Chapter I.A

Mulai dari awal
                                    

"Jangan khawatir, meski semua orang takut padamu. Ada satu orang yang akan selalu menganggapmu lucu kok."

Mataku dan Dilly bertemu sepersekian detik.

Ia lantas menunjuk ke dirinya sendiri, "Aku akan menjadi satu orang itu."

Cih!.

"Oh ya. Apa kau pernah membaca tulisanku? Kau dan aku tidak saling kenal sebelumnya. Tiba-tiba kau datang mencariku, menawarkan diri menjadi editor. Aku tak mengerti," aku terdiam sejenak sembari mengingat-ingat nama penerbit yang pernah menolak atau menjadi target pengiriman naskahku, seingatku penerbit tempat Dilly bernaung tak ada di daftarku karena penerbitnya hanya fokus pada genre romansa sementara genreku misteri dan horror. Mata Dilly masih memandangku fokus. "Kau bukan penculik, kan?" Bola mataku turun naik menatap Dilly dari atas ke bawah dengan seksama dan penuh selidik.

Dilly tertawa kecil, "Kau pasti bahagia apabila aku benar-benar seorang penculik," jawabnya. Hah? Mengapa aku harus bahagia jika diculik?.

"Seorang penculik yang tampan seperti aku kan jarang-jarang."

GUBRAK.

Orang ini narsis sekali. Kulirik wajahnya sekilas. Walaupun narsis, apa yang ia katakan memang berdasarkan fakta yang ada. Wajahnya memang masuk dalam jajaran apa yang gadis-gadis normal bilang 'tampan', enak dilihat.

"Karena kau penculik. Aku akan pergi sambil menarikmu ke kantor polisi." Aku menarik tangan kanan Dilly yang lebih besar dua kali lipat dari tanganku tapi Dilly menarikku balik, "Mari kita masuk ke kafe ini, mengobrol sambil menyeruput kopi hangat. Para pelayan sedari tadi menunggu kita."

"Bundaku berkata aku tak boleh bersama orang asing."

"Kemudian mengapa barusan kau menarik tanganku?" tanyanya licik. Aku menelan ludah karena menyadari kesalahan fatal yang ku perbuat beberapa detik yang lalu. "Namaku Dilly, aku bukan orang asing. Aku editormu."

"Aku tidak punya editor. Maaf, aku harus pergi dan lepaskan tanganmu." Aku meminta dengan nada suara kasar.

Dilly menaikkan alisnya yang lumayan tebal dan menerobos ke dalam mataku, "Baiklah, mari kita pergi."

Aku menoleh sebal pada Dilly. Ia sama sekali tak melepaskan tanganku, dia malah semakin menguatkan genggamannya yang membuat tanganku seperti terkunci dengan sebuah borgol. "Maaf, tolong lepaskan aku. Aku bukan anak kecil yang harus dituntun. Aku bukan kekasihmu, dan juga bukan orang tua yang akan menyeberang jalan."

Cih! Dilly benar-benar tak peduli dengan ucapanku. Ia terus saja berjalan sambil menarik tangan kananku. "Nah Sraylira, menurutmu kita lebih baik bicara berdua di mana?"

Aku mendengus kesal dan melemparkan pandangan yang membuatku tak melihat wajahnya, "Siapa yang mau bicara berdua? Aku mau pulang! Aku tak mau jadi novelis kalau editornya orang aneh sepertimu!" lanjutku kasar.

Langkah-langkah kaki Dilly akhirnya terhenti di depan sebuah game center. Beberapa anak sekolah terlihat keluar masuk sambil membahas apa saja yang terjadi dalam permainan. Setiap kali melihat game center, yang ada di pikiranku hanyalah 'apa pengunjungnya nggak ada kerjaan lain selain bermain-main?'. Aku bukan penikmat game sehingga tidak tahu apa asyiknya bermain game. Jika untuk mengisi waktu atau melepaskan stress, aku cukup berada di depan laptop, menonton anime, membaca komik online atau mendengarkan musik. Bagiku, orang yang kecanduan game tidak bisa akrab denganku.

Dilly menolehkan kepala kepadaku dan melontarkan pertanyaan yang tambah membuatku keki, "Apa kau mau bermain dulu? Anak kecil biasanya luluh setelah diajak bermain. Atau kau mau permen? Coklat? Atau bahkan sebuah balon? Pilihlah sesukamu."

Tubuhku bergetar, rasanya aku ingin menonjok Dilly meski aku tak pernah melakukan kekerasan pada seseorang, walau hanya mencubit. Aku berprinsip rasa sakit itu menyakitkan, aku tak suka rasa sakit karena itu aku tak ingin memberi rasa sakit pada orang lain. Dan, sekalipun aku ingin melakukan sesuatu untuk melampiaskan rasa kesal, aku harus menahannya sebisa mungkin.

"Aku bukan anak kecil!" tukasku geram.

Dilly tertawa hingga matanya menyempit, "Marah dibilangin anak kecil?" Tanpa kusadari Dilly menjitak kepalaku pelan, meski tidak terasa sakit tapi jitakannya berhasil membuat darahku semakin naik ke kepala. Hello, ini hari pertama kami bertemu! Dia sudah mengejekku dengan sebutan anak kecil, menarik tanganku, memaksaku menjadi novelis dan sekarang menjitakku? Dia pikir dia siapa? Dia orang aneh dan menyebalkan!

"Aku benci padamu!" Sekuat tenaga aku melepas tanganku dari cengkraman Dilly dan melengos. "Sraylira, kau marah? Maaf, aku hanya ingin kita lebih akrab."

Aku tak mengubrisnya, lagian kalimat 'lebih akrab' itu kesalahan. Memangnya dia dan aku pernah 'akrab' sehingga bisa 'lebih akrab'?

"Aku membaca bab satu Girl's Play, aku menyukainya." Dilly berteriak. Tapi, aku tak peduli.

Dunia Kepenulisan I (The Writing World)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang