Kate mengerutkan kening, ia dapat merasakan kegugupan dari sikap Sam yang tidak biasa itu. Ia sudah cukup mengenal sikap Sam dan saat ini ia tahu lelaki itu sedang resah dan lagi-lagi firasat buruk itu datang lagi. "Sam, ada apa?"

     Sam menghembuskan napas untuk menenagkan diri, wajahnya terlihat lebih gelap. Tangannya sibuk memainkan gelas kosong diatas meja. Kate merasa dadanya sesak dan berharap apa yang dirasakannya Sam sesuai yang dibayangkannya. Lelaki itu akan menyodorkan cincin untuknya.

     "Aku akan pulang, Kate." jawaban singkat Sam itu membuat Kate linglung sejenak. "Aku ingin menyembuhkan diri didaerah kelahiranku, kampung halamanku yang jauh dari segala hiruk pikuk kota."

     Kate mengerutkan kening, "Aku bisa ambil cuti." sahutnya tenang. "Berapa lama?"

     Sam kembali bergerak gelisah, tangannya yang bebas terangkat ke tengkuknya dan mengusapkan tangannya disana.

     "Apa ada masalah, Sam?"

     Sam berdehem lalu menatap langsung ke mata Kate. "Maaf, Kate. Aku bermaksud untuk pulang sendiri, aku butuh waktu untuk merenungi kehidupanku. Kecelakaan itu membuatku berpikir akan segalanya, mengertilah."

     Kate merasa sesak, pancaran mata Sam yang biasanya hangat dan sanggup meluluhkan hati kini berkabut. Ia mengalihkan pandangan kebawah dan memijat pelipisnya.

     "Berapa lama, Sam?" desaknya resah dan menatap Sam dengan permohonan agar menjawab pertanyaannya.

     "Aku tidak tahu, Kate. Aku berharap aku tahu." Kesedihan Sam membuat Kate terpojok dan ia menyalahkan dirinya karena ia sama sekali tidak ingin membuat kekasihnya dirundung duka.

     "Aku akan menunggumu, Sam. Berapapun waktu yang kau butuhkan, aku disini untukmu." Sam menatapnya dan akan mengatakan sesuatu namun mengurungkannya.

     "Terima kasih, Kate."

 ======================================================

     Pertemuan terakhir itu masih bertengger dibenak Kate bahkan setelah dua minggu berlalu, selama itu pula kepulangan Sam ke kampung halamannya yang terpisah ribuan mill darinya.

     Ia amat sangat merindukan Sam.

     Sudah tak terhitung kali ia berusaha menghubungi ponsel Sam tapi selalu tidak aktif, ia sudah akan menghubungi jasa penerbangan untuk membawanya ke tempat Sam tapi ia menahan diri dan menghibur kesedihan untuk memaklumi kebutuhan Sam yang ingin menyendiri. Walau hatinya menjerit ingin mendampingi Sam melalui masa-masa kelam lelaki itu, tapi ia berusaha tabah dan meyakini diri akan kepulangan Sam ke sisinya.

     Dering telepon itu berbunyi tepat saat Kate akan melangkahkan kaki keluar apartementnya, jantungnya langsung berdebar kencang seakan memberitahu siapa penelpon itu.

     Kate bergegas menyambar gagang telepon. "Halo Sam." sapanya penuh kerinduan.

     Tak ada suara terdengar diseberang.

     "Kate,"

     Tubuh Kate lemas seketika dan ia bersandar dipunggung sofa, ia menutup matanya untuk meresapi suara yang amat dirindukannya itu.

     "Kapan kau pulang, Sam? Aku merindukanmu." Kate berusaha mengendalikan air mata haru yang mengancam meledak, ia belum boleh menangis dan membuat Sam khawatir.

     "Kate, ada yang harus kukatakan." terdengar Sam menarik napas dan menghembuskannya dengan berat. "Aku tidak akan kembali, Kate. Aku akan tinggal disini seterusnya, membangun hidupku yang baru disini."

     Kate tersentak, ia seakan baru saja dipaksa bangun dari mimpi indahnya. Mengatur napasnya agar tenang, ia mengosongkan pikiran untuk membuat rencana baru. "Beri aku waktu untuk menyelesaikan segala urusanku disini, Sam. Secepatnya aku akan datang, aku pasti bisa menyesuaikan diri dengan lingkunganmu walau aku belum pernah kesana. Apa keluargamu bisa menerimaku? Kamu pasti sudah cerita mengenai aku bukan?"

     "Kate, aku akan menikah besok." Pernyataan singkat itu membuat Kate mati rasa, tangannya gemetar dan cengkeramannya pada gagang telepon semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

     "Ba-bagaimana bisa secepat itu, Sam. Aku butuh persiapan, tidak mungkin aku bisa sampai disana hari ini dan....ini sangat mendesak. Beri aku waktu untuk...."

     "Kate, dengarkan aku." suara tegas Sam menghentikan segala celotehan panik Kate. "Aku akan menikahi teman masa kecilku, Molly. Dia tetanggaku dan teman masa kecilku sekaligus wanita yang setia mengurusi keluargaku, dia sangat perhatian dan peduli akan keadaanku.Dia wanita yang cocok untuk mendampingiku dan membangun kehidupan dan masa depanku disini, menjadi isteri peternak sepertiku."

     Tiap kata yang terdengar ditelinga Kate bagai sebilah pisau yang menusuk jantung Kate, otaknya berusaha mencerna namun hatinya menolak bekerja sama.

     "Ini tidak mungkin terjadi! Bagaimana denganku? Aku mencintaimu Sam. Bagaimana bisa kamu menikah dengannya? Kenapa Sam?!" kesedihan itu mulai menggerogoti hatinya dan serpihannya mengancam membekukan darahnya, rasa dingin menjalari setiap tulang dalam dirinya. Kate tetap bertahan untuk mendengarkan jawaban Sam walau itu akan menghancurkan dirinya.

     "Maafkan aku, Kate. Ini yang terbaik untuk kita. Kamu punya kehidupan dan masa depan yang cerah dikota, kamu sangat cantik dan mengagumkan yang akan membuat lelaki manapun bersedia mengorbankan apapun untuk mendapatkan dirimu. Aku hanya lelaki yang tidak pantas ada disisimu dan aku sama sekali tidak berhak memintamu menjalani kehidupan keras bersamaku disini."

     Mulut Kate terkunci, sulit baginya untuk mengucapkan apapun bahkan untuk bersuara sekalipun.

     "Kamu akan mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dariku, lelaki yang akan memenuhi segala kebutuhanmu dan bisa menjamin kenyamananmu. Selamat tinggal, Kate."

     Telepon terputus. Jantung Kate berhenti berdetak, ia terduduk lemas dilantai. Gagang telepon yang ada dalam genggamannya jatuh tanpa ia sadari. Matanya hampa menatap dinding putih didepannya, kesunyian mengukungnya.

     Detik berikutnya jeritan penuh luka membahana memecah suasana legam, tangisan menyayat hati memenuhi seluruh penjuru ruangan.

-------> to next chapter ^.^

Love You MoreWhere stories live. Discover now