Chapter Seventeen

Mulai dari awal
                                    

"Terkutuk sialan," umpatku tanpa sempat otakku bisa memproses kata-kata dalam pikiranku.

Vern mendapati segala tindakkanku yang tiba-tiba berdiri mematung dengan tatapan kosong. Dia mengikuti arah pusat perhatianku, lalu wajahnya sama terpesonanya denganku. Tentu saja dia dapat mengenali manusia berkaki jenjang yang sekarang turun dari motornya, menyadari posisi kami berada.

"Tidak mungkin." Mata Vern ikut membelalak. "Apa ini dia? Apa dia menjemputmu?"

Vern memandangiku yang masih tak habis pikir atas apa yang sedang tersuguh di hadapanku. "Oh, yeah. Ini memang dia, dan dia menjemputmu! Kau benar-benar sialan beruntung sekali!"

Dia hampir membuatku terhuyung karena mengguncang bahuku terlalu kencang. Jantungku seakan sedang meluncur layaknya letupan kembang api yang memancar tak henti-hentinya. Thomas memandangku. Aku tak dapat membaca ekspresi wajahnya namun dia tersenyum dari arah sana. Menungguku.

"Hei, apa kau tidak berencana untuk mengenalkanku padanya?" Vern melemparkan tatapan tajam ke arahku, memulihkan kesadaran penuhku.

Aku melirik ke arahnya, sedikit ragu. "Sekarang juga?"

Vern bertolak pinggang dan menghela nafas kecewa. "Memangnya kau pikir kapan?"

Kuanggukan kepalaku, menyeringai. "Tentu. Ayo."

Vern dan aku menghampiri Thomas yang tersenyum pada kami-setelah melihat Vern yang juga ikut berjalan di sampingku. Ketika jarak kami sudah tak lebih lagi satu meter, aku memusatkan segala konsentrasiku dan berharap semoga apapun yang keluar dari mulutku tidak terkesan canggung.

"Hei, Tom," aku berusaha tersenyum senormal mungkin. "Bagaimana kau tau aku berada di sini?"

Dia terkekeh. "Kau pernah memberitahuku dan, yeah, sekarang abad ke-20, Jane, dan aku punya Google Maps."

"Uh, ini Vern, partner kerjaku. Dia bilang dia tak sabar ingin berkenalan denganmu."

"Benarkah?" Thomas menaikkan sebelah alisnya, menimbulkan kerut-kerut di sekitar dahinya. Tapi detik selanjutnya ekspresi awalnya kembali, bersikap ramah seperti biasanya. Dia beralih pada Vern dan mengulurkan tangannya. "Aku Thomas. Aku-"

Vern menjabat tangannya dengan cepat dan kuat. "Aku tau kau. Teman sekolahnya kan? Jane sering bercerita banyak tentangmu."

Inilah alasan mengapa aku sempat ragu untuk mengenalkan mereka satu sama lain. Aku telah berekspektasi hal seperti ini akan terjadi dan, benar saja. Sungguh mengecewakan. Terpujilah, karena Vern tidak menyebut Thomas pacarku seperti yang selalu ditanyakannya.

"Berhenti membicarakan hal-hal sampah tak berguna yang sebenarnya tidak terjadi." Aku menatap serius Vern, berusaha mengancamnya. Tapi Vern terlihat tidak mempedulikan itu, begitu percaya diri bahwa aku tidak akan berani mengacam agar menyita semua alat make up-nya hanya karena hal sepele yang telah dilakukannya.

"Jadi, kau akan mengantarnya pulang?"

Thomas mengangkat bahu. "Yeah, kuharap begitu."

Lagi-lagi Vern melakukan penyiksaan kecil pada tubuhku, meninju lenganku begitu semangat hingga rasanya sedikit menyakitkan. Dia berbisik di sampingku, namun volume suaranya telalu besar untuk dapat disebut sebagai sebuah bisikkan. "Ayo! Apalagi yang kau tunggu?!"

"Bagaimana denganmu? Kau bilang-"

"Aku bisa memaksa Jamie untuk menjemputku!" Vern melotot, aku tidak mengerti apakah dia perlu menatapku sehoror itu.

"Apa?!"

"Aku harus pergi sekarang. Jamie akan datang sebentar lagi." Vern beralih kembali pada Thomas. "Sampai jumpa, teman-teman. Da-dah!"

Vern melambaikan tangannya dan melangkah pergi tanpa arah meski tetap mencuri pandang pada kami, hingga sosoknya tak terlihat lagi dari sini.

Aku menoleh dan mendapati Thomas yang sekarang menyodorkan salah satu helmnya padaku. Dia tersenyum ke arahku, tanpa kata-kata perlu terucap dari bibirnya. Aku membalas senyumnya dan mengambil helm itu dari tangannya. Aku memakaikannya di kepalaku di saat Thomas juga melakukan hal yang sama. Setelah itu, aku melompat ke atas Mikaela. Kali ini, dengan lebih percaya diri.

Thomas menoleh ke balik punggungnya, mencoba menemukan wajahku dari jarak pandangnya. "Kau ingin aku membawamu pulang atau tempat yang lain?"

Aku meletakkan tanganku ke atas bahunya, menariknya agar memungkinkannya lebih mudah menghadapi wajahku. "Jangan bawa aku pulang."

"Jadi kemana kau ingin aku membawamu pergi?"

Tanpa banyak berpikir, aku menjawabnya. "Kemana saja."

Thomas menyipitkan matanya lalu mengalihkan pandangannya dariku. Dia berpikir sejenak. "Well, sebenarnya aku tak punya ide, tapi.."

Manik matanya yang gelap menemui milikku. "Terus berpegangan erat padaku, oke?"

Aku merapatkan peganganku pada pinggangnya, diiringi detak jantungku yang menghangat dan sebuah senyum yang tak mampu lagi kubendung terbentuk di bibirku. "Oke."

Terus berpegangan erat padaku.

Aku tak akan melepaskannya, Thomas. Tidak akan.

BloomedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang