BAB 3

41.4K 6.1K 363
                                    

"Dari semua tempat yang bisa lo pikirin, kita harus banget meeting di sini?" tanya Ajax ditelepon ketika ia melihat café mungil yang hampir tidak terlihat olehnya, tempat Angga menjadwalkan meeting-nya bersama dengan tim managemennya untuk membahas album barunya.

"Iya, kantor kan lagi renovasi dan lo sendiri yang bilang kamar hotel lo nggak boleh lebih dari empat orang di dalamnya, jadi ya mau nggak mau," jawab Angga. Ajax tidak bisa membantah karena kata-kata Angga kali ini benar. "Lagian, kenapa sih Jer lo nggak menyelesaikan proyek rumah lo?"

Ajax telah membangun rumahnya dari setahun yang lalu tapi ia menghentikkannya, membuat semua orang bingung kenapa Ajax tidak meneruskannya. Tidak banyak yang tahu kenapa ia tidak meneruskan proyek rumahnya dan termasuk Angga yang hanya bisa menebak-nebak alasannya. "Jer, lo tunggu ya jangan kemana-mana. Kita lagi di jalan," kata Angga ketika Ajax tidak menjawab pertanyaannya.

"Iya," jawab Ajax dengan singkat. Ajax mendorong pintu kayu café mungil itu dan udara dingin dari AC ruangan menerpanya. "Selamat siang," sapa seorang barista kepadanya. Ajax menurunkan topi hitam yang ia pakai berharap kalau barista yang menyapanya tidak mengenalinya sama sekali. "Espresso, double-shot," katanya dengan singkat.

"Baik, ada tambahan lagi?" tanya barista itu kepadanya.

"Tidak ada. Open-bill," Ajax memberikan kartu kreditnya dan barista itu menerimanya. Ajax melihat seseorang memasuki café dan berdiri dibelakangnya menunggu hingga ia selesai. Ajax biasanya sama sekali tidak peduli dengan orang-orang disekitarnya, tapi ketika orang dibelakangnya mulai menarik perhatian Ajax dengan menggaruk-garukkan kepalanya, ia mengerutkan dahinya. Jorok, pikirnya.

Ia lalu melihat dengan lebih jelas kalau orang yang berdiri dibelakangnya adalah seorang perempuan pendek dengan kacamata tebal dan wajah perempuan itu penuh dengan jerawat-jerawat kecil, membuat Ajax semakin mengerutkan dahinya. Kembali perempuan itu menggaruk-garukkan kepalanya, Ajax hampir yakin kalau rambut wanita itu berketombe dan ia harus berdiri sejauh mungkin darinya.

"Double espresso," ucap barista yang melayaninya, menyelamatkannya dari perempuan jorok itu dan memberikan kopi panas yang tadi ia pesan.

"Thanks," kata Ajax sebelum mencari tempat duduk di ujung ruangan, tempat yang ia yakin tidak akan ada orang yang akan mengganggunya. Ajax mengeluarkan handphone-nya dan menulis pesan singkat kepada Angga,

Jerom Nehanwardjana: Cepetan.

Angga Wijaya: Sabar. Macet nih.

Jerom Nehanwardjana: Gue balik lima menit lagi kalau lo nggak datang.

Angga Wijaya: Tiga menit. Maks.

Ajax melihat jamnya, lalu menarik napasnya mencoba untuk sabar menunggu manager-nya dan juga tim managemennya. Sekali lagi ketika ia mendongak, perempuan jorok itu menarik perhatiannya karena sekarang perempuan itu duduk dua meja jauh darinya dan perempuan itu sedang menggigiti sedotan minumannya. Sekali lagi Ajax mengerutkan dahinya. Perempuan macam apa yang menggigiti sedotannya seperti itu?

Ajax lalu melihat perempuan itu memindahkan jari-jarinya dari rambut lepeknya ke pipinya. Ajax kembali mengerutkan dahinya ketika melihat perempuan itu menggaruk-garukan tangannya ke pipinya yang penuh dengan jerawat. Ajax merasa kesal sendiri karena perempuan itu benar-benar jorok. Ajax lalu berkata kepada dirinya sendiri, jangan lihat kalau lo nggak mau marah-marah, tapi ia tidak bisa berhenti menatap wanita itu.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Ajax ia bertemu dengan wanita sejorok itu dan untuk pertama kalinya ia tidak bisa berhenti memandanginya. 

SOME KIND | PINK SERIES #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang