Bab 2 - Bintang

254 25 96
                                    


Semua rasa lelah ini tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa lega di hati. Yara menikmati malam terakhirnya di gunung Rinjani, menikmati suguhan langit yang penuh bintang. Di sini, rasanya bintang begitu dekat, tapi tetap saja tangan ini tak bisa meraihnya. Tangan ini tak cukup panjang untuk memetik salah satu bintang di angkasa sana. Tetap saja, bintang itu hanya bisa dilihat tanpa bisa digapai. Sebuah kenangan muncul seperti semilir angin yang membawa kabut. Membawa Yara ke masa yang begitu jauh ke belakang. Sebuah kenangan yang membawanya ke atas puncak-puncak nusantara.

***

Pekalongan, Agustus 2006.

Yara membidik lensa kamera pada sasarannya, yaitu seorang cowok yang tak lain adalah kakak kelas. Ia sudah naksir kakak kelasnya itu sejak pertama masuk SMA. Yara ingat, Bintang memarahinya karena terlambat saat kegiatan orientasi. Bukannya takut karena dibentak senior, Yara malah senyam-senyum membuat Bintang bingung.

Kenapa anak ini? Dimarahi malah cengengesan! Apa menurutnya terlambat saat kegiatan orientasi adalah sesuatu yang membanggakan? Bintang jadi bingung saat memarahi Yara.

Yara masih fokus pada kamera, sedangkan Bintang tengah asyik bercengkerama dengan teman-temannya. Dan tentu mereka semua bukan siswa-siswi sembarangan, salah satunya adalah Maya-sang mantan ketua OSIS. Ditengah keasyikannya bercengkeraman dengan Bintang, Maya menyadari sedari tadi ada yang mengarahkan kamera pada mereka. Maya berbisik pada Bintang dan menunjuk ke arah Yara yang tengah sibuk dengan hasil jepretannya.

"Wah keren banget! Lihat senyumannya! Ya Tuhan, kenapa semakin lama dia semakin cakep sih? Dia ini malaikat ya? Atau jangan-jangan vampir? Ini harus dicetak. Harus!" Yara bicara sendiri dengan semangat.

"Kenapa tidak dibikin MMT saja?" Sebuah suara muncul dari samping Yara.

"MMT? Spanduk maksudnya?" tanya Yara polos masih tetap fokus pada kamera.

"Iya, semacam spanduk."

"Wah itu ide bagus! Kenapa aku tidak pernah kepikiran?"

"Satu kali dua meter cukup besar untuk diletakkan di kamar."

"Iya, kamu benar! Jadi aku bisa memandanginya setiap malam. Keren, keren!" Yara menoleh ke arah suara, dan ...

Damn! Kenapa dia di sini? Jadi yang dari tadi bicara denganku adalah Kak Bintang? Kaki Yara gemetar, dia ingin melangkahkan kaki untuk kabur, tapi kakinya tak bergeser sedikit pun. Dalam hati, Yara terus meneriaki dirinya untuk lari, tapi tak bisa.

"Sini kameranya!" Bintang merebut kamera itu dari tangan Yara.

Dilihatnya satu per satu hasil foto yang selama ini diambil Yara, membuat gadis berambut ikal itu menutup wajahnya dengan telapak tangan dan hanya bisa menundukkan kepala seperti orang yang sedang mengheningkan cipta. Bintang tak percaya dengan semua foto di kamera milik adik kelasnya ini. Ia tak habis pikir, bagaimana Yara bisa mendapat foto-fotonya? Mata Bintang terbelalak tak percaya.

Jadi selama ini cewek ini terus membuntutiku? Kepala Bintang berdenyut sangkin tak percaya. Bahkan ia menemukan foto saat dirinya dan teman-teman berenang beberapa minggu lalu. Telanjang dada!

Apa anak ini juga mengoleksi foto seperti ini? Bintang menatap Yara yang semakin tertunduk menahan malu.

"Sejak kapan kamu mengambil fotoku?" tanya Bintang datar. Yara tak berani bersuara, kakinya masih gemetar. Otaknya mengirim sinyal untuk lari meninggalkan Bintang, tapi kakinya tak bisa diajak kompromi. Belum lagi kamera Yara yang berharga masih di tangan Bintang membuatnya tak bisa kabur begitu saja.

Memetik BintangOù les histoires vivent. Découvrez maintenant