"Waalaikumsalam, Fee. Maaf ya, Tante ganggu waktu belajar kamu. Tante mau tanya Fee, kamu sama Prilly gak? Tante telponin dari jam istirahatan kalian, kok gak diangkat-angkat ya?" Tepat sekali dugaan Feeya, Mama Ully pasti akan menanyakan Prilly.
"Hmm, sebelumnya Feeya minta maaf ya Tan, karena telat ngabarin Tante. Jadi gini Tan, tadi itu Prilly pingsan da--" Belum selesai Feeya berbicara, tetapi sudah dipotong oleh teriakan khas Mama Ully.
"APA!!!" Feeya sontak menjauhkan handphone dari telinganya sembari meringis merasakan telinganya yang rada berdenging. "Emang ya, emak ame anak sama aja, suaranya itu loh membahana," Batin Feeya.
Tentu saja Feeya hanya membatin, bila langsung menyatakannya pada Mama Ully mungkin bisa digorok Feeya.
"I--iya, Tan. Tadi Prilly dihukum karena telat. Juga Prilly pasti belum sarapan, sekarang Prilly lagi di UKS, lagi diperiksa sama dokter," Feeya menjelaskan kronologinya.
"Iya sih, Prilly emang gak sarapan, dia cuman bawa bekal aja. Ya udah, Tante kesana deh ya, kamu tungguin di gerbang ya, 'kan Tante sama Om gak tau seluk beluk sekolah kalian. Assalamualaikum," Mama Ully langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Bahkan Feeya belum sempat menjawab salam yang beliau berikan. Itu pasti karena Mama Ully tidak ingin menerima penolakan Feeya.
"Emang ya, emak ame anak sama-sama ngeselin. Anaknya pendiem, emaknya rempong nauzubillah," Feeya menggerutu sepanjang perjalanannya menuju parkiran sekolah.
"Ahh, alamat panas-panasan deh gue," pekiknya. Namun, segera ia menutup mulutnya saat menyadari dimana ia berada.
*****
"Dia bener, kita gak pernah nyelidikin apa alasan Prilly yang sebenernya," Itte berucap pelan.
"Tapi dia pacaran sama tu cowok, Tte. Pergi tanpa alasan. Dia itu nganggep kita sahabat gak sih?" Arief menyuarakan pendapatnya.
"Lo sendiri 'kan yang bilang kalo Prilly udah berubah. Dia egois, Tte," Ali berucap dengan dinginnya.
"Ali sama Arief bener, Tte, Mil. Kalian juga setuju kalo Prilly berubah," Kali ini Kevin menyambung percakapan mereka.
"Kalian gak ngerti, kita emang bilang kalo Prilly berubah, seharusnya kita cari penyebabnya kenapa dia berubah. Bener yang Feeya bilang gak seharusnya kita ninggalin Prilly sendirian. Sahabat macam apa kita?" Air mata Mila jatuh tepat ketika ia mengakhiri ucapannya.
"Kita gak salah," Ali berucap pelan namun penuh penekanan.
"Kita lupain siapa yang salah. Lebih baik, kita minta maaf dan memaafkan untuk semuanya," Itte berucap dengan bijak.
"Gue gak bisa. Kalo lo semua mau lakuin itu silahkan, gue gak ngelarang. Tapi guys, kalo dia bisa egois gue juga bisa. Dia harus ngerasain gimana rasanya jadi gue, dikhianatin sama sahabat sendiri," Ucap Ali langsung berlalu pergi menuju taman belakang sekolah, untuk menenangkan pikirannya yang kacau.
"Dikhianatin sahabat sekaligus orang yang gue cinta," Batin Ali melanjutkan.
Ali berlalu meninggalkan para sahabatnya yang berteriak memanggil-manggil namanya.
*****
Tanpa Ali, Mila, Itte, Kevin, dan arief sadari seseorang sedari tadi mendengarkan semua perdebatan mereka. Vania, dia tersenyum sinis.
"Oh, jadi gitu ceritanya. Jadi Ali gak mau minta maaf. Bagus deh," Vania tersenyum senang.
