"Kami mohon jangan lakukan hal ini. Hutan Samsara akan mengutuk kami. Biarkan saja kami membawa tubuh Akamai ke hutan Samsara dan membiarkan hutan mengurusnya bagi kami ..." permohonan yang diiringi isak tangis kedua orang tua Akamai mau tak mau membuat Darien menarik napas panjang.

Sepasang suami-istri itu adalah satu-satunya orang yang ia izinkan bergabung dengan mereka di kedai Nyonya Kalea, tapi keduanya sama sekali tidak mau memberinya izin untuk melakukan tindakan pada putra mereka atau bahkan mendengarkan penjelasan darinya. Mereka hanya mau berbicara dengan Keahi, dan pria berbadan besar itu pun telah kehabisan akal untuk meyakinkan mereka. Jika saja ia tak menghormati status pasangan suami-istri itu sebagai orang tua Akamai, ia pasti telah ikut mengusir keduanya untuk menunggu saja di luar kedai.

Untuk kasus yang berpacu dengan waktu seperti ini, Darien benar-benar ingin melakukan tindakan secepat mungkin, tapi hatinya juga tak mengizinkannya bertindak tanpa setidaknya memberi penjelasan pada dua orang yang akan menerima dampak dari hasil tindakannya.

Kasus Akamai sebenarnya termasuk dalam kasus gawat darurat yang memberinya izin untuk menolong tanpa memerlukan izin pengambilan tindakan. Namun, selain hatinya yang tidak tega, Darien juga tahu, bahwa para tetua desa pastilah tengah mengintip tindak-tanduknya dari jendela kedai. Ia sama sekali tak ingin memberi mereka lebih banyak alasan untuk menolak keberadaan dirinya di desa ini.

"Seberapa buruk keadaannya?" tanya Kalea yang sejak kedatangan mereka ke kedai, hanya mengawasi segala kejadian itu dalam diam.

"Buruk." Darien menjawab seraya membawa Kalea melihat keadaan Akamai lebih dekat. "Anak ini hampir tak memberikan refleks terhadap rangsangan." Darien mengetuk-ngetuk siku tangan dan kaki Akamai untuk menunjukkan maksud perkataannya. "Kau juga dapat melihat pergerakan napasnya yang dangkal dan tak teratur, dan yang paling buruk, pupil mata kanannya tidak memberi reaksi terhadap cahaya," sambung Darien cepat seraya menjentikkan jarinya, dan menerangi satu per satu mata Akamai dengan cahaya dari ujung jarinya. "Dari pengamatanku, aku yakin, gumpalan darah telah terbentuk di bagian dalam tengkorak Akamai, dan kini gumpalan itu tengah menekan otaknya." Darien mengakhiri penjelasannya sambil menarik napas panjang.

"Dan kau bisa menolongnya?" tanya Kalea tak percaya.

"Jika aku melakukannya dengan cepat. Kita memiliki kemungkinan lebih besar untuk menyelamatkan anak ini!" jawab Darien yang langsung membuat Kalea mengerutkan dahinya.

"Kemungkinan?"

"Kasus ini berpacu dengan waktu, dan kasus yang berhubungan dengan otak selalu menjadi kasus yang tak dapat diprediksi. Ia memiliki kemungkinan untuk selamat, tapi aku tak akan bisa menjamin kesembuhannya secara sempurna," ujar Darien mantap yang langsung membuat Kalea ikut menarik napas panjang.

"Apa yang terjadi jika kau tak menolongnya?" tanya wanita itu sekali lagi.

"Dia sudah dapat dipastikan akan mati," jawab Darien mantap yang langsung membuat Kalea kembali menarik napas dalam.

Wanita itu tampak memikirkan sesuatu selama beberapa saat, sebelum kemudian mengambil keputusan dengan cepat dan berjalan ke arah kedua orang tua Akamai. Tangisan kedua orang itu seketika terhenti saat keduanya menatap ekspresi wajah Kalea.

"Dengarkan aku!" seru wanita itu lantang, yang langsung membuat baik kedua orang tua Akamai, Keahi, dan Darien seketika mengatupkan mulut mereka.

"Aku menghormati tradisi desa kita, tapi anak kalian sudah mati!" kata-kata yang terlontar dari mulut Kalea itu seketika membuat setiap orang yang berada di ruangan itu tersentak. Darien ingin segera membetulkan pernyataan Kalea, tapi Keahi langsung menghentikan langkahnya. Pandangan yang diberikan pria itu memberitahunya kalau, ia tahu apa yang tengah dilakukan Ibunya.

The Healer [Canceled Series]Where stories live. Discover now