempat yang sama dengan teman-teman ku.

Bisa dikatakan aku sangat kecewa saat itu. Tapi itu hanyalah kekecewaan pada masa lalu. Kini saja aku malah sangat bersyukur karena ayah memutuskan pindah ke jakarta untuk mengurus butiknya yang ada di sana. Serta memasukkanku pada salah satu universitas negeri yang ada di sana. Selain memiliki banyak teman dari berbagai daerah dan ragam akan suku bangsa, aku kan bisa sekalian traveling di sana.

Hp ku terasa bergetar dari dalam tas. Dengan malas aku mengambilnya dan mendapati satu notifikasi pesan yang nyangkut di dalamnya. Kubuka isinya dan kudapati nama Rayhan yang telah mengirimiku sebuah pesan.

' IO lo lagi di mana??? '

Ah, aku mendengus sebal. Lagi-lagi anak sialan itu memanggilku dengan sebutan IO. Sudah berapa kali aku bilang padanya bahwa namaku Viona dan panggil aku dengan sebutan Vio seperti yang lainnya. Tapi itu anak emang susah amat kalau di omongin.

Dengan kesal aku membalas pesan darinya. Saking kesalnya sama Rayhan, aku sampai menggerutu tak jelas seperti orang tak waras saja.

' Mau lo itu apa sih RAYHAN ABDI PANGESTU. Gue kan udah bilang ama lo jangan pernah panggil gue lagi dengan sebutan IO. Panggil gue VIO. Apa susahnya sih tinggal nambahin huruf V di depannya IO. '

Pesan berhasil terkirim. Tak lama kemudian satu balasan dari Rayhan segera muncul dari layar hp ku.

' Gue sukanya manggil lo kayak gitu. Ikhlasin aja huruf V nya gue ilangin. Susah amat sih jadi cewek. '

Wajahku merah padam menahan keinginan untuk teriak sekencang-kencangnya memaki Rayhan. Kalau saja aku tak ingat bahwa kini aku sedang berada di dalam mobil bersama supir yang mengantarkanku, mungkin aku sudah pasti akan mengumpat tak karuan. Akhirnya kuputuskan untuk memasang mode diam dalam hp ku, agar aku tak terusik lagi apabila Rayhan kembali merecokiku.

BUKU MERAH JAMBUWhere stories live. Discover now