That Dumb Bully

3K 328 85
                                    

"Eren tunggu!!" jerit Armin yang sedang berlari keluar dari kelas. Untung Eren bersedia untuk menunggunya. Sampai di hadapan Eren, dia membungkuk sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Kacamatanya sampai miring sebelah.

"Wah kamu benar-benar kurang olahraga, Armin. Jarak dari kelas sampai ke hadapanku ini gak ada 10 meter dan lari segitu saja udah habis nafasnya?" dia bocah lelaki yang biasa-biasa saja dengan mata hijau yang gelap dan rambut coklat yang malas disisir. Hal yang membuatnya luar biasa adalah Eren sangat jago olahraga, dia striker andalan SMA Dinding Titan sekalipun masih kelas 1.

"Eren!! Aku sudah bilang, pulang sekolah kita jalan bareng, kamu lupa ya?!" kata Armin dengan sangat serius seakan nyawanya sedang diujung jalan buntu.

"Gak lupa sih, tapi aku cuma jalan sebentar ke halaman sekolah kok. Aku berniat menunggumu di sana..."

"Jangan lakukan itu!! Kita keluar kelas bareng, turun tangga bareng, jalan melewati halaman sekolah bareng dan setelah itu ..."

Eren tertawa, "hah! Seperti orang pacaran saja."

"Bu-bukan itu maksudku ..." kedua pipi Armin bersemu merah, untung Eren terlalu lemot untuk menyadarinya. "Soalnya, sejak kelas SMP, kita beda sekolah, dan kali ini SMA kita satu sekolahan. Jadi aku kangen dengan masa-masa kecil dulu."

"Armin, kita masih 15 tahun, terlalu kecil untuk mengatakan "masa kecil"," Eren mengingatkan.

"Ya sudah, pokoknya berjanjilah kita akan keluar kelas bareng, jalan di koridor bareng, turun tangga bareng, lewat halaman bareng, setelah itu kita bisa pergi lewat jalan terpisah menuju rumah masing-masing!"

Eren tidak mengerti tuntutan Armin tersebut untuk apa tujuannya, tapi dia setuju saja. Begitulah setiap pulang sekolah, Armin selalu "membonceng" perlindungan Eren.

Sampai suatu hari, terjadilah juga mimpi buruk itu.

Armin dan wajah pucatnya lemas memandangi bangku Eren yang kosong. Dia sedang terserang cacar air dan mengisi hari-harinya di rumah dengan main game, tidak boleh masuk sekolah selama kira-kira dua minggu lamanya. 

Maka dari itu Armin mencari kerumunan manapun yang bisa dia susupi dan berjalan bareng di tengah-tengahnya. Demikianlah dia berjalan selamat sampai ke pintu rumahnya dan disambut oleh kakek yang sedang menjemur futon di lantai dua.

"Oi, Armin. Sudah pulang kau, nak?" 

"Ya, aku pulang."

"Temanmu sudah lama menunggu di dalam."

"Teman?" ini merupakan berita yang tidak biasanya bagi Armin, karena Armin jarang sekali (sebenarnya tidak pernah) didatangi siapapun kecuali Eren. "Siapa ya...?"

"Temanmu datang sambil membawa teh hijau buatku. Dia baik sekali, lekaslah menemuinya, dia sedang nonton tv," kata kakek dari lantai dua ke halaman depan rumah.

Armin masuk ke dalam rumah dan melepas sepatunya. Begitu melihat siapa yang sedang duduk di sofa sambil menonton tv, Armin langsung panas dingin. 

"Bagaimana kau tahu alamatku?!" seru Armin, antara kaget dan ketakutan. Jadi semua usahanya untuk menghindari orang ini ternyata sia-sia saja!