"Sok banget tu cewek, pendiem aja belagu. Liat aja, lo udah rebut perhatian Ali dan sahabatnya. Tapi gue gak akan biarin itu," Kemudian tersenyum jengkel.
"Dan Ali, lo udah nolak gue. Gue akan bales lo. Lewat Prilly tentunya," Dan terakhir tersenyum sinis, sangat sinis.
Setelahnya, ia menuju ke tempat dimana Ali berada.
*****
Di sinilah Ali sekarang, taman belakang sekolah yang menenangkan baginya. Memang jarang yang mendatangi taman ini, bahkan tak ada. Mungkin hanya Ali-lah yang sering datang ke tempat ini. Kebanyakan sisiwa menghabiskan waktu mereka untuk nongkrong di kantin, kelas, ataupun perpustakaan.
Ketenangan yang dirasakan Ali, terpecah karena suara seseorang.
"Lo mau Prilly ngerasain apa yang lo rasain kan? Gue tau gimana caranya," Ali menoleh, mendapati Vania sedang menatap kearahnya.
"Gak sopan banget sih lo? Nguping pembicaraan orang lain," Ali mengalihkan pandangannya ke arah bunga-bunga yang ditanam di taman itu.
"Lo mau tau apa saran gue?" Vania mengabaikan ucapan Ali.
"Udah deh, lo itu ganggu ketenangan gue, mending lo pergi sekarang," Ali mengusir Vania. Belum sempat Vania membalas usiran tersebut, Ali kembali berucap.
"Dan tolong, jangan ganggu hidup gue lagi,"
Seketika terbesit sebuah ide jahat di otak Vania.
"Gue gak bakal ganggu hidup lo lagi, tapi lo harus dengerin saran gue yang satu ini. Cukup dengerin aja, gue gak minta lo nurutinnya kok. Gimana?" Vania memberi tawaran.
"Saran apa sih, Van? Cepetan deh gue dengerin, tapi setelah ini jangan ganggu gue lagi," Ali menerima tawaran Vania. Baru saja Vania ingin berjalan mendekat ke arah Ali, namun intruksi Ali menghentikan langkahnya.
"Bicara di situ aja," Ali berucap tanpa menoleh sedikitpun, membuat Vania manyun di tempat.
"Iya iya. Saran gue sih, kalo lo mau bales dendam ke si Prilly itu, pake cara halus aja. Lo deketin, pas udah sayang lo patahin deh hatinya. Impaskan sama sakitnya elo?"
"Hmm, udah kan. Sekarang lo pergi dari sini dan jangan pernah ganggu gue lagi," Ali berucap dengan santainya. Hal itu membuat Vania kesal setengah mati.
"Yaudah, oke. Gue gak akan ganggu lo dan kacauin hidup lo lagi," Sesudahnya Vania langsung berlalu dari tempat itu.
"Tapi lo sendiri yang bakal kacauin hidup lo," Vania melanjutkan ucapannya di dalam batin.
*****
Sepeninggalan Vania, Ali masih saja merenungkan ucapan Vania tadi.
"…pake cara halus aja,"
"…lo deketin, pas udah sayang lo patahin deh hatinya,"
Tegakah dia melakukan itu? Apa ia tidak keterlaluan?
"Tapi yang Prilly lakuin jauh lebih jahat dari ini," Ali membatin.
Entahlah, kekecewaannya pada Prilly menutupi rasa sayangnya pada gadis mungil itu. Hingga hatinya memantapkan supaya ia melakukan sesuatu yang harus membuat Prilly merasakan rasa sakit yang dulu Ali dan para sahabatnya rasakan, yang tanpa sadar kelak akan menumbuhkan kesakitan yang lebih pada diri Ali sendiri.
*****
Gak ngefeel? Maaf deh namanya juga pemula.😳
Don't forget, vote and comment ya guys!😉
YOU ARE READING
Something Wrong
Fanfiction"Ketika cinta menuntunmu ke jalan yang menyakitkan" Ketika Tuhan mengkehendakinya. Kita bisa apa? *** Sebuah kisah tentang persahabatan, cinta, dan keegoisan. Sebuah cerita tentang persahabatan yang hancur karena cinta yang tidak terucap. Persahabat...
Chapter 3
Start from the beginning
