"Siapa Dave?" Tanya Ira sambil menyendok nasinya.

Bela melirik Tami sambil menggeleng. "Calon gebetan," jawabnya pada Ira.

"Whatt??!!" Seru Ira kaget sampai sendoknya terlepas.

"Lebay," ujar Tami memutar mata.

"Tahu nih. Lebay," sambung Bela mengikuti gaya Tami.

"Ya secara. Mbak kan belum pernah suka sama laki. Dokter Dio yang gantengnya kemana-mana itu aja nggak bisa ngeluluhi hati mbak. Laki-laki dari kahyangan mana, yang berhasil ngeluluhi mbak ini?" Tami menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir dengan pilihan kata dalam ucapan Ira.

"Kahyangan?" Bela menoleh sambil mengernyit. "Dia bukan bidadari Iraaaa. Cuma pria biasa yang—yang harus di sayangi," jawab Bela ikut menggeleng.

"Bagus. Berarti aku nggak terlalu susah payah lagi buat mengambil hati dokter Dio. Yes!" Ira mengangkat sendok sambil tersenyum lebar kesenangan. Gadis itu memang sudah mengagumi dokter Dio sejak pertama bertemu, tiga tahun yang lalu setelah dikenalkan Bela. Sayangnya, dokter Dio mendekati Bela terlebih dahulu.

"Ngambil hati kok susah. Tinggal tarik ke ruang operasi. Trus bedah dadanya. Dapet deh," ucap Tami asal.

Senyum Ira langsung hilang berganti tawa hambar. "Ha ha, nini lucu!"

*

Minggu malam, tepat pukul tujuh Dave duduk di dalam mobil yang di kendarai Haris. Mereka mau menghadiri pertemuan yang kata Haris, penting. padahal ini akhir pekan. Tapi karena Dave terbiasa mengikuti semua jadwal yang dibuat sekertarisnya, jadi dia tidak bertanya apalagi menolak. Karena Haris adalah orang yang di pekerjakan papanya. Seseorang yang tidak pernah bisa di lawannya.

"Semalam datang telat, dari mana?" Haris menoleh ke arah Dave yang duduk di sampingnya sambil tetap fokus menatap jalan di depannya.

Dave mengerjap malas. "Sedang melakukan interogasi, Har?" tanya Dave balik menyindir.

Haris mendengus. "Nggak. Ini bukan suruhan pak Gunawan. Kamu kan tahu aku sekutumu, bukan dia."

"Ya. Tapi bekerja di bawah perintahnya tidak berpengaruh besar." Dave mengalihkan pandangan ke samping. Memperhatikan jalanan kota yang terbilang cukup ramai.

"Memang." Haris tidak menyangkal, tapi ekspresinya menunjukkan kalau dia tidak suka dengan fakta itu, seperti halnya dengan Dave. "Jadi, apa jawaban pertanyaanku?" lanjutnya.

"Bukannya sudah tahu?" Haris mengernyit tidak mengerti.  "Orang lain mungkin akan bertanya aku telat kenapa? Bukan dari mana."

Haris tersenyum setengah menahan tawa. "Bukan. Waktu tahu kamu belum sampai di kantor, aku telepon Bi sumi. Katanya mobilmu sudah berangkat satu jam yang lalu, seperti biasa." Haris menoleh. "Jadi, dari mana?"

"Rumah Bela." Jawab Dave terus terang.

Haris spontan menoleh. "Ngapain?"

"Sepatu yang kamu pesan kemarin, untuk wanita itu." Jawab Dave.

Haris mengangguk. "Oh.." Tanpa mengatakan hal lainnya.

Dave mengernyit. Sekertarisnya itu bahkan tidak bertanya siapa Bela. Sedikit aneh, tapi Dave tidak berniat bertanya.

Tidak lama setelahnya, mobil mereka sampai di depan pelataran hotel berbintang. Haris menyerahkan kunci mobil pada bell-men. Keduanya berjalan memasuki pintu utama hotel.

"Dining room, lantai sepuluh." Ujar Haris memberitahu tempat pertemuan mereka, setelah sampai di depan lift.

Dave menoleh. "Kamu nggak ikut?"

My lovely PATIENTWhere stories live. Discover now