"Aku mengikutimu setiap hari, goblok!" kata orang itu. Dia seorang pemuda stylish dengan rambut undercut jabrik dan wajah yang panjang. Karena wajah panjangnya itu, teman-temannya meledeknya dengan sebutan "muka kuda". Pertama kali Armin melihat dia adalah pada hari pertama masuk SMA. Dia sedang tersesat mencari ruangan kelasnya dan Armin membantunya menemukan ruangan itu. Tapi Armin tidak jadi naksir setelah dia menyadari tidak ada kedamaian yang dibawa orang itu, sengaja maupun tidak. Setiap hari pasti ada yang diajak bertengkar. Setiap pagi pasti dia sedang dihukum berlari mengelilingi lapangan sekolah karena terlambat setengah jam. Dia benar-benar siswa bermasalah dan Armin merasa yakin bahwa dirinya akan mati 50 tahun lebih cepat bila dekat-dekat dengan orang seperti itu.

Nama aslinya adalah Jean. Jean Kirstein. 

Melihat Armin sedang mencuri kesempatan untuk kabur, maka dia mengejarnya dan mendorong pintu sampai tertutup lagi. Armin pun terjebak diantara kedua lengan Jean yang sedang menahan pintu.

"Kau mau kabur dariku, hah? Silakan bermimpi!"

Armin pun menyerah, "Maaf, maaf ... Aku tidak bermaksud membuatmu kecewa!!"

"Kenapa kau bohong padaku, hah?"

"I-itu karena ...."

"Ingat yah ..." Jean mengeluarkan pisau lipat yang kecil dari saku jaketnya dan menodongkannya kepada Armin. "... Pokoknya kamu harus bertanggung jawab. Berani kabur lagi, maka aku akan ...."

Kakek Armin turun dari lantai dua, langkah sandalnya yang keras terdengar sampai ke  pintu utama. "Armin, sudah temui temanmu belum? He...? Oh, maaf aku mengganggu kalian ya? Aku permisi dulu kalau begitu."

Kakek naik lagi ke lantai dua.

"Ehh ... Kakek jangan pergi!!" jerit Armin namun mulutnya segera dibekap oleh Jean dan dia didorong ke pintu. 

"Jangan malu-malu, kakek juga pernah muda," terdengar suara kakek dari lantai dua.

"Aduh, kakek salah paham," Armin ingin menangis rasanya karena kakek sudah tahu apa yang selama ini dia sembunyikan di dalam kloset. Tapi Armin sedih karena kakek mengira dia suka pada Jean, padahal dia suka pada Eren!

"Ingat, mulai sekarang, kau jongosku. Pergi laporan padaku setiap selesai sekolah dan kau baru boleh pulang kalau aku mengizinkannya. Setiap hari kau harus bawakan aku bento untuk makan siang, dan setiap selesai pelajaran olah raga kau harus memijit bahu dan kakiku!" kata Jean. 

"Apa?? Bento?! Serius deh, memangnya aku pacarmu apa?!"

"Jangan mikir yang nggak-nggak deh! Kau tahu aku gak suka cowok!"

"Iya, tapi ..."

"Sampai kau melanggar, aku bilang ke Eren kalau kau pernah menulis ini ..." Jean melemparkan secarik kertas yang mendarat di wajah Armin. Baru baca satu kalimat, wajah Armin sudah memerah sampai ke telinga karena itu adalah surat cintanya untuk Eren pada saat kelas empat SD yang tidak pernah sempat dikirim karena Eren sudah keburu pindah sekolah duluan. Kalau sampai Eren membacanya, dia pasti merasa jijik pada Armin dan tidak mau melihatnya lagi karena dia gay!

"Sepertinya kau sudah mengerti, kalau begitu aku pergi dulu. Hehehe!" 

Sepeninggal Jean, Armin jadi kesal sekali. Dia langsung masuk ke dalam kamar dan langsung melihat satu rak berisi koleksi manga, dimana ada gantungan tas pikachu, syal, sebungkus obat demam, secangkir plastik lemonade yang sudah habis terminum, surat-surat puisi yang manis, pena fountain, beberapa nendoid dan boneka penangkal hujan. Ingin rasanya Armin membuang semua benda-benda itu, tapi dia tidak tega. Semua benda itu diberikan dengan niat yang tulus, masa dibuang begitu saja?

Semua ini gara-gara Mikasa!

Jangan Ganggu Aku, Bully!Where stories live. Discover now