Vier - Tweeling Torens (Menara Kembar)

Start from the beginning
                                    

Mulutku terbuka. Kurang ajar! Belum mendapatkan kesempatan bicara, Panji mendekatkan telunjuk ke bibirku, memintaku tutup mulut.

"Aku tak punya niat jahat padamu, El. Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu, tapi ini rahasia. Oke?" Ia berbisik di telingaku. "Kalau kompeni tahu, kau akan melihat mayatku keesokan harinya."

Bola mataku berputar. "Untuk apa pula aku harus peduli?"

"Dan mayat orang lain, lebih banyak." Ia tersenyum simpul. "Ini rahasia yang sebenarnya tak boleh kubocorkan. Tapi kalau melihat kemalanganmu, aku ingin sekali berbagi kebahagiaan."

Aku mengangkat tangan. "Aku tidak butuh simpati."

"Dan aku tidak peduli penolakanmu. Ayo." Ia menggandengku lagi, berbelok ke tikungan.

Tak butuh waktu lama bagi kami sampai di rumah bordil yang menurut pandanganku sebagai orang yang lalu lalang di lingkungan borjuis, sungguh tak ada bagusnya. Sebelah alisku terangkat.

"Kau mau menjualku. Bilang saja iya."

Panji mengetuk kepalanya sendiri. "Aku lebih baik ditangkap dan dihukum mati karena menyebarkan artikel provokatif daripada menjualmu. Sungguh tak ada guna."

Kuikuti langkahnya memasuki rumah kayu jelek itu. Aku memandang sekeliling. Para perempuan penghibur menatapku silih berganti. Demikian pula dengan laki-laki yang berkunjung ke sana. Beberapa dari mereka yang melihatku tersenyum miring. Ada pula yang dengan kurang ajar menepuk bokongku.

"Hey!" teriakku, secara tangkas mencengkeram pergelangan tangan seorang lelaki Eropa hidung belang. Aku memelintir tangannya, membuatnya berteriak kesakitan.

"A-ampun!"

"Mau kupotong tanganmu dan kulempar ke mulut singa, hah? Dasar bajingan tengik." Aku mendorongnya kasar.

Panji berbalik dan menghampiriku. Ia melingkarkan tangan di sekitar pundakku. Praktis, mataku membelalak. Aku menatapnya ingin protes.

"Bung, menggoda pasangan kencan orang lain adalah tindakan memalukan. Jangan ulangi lagi. Atau meletus kepalamu itu."

Lelaki itu berlari setelah mengamatiku selama beberapa saat, seakan menelaah dengan saksama dan mengingat-ingat.

Aku buru-buru menunduk. Kalau ia mengenaliku sebagai bintang, mampuslah aku. Untungnya, Panji segera menggiringku pergi, masih dengan dekapan di tubuhku.

"Cari mati kau?" sergahku.

"Kalau tidak begini, ada tangan lain yang menepuk bokongmu lagi." Ia meringis.

Aku mendesah pendek. Dahiku mengernyit begitu sampai di depan pintu kayu. Ia membukanya. Kepalaku melongok ke bawah. Ada tangga yang mengerucut ke bawah, ditelan kegelapan.

"Apa yang mau kau lakukan?" Aku dibikin penasaran.

Panji meraih lentera yang digantung di dinding. "Menunjukkan rahasia?"

"Kau mencurigakan."

"Astaga, El. Aku bukan pria bar-bar. Kemari." Ia menuruni anak tangga. Menyadari bahwa aku tidak bergerak, Panji berhenti dan memandangku. "Ayo. Aku yakin kau pasti suka."

Mataku menyipit. Aku menuruni anak tangga, mengikuti dengan langkah hati-hati dan penuh waspada. Tak berselang lama, cahaya menyambut setelah gulita menyelubungi. Bola mataku nyaris keluar dari rongga begitu kutemukan ruangan dengan pencahayaan terang yang dipadati orang-orang tengah bermain bilyar, main kartu, berdansa, dan tertawa. Panji meletakkan lentera ke paku di dinding. Ia tersenyum semringah, menunjuk tempat berpesta kecil itu dengan bangga.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 31, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SAMSARA (ON HOLD)Where stories live. Discover now