pertama

794 68 26
                                    

Kala libur tiba, tugas tiada, hidup terasa hampa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kala libur tiba, tugas tiada, hidup terasa hampa. Namun, Sekolah Arasy tak pernah tinggal menganga. Pihaknya mencanangkan program mulia untuk mereka, murid-murid bertalenta. Program berupa pentas drama sebagai wujud darmabakti untuk sekolah. Naskah drama terbaik telah dikirim kepada beberapa kelas terpilih, termasuk kelas Arkais.

Gerda Nila, siswi berkacamata dengan pemikiran irasional, rupanya memiliki peruntungannya dalam program khusus tahun ini. Kegemarannya menulis karangan di situs daring mendapat sorotan dari Askar, sang ketua Arkais, lalu ditunjuklah ia sebagai penulis naskah.

Tidak betul-betul menulis secara keseluruhan, Askar hanya meminta perbaikan naskah agar sepadan dengan karakter pemain sesungguhnya.

Terbilang dua hari dua malam mata penat memandang komputer, tangan kebas akibat sentuhan tuts, dan kaki sempat tak sanggup bergerak. Akan tetapi, pagi hari kala terik mentari menyapa melalui jendela, Gerda terpaksa bangun. Mata menelaah sekitar, tiada seorang yang menemaninya di kamar asrama.

Telah beberapa kali sesuatu keras menghantam jendela, Gerda bangkit dan membukanya.

"Gerda, cepat turun!" Askar di bawah, mengebas tangan kepadanya.

"Untuk apa?" teriak Gerda.

"Kita latihan, Gerda!"

Ditutuplah jendela, pikiran Gerda melayang ke suatu masa.

"Ketika naskah ini selesai, serahkan padaku untuk dicetak. Setelah itu kita akan memulai latihan." Itu ucapan Askar kala menghampirinya lusa lalu.

Tepukan keras oleh tangannya semakin menyadarkan Gerda. Bergegaslah ia menuju kamar mandi, membasuh muka dan menggosok gigi, kemudian keluar dengan pakaian yang sudah berganti.

"Gerda, cepatlah!" Teriakan datang lagi, dipastikan bahwa dia adalah Askar.

Usai kaki berkeset, segera Gerda melaju ke pintu depan Asrama Puan. Askar bersandar pada pilar, gigi menggigit jari, diselingi ketukan merdu dari ujung kaki.

Gerda mengernyit dan bertanya, "Apa hanya kamu yang menungguku?"

"Semua menunggu di bangsal Asrama Tuan."

Lekas mereka melangkah beriringan.

Gedung Asrama Tuan berdiri di sisi kanan Sekolah Arasy, sementara Asrama Puan sebaliknya, di kiri. Tak seluruh murid mampu menghuni salah satu kamar di sana. Mereka yang ingin tinggal harus mengantongi sertifikat siswa/siswi berprestasi, izin tertulis Kepala Arasy sekaligus orang tua, dan terakhir adalah cinta lingkungan.

Bagi mereka yang tak mampu melaksanakan semua syarat diharap segera mengundurkan diri. Akan tetapi, Gerda berhasil mengatasinya dan bermukim di sana selama nyaris dua tahun bersama seorang gadis berparas manis yang menjadi rekan satu tim dalam program drama tahun ini.

Ia melihat gadis tersebut duduk di pinggir bangsal, melamunkan segala hal yang tak dapat Gerda tebak. Hampir ia menanyakan perihal gadis itu yang tak sudi membangunkannya, tapi Askar menarik Gerda hingga ke tengah bangsal.

"Teman-teman," kata Askar.

Tanpa membuang waktu, 18 remaja bebas tugas akademis berkumpul mengitari keduanya.

"Aku perkenalkan kepadamu, Gerda Nila, penulis naskah kita tahun ini dengan judul 'Andaikan Aku Dewasa'." Askar bertepuk tangan, mereka pun mengikuti. "Sebenarnya aku tidak suka judul itu, tapi karena Kepala Arasy sangat kolot, jadi ... ya, aku terpaksa menerimanya."

"Aku juga tidak suka, padahal kita masih di bawah 17 tahun," celoteh seorang pemuda dengan rambut panjang bergelombang bernama Anggara.

Namun, pemuda klimis berkacamata di samping Anggara segera menyahut, "Kita harus melihat segala hal dari sisi positif. Mungkin Kepala Arasy ingin kita berpikir jauh ke depan, bayangan bahwa kita akan dewasa telah di depan mata. Dia ingin kita tahu bagaimana menyika—"

"Berpikir dewasa sebelum waktunya bukan hal yang baik, Biah." Anggara bersilang tangan dengan kesal.

Gerda melihat peluang dalam pertengkaran, sebuah angan untuk memasukkan mereka sebagai pemeran. Lekas ia menarik Anggara juga Biah ke tengah, berpikir bahwa mereka sangat cocok dengan karakter utama.

"Aku mendapatkan dua pemain. Anggara sebagai Loner, Biah menjadi Ambi." Senyum Gerda mengembang. "Kurang dua pemain perempuan, maka urusan tokoh bisa selesai."

Dua pemain perempuan tersebut memiliki watak yang bertolak belakang, layaknya Ambi dan Loner. Satu dari mereka bernama Ekstro; perempuan periang, ceriwis, dan penggila media sosial. Lalu lainnya bisa disebut Intro; perempuan bersifat tertutup, suka memendam pikiran juga perasaan, sulit beradaptasi.

Memindai dengan cermat, Gerda mendapatkan dua pemain lainnya. Seorang berdiri di belakang, rambut terurai rapi bersama senyum lebar yang tak cepat pudar. Seorang lagi berada di depan, selurusan dengan Gerda. Wajahnya tampak gelisah sedari mendengar Gerda berbicara.

"Semara dan Pusta!"

Kedua gadis terpilih mendongakkan kepala, meyakinkan diri bahwa yang dipanggil benar-benar mereka, lalu berjalan menuju Gerda.

"Semara menjadi Ekstro, Pusta menjadi Intro."

°°°

A/N: Makasih udah mampir ke sini. Cerita ini masih cacat banget, banyak kurangnya. Jadi, kalau menemukan suatu hal yang mengganjal, sampaikan aja ke aku.

Cukup segitu aja A/N dari aku.
Selamat menikmati!

Andai Aku DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang