2. Indigo.

2.2K 222 53
                                    

Perkenalkan, namaku Didan Riandy. Aku anak laki-laki kelas XI yang bersekolah di SMA Madyantara. Aku tidak terlalu menonjol di antara yang lainnya. Hanya senang menikmati kehidupan yang menyendiri.

Kalian tahu kenapa aku senang menyendiri? Aku ini aneh. Aku sering dikatakan aneh semenjak kecil. Awalnya aku tidak terima saat mendengar cibiran orang-orang terhadapku. Namun lambat laun aku mengerti kenapa orang-orang berkata seperti itu. Indigo.

Ya, aku bisa melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain. Terkadang sulit membedakan mana yang benar-benar hidup dan yang berasal dari dunia lain. Temanku pernah melihat secara langsung saat aku berbicara sendiri, padahal aku sedang berbicara dengan anak yang sebaya denganku.

Aku menyadari kelebihanku ini saat menjelang SMP. Saat itu aku melihat sosok yang mengerikan mendekatiku. Dia meminta tolong kepadaku untuk mencari tahu kematiannya. Aku menjerit histeris karena dia begitu menyeramkan. Sosok pria dengan kepala yang terbelah dan tentunya darah mengalir dari belahan kepalanya. Jalannya terseok-seok seakan membawa beban di kakinya. Dengan suara berat dia berkata.

"Nak, tolong saya. Kenapa saya seperti ini? Tolong nak, toloooong."

Dan saat dia semakin mendekat. Aku kehilangan kesadaran karena tak bisa lagi menahan takut yang menjalar menekan jantungku.

👹👹👹

Di sini, di dalam kelas ini, aku duduk di bangku paling depan saat pelajaran berlangsung. Aku trauma duduk di bangku paling belakang karena terlalu sering menyaksikan para penghuni dunia lain berlalu lalang yang terkadang menyadari saat aku memperhatikan mereka.

Sebisa mungkin aku tidak mempedulikan mereka. Bersikap layaknya anak laki-laki normal yang tidak bisa melihat hantu. Jika mereka tahu aku bisa melihatnya, aku layaknya gula di kandang semut. Mereka akan mendekat ke arahku secara bersamaan dan mengajakku bermain, menggangguku dan tentunya menghantuiku. Menyeramkan bukan?

Kadang mereka juga meminta hal yang tidak masuk akal, seperti meminta diantar ke gunung yang letaknya di luar kota, minta diantar ke kuburan bahkan ada yang minta dicarikan penyebab kematiannya.

Mereka sungguh mengganggu dan menakutkan. Namun semakin hari, aku semakin terbiasa. Melewati begitu saja makhluk halus yang ada di depanku. Menembus sosok dingin dengan penampilan yang menyeramkan. Kadang aku takut, tapi harus kulakukan agar mereka menganggap bahwa aku tidak bisa melihatnya.

Di sekolah ini, ada satu hantu yang selalu mengikutiku. Hantu wanita dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya dengan  noda darah yang mengalir di pipinya. Dia mulai menyadari aku bisa melihatnya. Kemana pun aku pergi, dia selalu mengikutiku. Bahkan saat pelajaran berlangsung, dia menatapku dari meja guru.

Namun hari ini, aku sungguh terkejut ketika perhatiannya beralih pada seorang wanita yang baru saja melewati kelasku. Selama dua tahun ini dia mengikutiku, tidak pernah sedikit pun pandangannya teralihkan dariku.

Sesaat aku merasa beruntung. Namun aku pun sedikit penasaran dengan wanita yang diikuti hantu itu.

Namanya Arvika. Aku tahu dia saat pertama masuk sekolah karena saat itu kita satu kelompok saat masa orientasi siswa. Dia sama seperti aku, tidak terlalu menonjol di antara teman-temannya. Yang aku tahu, dia selalu bersama temannya seorang laki-laki dan perempuan. Kalau tidak salah namanya Adri dan Sinan.

Tapi kali ini aku lihat dia berjalan seorang diri. Tidak biasanya dia sendirian. Biasanya mereka selalu sepaket kecuali ketika ke kamar mandi. Dan yang aku tidak mengerti,  kenapa hantu itu pergi mengikuti perempuan bermata hitam itu?

Aku menjadi penasaran dan terpaksa meminta ijin untuk mengetahui apa yang terjadi beberapa saat yang akan datang.

