Tiga

61.1K 6.4K 423
                                    

Semoga suka, ya.

**

Meeting dengan divisi marketing berjalan baik. Tadinya aku berharap tempat duduk di ruang meeting itu tidak berhadap-hadapan sehingga aku tidak perlu bertemu pandangan dengan Pak Andra, karena aku bisa menyembunyikan dirii di balik punggung Sandro, atau orang lain. Tapi kekhawatiranku sepertinya terlalu berlebihan. Pak Andra datar saja saat menyambut uluran tanganku bersalaman. Tidak ada tanda-tanda dia mengenaliku. Syukurlah. Aku terbebas dari situasi yang canggung dan memalukan.

"Dia nggak ngenalin gue." Senyumku melebar sambil berbisik pada Sandro yang duduk di sebelahku. "Gue suka hidup dan kerjaan gue. Hidup terasa indah kalo semua doa dan harapan kita terkabul."

Sandro mendengkus. "Siapa yang tadi depresi dan pengen bunuh diri, ya?"

Aku menyikut lengannya dan mengembalikan perhatian pada Pak Marco. Ini proyek besar yang baru. Bos Divisi Marketing sendiri yang turun tangan melobi. Dan sekarang ikut dalam pertemuan ini. Tapi mungkin juga karena Pak Andra orang baru, sehingga Pak Marco merasa perlu memberikan bimbingan.

"Nanti bisa diskusikan kembali dengan tim di divisi Pak Andra setelah bertemu dengan klien dan sepakat soal konsep yang mereka inginkan," ujar Pak Marco kepada Bos baru kami. "Tim-tim Pak Andra sangat bisa diandalkan. Tolong dikerjakan dengan baik karena mereka korporasi yang punya banyak usaha. Kalau hasil pekerjaan kita memuaskan, mereka mungkin akan menyerahkan iklan produk lain pada kita."

"Pak Marco jangan khawatir," jawab Pak Andra dengan suara serak yang mulai akrab di telingaku setelah mendengarnya bicara dari tadi. "Aku tidak akan mengecewakan kepercayaan yang diberikan padaku."

Pak Marco tertawa kecil. "Aku percaya, kok. Siapa yang berani meragukan kinerja Pak Andra?"

Aku melihat Pak Marco dan Pak Andra bergantian. Dari cara mereka bicara, sepertinya mereka sudah kenal lama. Bukan layaknya rekan kerja yang baru bertemu. Tapi hubungan mereka bukan urusanku. Aku hanya perlu bekerja dengan baik untuk memastikan rekeningku tetap terisi sehingga bisa membiayai semua hobi yang kulakukan.

Meeting selesai pada jam makan siang. Aku dan Sandro sepakat mencari makan di luar gedung kantor. Kami kebetulan sedang senggang. Semua proyek sudah kami serahkan pada bagian produksi sebelum Pak Freddy pindah. Sudah cukup lama aku dan Sandro mengerjakan iklan untuk televisi, setelah awalnya menangani iklan untuk radio dan media cetak.

"Tahan liftnya!" suara serak itu terdengar saat Sandro hendak menakan tombol lobi.

Pak Andra menyusul masuk. Aku buru-buru maju ke depan dan berdiri persis di depan pintu. Peduli amat dengan sopan santun. Laki-laki itu mungkin tidak mengenaliku, tapi rasa trauma karena kepergok sedang mengamati bokongnya masih membekas. Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi karena berdiri di belakangnya. Dia pasti tidak akan melupakan wajahku kali ini seandainya hal konyol seperti itu terjadi lagi. Aku stafnya, dan setiap hari kami bertemu muka.

Sandro yang ikut kuseret maju tampak berusaha keras menahan tawa. Dia jelas tahu maksudku dengan membiarkan Bos berdiri di dinding belakang. Kami hanya bertiga di dalam lift. Orang-orang yang mencari makan pasti sudah pergi sejak tadi.

"Lo beneran berniat melewatkan pemandangan indah itu?" Sandro berbisik persis di dekat telingaku. "Tumben. Lo sendiri yang bilang kalo ini yang terbaik yang pernah lo lihat dengan mata kepala sendiri, kan?"

Aku menyikut pinggang Sandro keras. "Iga lo mau gue patahkan dan gue jual jadi bahan barbeque?"

Sandro meringis mengusap pinggang. "Sadis lo, Sit. Itu pengaruh udah lama nggak ML. One night stand sambil nunggu punya kekasih beneran solusi tepat untuk meredakan gejolak hormon lo. Kalo lo mau, kita bisa quickie setelah makan siang. Jangan khawatir, hotel gue yang bayar, kok. Kurang baik apa coba gue, sama-sama enak, tapi gue yang harus ngeluarin duit."

Dirt On My Boots (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang