xvi. saya terancam oleh enzim amilase. eh tunggu, saya atau...?

Start from the beginning
                                    

"Aku mau kasih kuenya ke Fia," kata saya. Sekarang, saya yang nyengir-nyengir enggak jelas.

[.]

Akhirnya, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sara udah mendekam di kamarnya dari tadi. Papa juga udah pulang dari setengah jam yang lalu, dan sekarang lagi nonton TV di ruang keluarga sama Mama.

Saya tadi mampir ke kamar Sara, untuk memastikan kalau orang itu enggak bakal nyari saya di kamar. Saya enggak perlu khawatir, dia lagi skype-an sama Kevin, dan lagi video call sama temen-temen ceweknya.

Jangan tanya saya gimana caranya. Itu emang salah satu dari sekian banyak bakat Sara.

Saya juga ke ruang keluarga, dan keadaan sepertinya aman. Mama dan Papa asyik menonton film. Saya bahkan loncat-loncat di samping sofa, dan enggak ada satu pun yang menanggapi saya.

Kalau keadaannya lain, saya pasti sakit hati. Tapi sekarang, justru ini yang saya butuhkan.

Saya berlari lagi ke kamar, lalu mengunci pintunya. Saya berganti pakaian jadi serba hitam (ini hasil kesepakatan saya dengan Rangga), memasukkan berbagai kebutuhan ke dalam tas ransel, lalu menghampiri jendela.

Kamar saya berada di lantai dua, dan ada balkon kecilnya. Saya dulu sering diterbangin Papa dari balkon ke bawah. Normalnya, sebagai seorang ibu, Mama harusnya panik dan khawatir sama nyawa anaknya.

Tapi mama saya enggak.

Mama malah nyuruh Papa buat nyoba nerbangin saya dari atap rumah.

Untung enggak jadi, gara-gara, waktu itu lagi hujan.

Dan sejak saat itu, saya enggak pernah bawa Papa atau Mama ke balkon kamar saya. Soalnya, gawat kan, kalau mereka tiba-tiba inget sama keinginan tertunda mereka buat nerbangin saya dari atap rumah?

Saya sekarang sudah berada di balkon kamar saya. Dari kamar saya ke bawah sebenernya enggak terlalu tinggi. Lompat aja juga udah bisa sampai bawah dengan selamat sentosa.

Tapi, Mbak kemarin ngasih saya ramuan rahasia--dari apel, mangga, kecap, dan srikaya--yang kalau saya minum sambil ngarahin tongkat sihir ke diri saya, saya jadi bisa terbang.

Saya meminum ramuan yang sudah saya buat tadi sore, sambil mengarahkan tongkat sihir ke arah saya, kemudian, saya mengucapkan tolongsayamauterbang, dan saya pun terbang ke bawah.

Berhasil.

Saya mengeluarkan ponsel, dan mendapati bahwa Rangga telah mengirimi saya beberapa pesan di LINE.

Rangga A: lo di mana?

Rangga A: gue udah di luar rumah, ya

Saya membalas,

Arsara Pradana: Gue juga

Arsara Pradana: Gue ke halte sekarang, ya

Saya dan Rangga janjian untuk bertemu di halte bus, yang terletak di depan komplek rumah Fia. Komplek rumah Fia enggak terlalu jauh dari komplek rumah saya, tapi lumayan jauh sih, dari komplek rumah Rangga.

Seperti yang saya perkirakan, saya sampai di halte bus lebih dulu. Saya duduk di sana sambil memainkan ponsel, supaya enggak kelihatan kayak orang gabut aneh, yang pakai baju kayak orang mau ngelayat.

Beberapa saat kemudian, saya mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Saya mengangkat wajah dan mendapati Rangga sedang berjalan ke arah saya.

"Lama banget lo," ucap saya.

Rangga hanya mengangkat bahunya. "Bodo amat," katanya. "Ayo buruan ke rumah Fia. Lo tahu kan, rumahnya di mana?"

"Gue belum pernah ke rumahnya, sih. Tapi gue punya alamatnya," kata saya sambil membaca alamat rumah yang pernah Fia berikan kepada saya. "Blok 8 nomor 15."

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now