Aku memperhatikan gadis yang kini berada di tengah lapangan. Dia tampak bingung dengan tatapan kosong. Tidak seperti Vika yang aku tahu. Mata hitamnya menerawang, bagaikan memasuki alam bawah sadarnya. Jujur saja, aku benci melihat Vika seperti itu.

Aku tidak berhenti memandanginya. Dan mataku terbelalak saat melihat hantu itu membelai tangan Vika, meniup pundak, mengajak komunikasi, bahkan kini mencakarnya?

Aku hendak melangkahkan kaki mendekati gadis yang kini terlihat ketakutan untuk mengusir hantu itu. Aku tidak bisa membiarkan pemandangan ini berlangsung begitu saja. Vika memeluk badannya dengan makhluk itu yang masih berkeliaran mengganggunya. Membuat gadis itu mulai menutup rapat matanya.

Namun langkahku terhenti ketika aku melihat Vika pingsan dan Vika yang lainnya berdiri berhadapan dengan hantu itu.

Aku yakin melihat dua Vika. Tapi, bagaimana bisa? Roh Vika keluar dari tubuhnya sendiri dan sekarang sedang ketakutan karena hantu itu sedang mencengkram tangannya.

"Pergi! Jangan ganggu aku! Pergi!" gadis berambut panjang itu berteriak dan melepaskan genggaman hantu itu.

Aku melihat sendiri Vika berlari, berusaha menghindari gangguan hantu. Aku sendiri menjadi bingung. Haruskah menghampiri raga Vika, atau roh Vika? Namun aku segera mengamankan terlebih dahulu raga Vika dan kubawa dia ke ruang UKS. Beberapa orang ada yang ikut membantu dan penasaran dengan apa yang terjadi.

"Vika kenapa?" tanya gadis tinggi dengan rambut dikucir. Wajahnya begitu panik melihat sahabatnya yang terkulai lemah.

Tadi aku menyuruh salah satu murid untuk memberitahu Sinan, Adri dan guru kelasnya.

"Dia pingsan di tengah lapang," jawabku.

"Kok bisa?" tanya Adri dan Sinan kompak.

Aku tidak menjawab. Tidak mungkin mengatakan apa yang kulihat. Mereka bisa menganggapku gila.

Aku meminta orang-orang keluar dari ruang UKS kecuali Sinan dan Adri. Aku takut jika terjadi hal-hal di luar nalar yang bisa menyebabkan ketakutan pada seisi sekolah.

Dan yang ditakutkan terjadi. Kami bertiga menyaksikan air mata Vika mengalir dari sudut matanya. Di pipinya tiba-tiba terdapat cakaran yang cukup panjang. Begitu kontras warna merah darah dengan pipi putihnya. Padahal sebelumnya tidak ada luka di tubuhnya selain yang ada di tangan. Aku yakin bahwa luka di tangannya itu merupakan hasil perbuatan hantu itu.

Sinan mendekat dan berusaha membangunkan Vika.

"Vik, bangun Vik." Sinan menggoyangkan lengan Vika, namun tidak ada reaksi apapun.

Sinan dan Adri bergantian membangunkan Vika. Tapi itu semua sia-sia.

"Percuma," ucapku.

Adri dan Sinan menoleh kepadaku.

"Maksud kamu?" tanya Sinan.

"Aku ga bisa bilang. Yang pasti, Vika dalam bahaya."

Aku berbalik dan berjalan menuju pintu. Namun langkahku dihadang oleh lelaki berkaca mata yang tingginya sama denganku.

"Aku tahu kamu aneh, tapi jangan libatkan Vika," ucap Adri dengan tatapan tajam.

Aku tersenyum kecut sambil membalas tatapannya. "Aku tidak akan menjelaskan apa-apa. Aku hanya akan membantu sebisanya. Jangan mengulur waktu lebih banyak, oke?"

Aku menepuk pundaknya dan pergi untuk mencari Vika. Sebenarnya aku pun tak yakin dapat menemukannya. Aku tidak tahu harus mencari kemana.

Aku terdiam dan berpikir sejenak saat menutup pintu UKS. Aku tidak tahu roh Vika ada di mana sekarang. Apa harus bertanya kepada hantu-hantu yang berkeliaran? Jika iya, secara tidak langsung aku membuka jati diriku sendiri. Dan aku tidak mau itu terjadi.

👹👹👹

Unseen [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora