"Ya udah, Om masuk dulu dan kalian kayaknya harus selesein urusan kalian dulu," Om Hendra berlalu masuk ke ruang UKS yang diikuti oleh Bella.
*****
Koridor-koridor telah lama sepi dikarenakan bel masuk sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Artinya sudah sepuluh menit juga Om Hendra masuk untuk memeriksa Prilly di dalam sana.
Dan sudah duapuluh menit pula mereka berenam berdiam diri di depan pintu kayu bercat putih yang bertuliskan UKS itu, terhitung sejak petugas UKS yang mulai memeriksa Prilly. Namun, kali ini mereka menunggu Om Hendra yang tak kunjung keluar dari ruangan tersebut.
Mengapa mereka tidak masuk kelas? Entahlah, kekhawatiran mereka kepada Prilly jauh lebih besar daripada rasa takut mereka terhadap Bu Asti, si guru killer, yang bisa saja lewat dan menemukan mereka di luar kelas dan tidak mengikuti pelajaran. Toh mereka tidak akan dikeluarkan, paling hanya dihukum atau diceramahi. Bukan hanya sekedar meremehkan, tetapi memang SMA AKASIAN merupakan milik orangtua salah satu dari mereka, yaitu Ali. Namun, tentu saja hanya para guru yang mengetahui fakta mengejutkan ini, terkecuali Bu Asti. Karena hanya dengan ketampanannya saja Ali mampu memikat hati para siswi AKASIAN, apabila ditambah dengan fakta mengejutkan ini bisa saja satu sekolah gempar karenanya.
Bosan dengan keheningan yang ada. Itte pun membuka suara, bertanya dengan pelan tapi penuh aura intimidasi. Sebaliknya, yang ditanya tidak merasa terintimidasi, melainkan biasa saja.
"Lo itu sebenarnya kenapa sih? Selalu aja sewot sama kita. Kita salah apa sama lo?" Tentu saja pertanyaan itu ditujukan untuk Feeya.
"Gue, sewot? Gak tuh, lo-nya aja yang merasa. Kalo pun iya, seharusnya lo pada tau apa penyebabnya," Feeya menjawab dengan santainya, kelewat santai lebih tepatnya.
"Maks--" Ucapan Ali terpotong dengan terdengarnya suara melengking yang terdengar alay memanggil namanya.
"Aliii...ihh kamu kemana aja sih? Aku nungguin kamu tau," Vania bergelayut manja di tangan Ali. Sedangkan, Ali dan para sahabatnya serta Feeya hanya memutar matanya malas dengan pandangan jijik ke arah Vania.
"Mending lo pergi deh, Van. Kita semua lagi pengen bicarain sesuatu yang penting," Ali berucap dengan bete sembari berusaha melepaskan gelayutan Vania yang membuatnya geli dan risih.
"Loh aku kan pacar kamu, ya aku berhak tau dong semua yang menyangkut kamu," Vania memandang Ali dengan tatapan garangnya, dikira Ali takut kali.
"Gue tegasin ya sama lo. Satu, jangan panggil gue dengan panggilan lo itu. Dua, gue gak pernah nembak lo, jadi kita gak dan gak akan pernah pacaran. Tiga, stop ngaku-ngaku jadi pacar gue. Empat, sekarang lo pergi dari sini dan jauhin gue selama-lamanya, sebelum gue bersikap kasar sama lo," Ali berucap dengan penuh tekanan. Vania benar-benar telah mengusik hidupnya.
"Tapi--" Vania berucap dengan takutnya melihat tatapan tajam yang Ali berikan.
"PERGIII" Kali ini semuanya berteriak menyuruh Vania untuk pergi.
Sontak muka Vania memerah, antara marah dan malu. Ia langsung berlari, namun ia tidak pergi. Vania hanya bersembunyi dibalik tembok yang membatasi UKS dengan perpustakaan. Ia berniat untuk menguping pembicaraan mereka berenam.
"Emang apa sih yang mau mereka obrolin? Terus kenapa lagi tu anak kelas sebelah juga ikut ngobrol sama mereka," Batin Vania bertanya-tanya.
*****
"Maksud lo apa? Penyebab apa?" Percakapan mereka yang sempat terpotong dimulai kembali oleh Mila yang berucap dengan tenang tanpa emosi.
YOU ARE READING
Something Wrong
Fanfiction"Ketika cinta menuntunmu ke jalan yang menyakitkan" Ketika Tuhan mengkehendakinya. Kita bisa apa? *** Sebuah kisah tentang persahabatan, cinta, dan keegoisan. Sebuah cerita tentang persahabatan yang hancur karena cinta yang tidak terucap. Persahabat...
Chapter 3
Start from the beginning
