Part 1

3.9K 497 17
                                    

Hadi memandangi adiknya yang terpukau dengan kue ulang tahunnya sebagai hadiah. Kue yang dibawa olehnya. Hari dimana adik perempuannya lahir. Kejutannya berhasil. Sebagai kakak pertama dan satu-satunya. Ia ingin mengbahagiakan adik satu-satunya itu.

Di Jakarta mereka hanya tinggal berdua. Ibunya tinggal di kampung. Ayahnya telah meninggal saat dirinya masih kuliah. Kecelakaan yang menimpa sang ayah pergi untuk selama-selamanya.

"Kak, makasih ya kuenya aku suka. Cantik banget.." ucapnya dengan gemas.

"Sama-sama, kamu tiup lilin baru potong kue tapi sebelumnya berdoa dulu." Larisa mengangguk. Ia memejamkan mata berdoa dalam hati. Ada 1 doa yang ia panjatkan khusus untuk sang kakak yaitu agar segera menikah.

"Amiin.." Larisa meniup lilin tersebut.

"Selamat ulang tahun Risa." Hadi memeluknya dengan sayang. "Semoga ujian nanti kamu dapet nilai yang bagus. Kakak berharap kamu bisa masuk ke universitas yang terbaik."

"Doain aja ya kak. Aku belajar yang giat biar bisa buat kakak bangga sama Risa." Hadi mengacak-ngacak rambut adiknya.

"Insya Allah, kalau kamu berusaha pasti bisa. Potong kuenya." Mata Larisa berbinar-binar namun sedih juga karena kue secantik itu akan dirusaknya.

"Kak, kuenya aku foto dulu ya. Sayang banget kak, aku jadi nggak tega."

"Masa iya mau kamu liatin aja kuenya. Foto aja dulu nanti kakak kirimin ke Mama." Larisa mengacungkan jempolnya tanda setuju. Ia buru-buru ke kamar mengambil ponselnya. Mereka berfoto ria lalu mengirimkannya pada ibu mereka.

Selesai berfoto mereka menikmati kue ulang tahunnya. Mereka mengobrol dengan sampai Larisa menanyakan sesuatu yang membuat Hadi tidak bisa berkata-kata lagi. Larisa merasa bersalah dengan pertanyaannya. Hadi hanya tersenyum tipis.

"Tunggu kamu lulus kuliah, kakak baru menikah."

"Berarti masih lama dong, kak?" tanyanya sebal.

"Kalau kamu udah lulus kakak baru tenang. Nanti kamu udah kerja dan mungkin udah nikah."

"Yee, kakak ini gimana sih. Masa iya mau nunggu aku nikah juga. Umur kakak nanti berapa?. Kasihan anak kakak nanti! Baru umur dua tahun ayahnya udah kakek-kakek!" Hadi tertawa dengan penuturan Larisa.

Memang benar tapi apa yang bisa diperbuatnya?. Dirinya adalah tulang punggung keluarga. Jika ia menikah siapa yang akan menjaga dan membiayai Larisa?. Hadi telah memikirkannya, biarlah menunggu lebih lama lagi. Saat ini ia tidak sedang menjalin hubungan dengan gadis manapun. Siapa yang mau dengan pria yang bekerjanya hanya sebagai montir?.

"Kakak masih muda gini. Nunggu kamu nikah, kegantengan kakak nggak akan pudar, Ris." Larisa mencebikkan bibirnya. Ucapan kakaknya sangat membuatnya kesal. Kepercayaan dirinya di atas rata-rata.

"Pinter ngeles!. Aku mau tidur dulu ya, kak. Oia, kuenya boleh aku bawa ke sekolah besok?"

"Boleh, bawa aja. Kue sebesar ini kita nggak akan sanggup makannya."

"Makasih ya, kak. Pokoknya lope..lope.. Sama kakak. " Hadi mendelik geli mendengarnya. "Kuenya enak banget, aku suka." Larisa beranjak dari sofa menaruh kue dikulkas lalu menuju kamarnya.

Dikeheningan malam Hadi tertegun. Semenjak ayahnya meninggal ia mempunyai prinsip untuk membahagiakan ibu dan adiknya sebelum menikah. Ada orang yang mengatakan jika pria itu panjang langkahnya. Umur tidak jadi soal untuk menikah nanti. Lagi pula, apa yang ia miliki saat ini?. Biaya menikah pun tidak ada. Tabungannya itu khusus untuk Larisa dan ibunya. Ia percaya bahwa semua akan indah pada waktunya.

***

Pagi-pagi sekali Hadi sudah bangun. Ia ada janji dengan seseorang. Sebelum ke tempat kerjanya ia harus mengantar Larisa ke sekolah. Pria itu mempunyai motor matic yang dikreditnya selama 3 tahun. Hadi sampai mengirit untuk membagi gajinya dengan kebutuhan Larisa. Syukurlah mereka tidak mengontrak rumah. Tempat tinggal yang mereka tinggali adalah warisan dari sang ayah.

Tentang Kita (GOOGLE PLAY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang