The Fear

543 74 18
                                    

-Jayandra

Besar kecilnya dunia seseorang pasti beda. Engga, gue bukan lagi ngomongin dunia as in the world where billion people live. Yang gue maksud adalah dunia yang artinya lebih personal dari itu. Dunia di mana seseorang benar-benar hidup di dalamnya. Dunia yang bisa membuat seseorang merasa berarti di dalamnya. Buat seorang koki, dunia adalah dapur tempat dia bisa membuat berbagai macam masakan. Buat seorang ibu rumah tangga, dunia adalah rumah di mana ia bisa melihat anak-anaknya tumbuh. Buat gue sendiri, dunia adalah panti asuhan ini. Dan orang-orang di dalamnya. Tristan dan Kayana.

Menghabiskan hidup gue berbelas-belas tahun di panti asuhan ini—dengan Tristan dan Kayana, membuat gue gak bisa dan gak mau bayangin hidup gue seandainya gak ada mereka. Gue pernah bilang ke Tristan pas kita lagi manjat pohon mangga depan panti buat menyelamatkan diri dari anjing yang ngejar-ngejar kita berdua (setelah diprovokasi sama Tristan), 'I'don't mind losing my parent for the second time—well, if one day I get the opportunity to have one again—as long as I have you, and Kayana,' yang dijawab dengan 'Be careful of what you said, kid,' oleh Tristan.

Then one day, the opportunity really came to me.

Suatu siang, gue dipanggil ibu panti ke ruangannya, semacam kantor administrasi di panti asuhan. Tempat paling ajaib di muka bumi buat para anak yatim piatu di seluruh dunia. Di tempat ini, kita bisa punya kesempatan buat bisa ngerasain (lagi) kasih sayang orang tua, kalo kita beruntung. And I never thought that I will get lucky, until this day.

Pas gue masuk, di ruangan itu ada ibu panti, seorang perempuan berumur 40 tahun-an dengan garis muka yang ramah, dan seorang laki-laki paruh baya yang rambutnya sudah memutih. Mereka bertiga melihat gue dengan tatapan yang berbeda. Ibu panti melihat gue dengan tatapan lega sekaligus tidak tega. Sementara tatapan perempuan dan laki-laki itu mengingatkan gue pada tatapan tentara yang baru pulang dari medan perang dan akhirnya bisa melihat keluarganya lagi—yang kalo dianalogikan ke hidup gue, perempuan dan laki-laki yang merupakan tentara itu adalah ibu dan ayah gue, dan gue adalah keluarganya. Anak mereka.

Respon pertama gue waktu ibu panti ngasih tau gue kalo perempuan dan laki-laki yang ada di hadapan gue ini adalah orang tua gue, yang selama ini gue kira udah gak ada (dan karena itu gak pernah gue pikirin juga keberadaannya), muncul secara tiba-tiba adalah meminta mereka menunjukkan bukti kalo gue adalah anak mereka. Karena kalo boleh jujur, sejak gue masuk dan memperhatikan mereka, gue bisa menemukan senyum gue di bibir perempuan itu. Gue pun bisa menemukan mata gue di mata si laki-laki. Physically, mereka memang mirip sama gue. Gue butuh bukti lain yang bisa lebih meyakinkan gue kalo mereka benar-benar orang tua gue. Lalu mereka menyerahkan akta kelahiran gue, seakan-akan gue ini adalah benda yang bisa mereka tebus dengan secarik kertas ukuran A3. Seandainya aja mereka merawat gue sebaik mereka menyimpan akta kelahiran itu. Tapi sekarang bukan waktunya buat drama. Gue amat sangat bersyukur mereka akhirnya balik lagi, terlepas dari apapun alasan mereka ninggalin gue dulu. Setelah ini gue bisa ngerasain sarapan dan makan malam sama ayah dan ibu gue. Gue bisa iseng nyobain tempe goreng buatan ibu yang harumnya sampe ke kamar gue. Gue bisa bantuin ayah benerin mesin mobilnya yang udah tua. Dan gue gak bisa lebih bahagia dari itu.

World works in balance. When you get some, you lose some. Kedatangan orang tua gue ke panti asuhan dan mengajak gue tinggal bersama mereka sebagai keluarga yang utuh membuat gue harus rela meninggalkan panti asuhan ini. Meninggalkan Tristan dan Kayana. Dan seperti yang udah gue bilang, gue gak bisa dan gak mau ngebayangin hidup gue tanpa keberadaan mereka berdua di dekat gue. Tapi gue juga gak bisa menahan mereka untuk tetap ada di deket gue.

-Kayana

Jayandra dan Tristan adalah kaki-kaki dan tangan di hidup gue. Tanpa mereka, gue gak berfungsi. Iya, segitu besarnya pengaruh mereka di hidup gue. Gue adalah orang yang pendiam. Ibu panti pernah bilang, Jay dan Tristan adalah baterai dan gue—tentu saja—adalah robotnya. Setelah dipasangin baterai pun, gue masih sebuah robot, cuma bedanya bisa jalan aja. Tapi ya gitu, robot. Kaku. Cuma kalo ada di deket Jay dan Tristan, I can be less like a robot. Gue bisa jadi lebih manusia di dekat Jay dan Tristan. Selain itu, Jay dan Tristan juga berperan sebagai pelindung gue. Kalo ada cowok-cowok yang iseng gangguin gue dan ketauan sama Jay dan Tristan, bisa dipastikan mereka bakal stop gangguin gue. Gue gak pernah tau apa yang Jay dan Tristan lakuin ke cowok-cowok itu. Yang jelas, berkat mereka berdua gue merasa terlindungi. Selama masa SMP dan SMA, gak pernah ada satu orang pun yang berani iseng atau deketin gue. Karena alasan-alasan itu, gue takut banget kalo gak ada Jay dan Tristan di deket gue.

3Where stories live. Discover now