xvi. saya terancam oleh enzim amilase. eh tunggu, saya atau...?

17.3K 2.7K 621
                                    

Saya berusaha bersikap biasa-biasa saja seharian ini. Tapi susah. Ya, coba aja kamu jadi saya, yang nanti malam mau bales dendam ke temen sebangku kamu, yang selama ini udah bohongin kamu.

Kamu juga pasti enggak bisa diem kayak saya. Untungnya, Sara mengusulkan sesuatu untuk kami lakukan hari ini, kalau tidak, bisa-bisa saya menghasilkan telur saking tidak sabarnya menunggu datangnya malam.

Hari ini hari Sabtu, jadi Sara libur (kalau saya sih, emang lagi libur). Sara dan Mama tadi pagi mengusulkan agar kami para cewek-cewek Pradana (Mama ngotot bilang cewek-cewek, padahal harusnya kan cewek-cewek-ibu-ibu), nonton film yang cewek banget dari pagi sampai tengah malem. Usul ini langsung saya tolak tidak sampai satu detik kemudian. Saya kan, punya acara penting malam ini.

Sara mengsulkan agar kami bikin kue-kue lucu. Awalnya, Mama enggak setuju, menurut Mama, bikin kue itu ribet. Tapi saya lalu mengingatkan kalau saya dan Sara punya tongkat sihir, dan Mama langsung setuju.

Saya ngingetin Mama kayak gitu, bukan karena saya pengen bikin kue-kue lucu. Saya cuma refleks saja ngingetin Mama. Mungkin sumsum tulang belakang saya--yang mengontrol segala gerakan refleks--sudah terlalu terbiasa sama sihir, apalagi sejak pelatihan dari Mbak kemarin.

Tapi bubur sudah jadi air. Saya enggak bisa narik ucapan saya lagi. Jadi sekarang, saya, Sara, dan Mama sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kue.

"Kenapa kamu tiba-tiba pengen buat kue, sih?" tanya saya kepada Sara. Saya sekarang sedang menerbangkan kantung-kantung tepung untuk ditimbang.

Sambil menakar air, Sara menjawab, "Aku pengen bikin kue buat Kevin."

"Kevin siapa?" tanya saya.

"Pacarku," kata Sara, nada bicaranya heran, seolah-olah Kevin itu presiden Indonesia, dan saya orang aneh karena enggak tahu dia siapa.

Saya menoleh ke arah Mama yang sedang sibuk menata peralatan di meja. "Ma, Sara pacaran."

Mama mengangkat kepalanya, tampaknya tidak mengikuti pembicaraan saya dan Sara dari tadi. "Mama tahu, kok. Siapa sih, namanya? Suparno?"

Saya tertawa ngakak. Mama dapat fantasi dari mana, coba?

"Kevin, Ma!" kata Sara tidak terima.

Saya masih tertawa.

"Suparno mah, mantan aku," lanjut Sara.

Saya masih tertawa.

Eh tunggu...

Apa?!

"Kamu mau bikin apa emang buat pacar kamu?" tanya Mama sambil menghampiri Sara.

"Kue, lah," jawab Sara.

"Kue apa?" tanya Mama.

Saya sendiri masih terdiam.

Saya shock.

"Rencananya sih, aku mau kasih sihir keberuntungan gitu di kuenya. Aku bakal suruh Kevin makan kuenya sebelum dia tanding basket besok," jelas Sara sambil nyengir-nyengir enggak jelas.

Mama langsung tampak berseri-seri.

Saya (yang sudah lumayan pulih dari shock berat gara-gara Suparno), tiba-tiba dapet ide.

"Aku juga mau bikin kue dikasih mantra, ah," kata saya bersemangat.

"Bagus! Itu bagus," kata Mama.

"Kuenya buat siapa? Emang Kakak punya pacar?" tanya Sara.

"Punya. Pacarku kan Grant Gustin. Tapi, aku enggak mau kasih kue ke Grant Gustin," kata saya.

"Terus?" tanya Sara.

Just a Little SpellWhere stories live. Discover now