CHAPTER 1

469 35 5
                                    

ANDRI dengan kesal membunyikan klaksonnya, tapi mobil di depannya tetap saja diam. Ia sudah bisa melihat gardu pembayaran tol di depan, namun entah kenapa antreannya masih tak bergerak.

Ini salah satu alasan kenapa ia benci menggunakan tol. Antreannya amat panjang, terutama saat jam-jam sibuk seperti ini. Trayeknya ke bekasi biasanya tak menggunakan tol, namun apa boleh buat. Kali ini angkotnya dicarter sekumpulan anak muda dari Jakarta dan mereka ingin tiba di Bekasi secepat mungkin.

Terdengar suara keluhan para penumpang di belakangnya.

"Aduh panas." keluh Septien. "Elu sih Nick, pake nyewa angkot segala. Kenapa kita nggak naek grab aja?"

"Jam segini susah banget nyari grab tauk!" balas Hanick yang sedang kipas-kipas di sampingnya. "Masih untung kita dapet angkot. Duh kenapa sih angkotnya nggak gerak-gerak?"

"Iya gerah nih!" keluh Maul, teman mereka. Nama lengkapnya Rizky Maulana, namun semua biasa memanggilnya Maul. "Enak banget si Syefira, bisa liburan ke Yogya. Pasti dia lagi liat Borobudur sekarang."

"Kesel! Kalo gue nggak ada acara kopdar hari ini, gue pasti ngikut ama dia." kata Savira.

"Kalian berempat dari mana emang?" tanya Andri, sang sopir angkot, sambil melongok ke kaca spion di depannya.

"Ada acara kopdar Bang di Monas tadi. Pulangnya kereta mogok. Jadinya kita mending naek angkot deh ke Bekasi."

Lho kereta nggak jalan?" tanya Andri heran, "Sepertinya semua jalan keluar Jakarta diblokir ..."

***

"Kenapa sih antreannya nggak maju-maju?" dengan kesal Indra membunyikan klaksonnya.

"Sudah Pah, sabar!" ujar Sharon, istrinya. "Kenapa kita nggak pake lajur yang pake kartu aja? Kan lebih cepet."

"Ini kita pake lajur yang non-tunai, Mamah!" keluh Indra.

"Lho kok aneh?" ujar Sharon heran, "Biasanya antrenya nggak separah ini? Apa mungkin gerbang tolnya ditutup ya?"

"Mah, Pah, kok kita belum nyampe-nyampe sih?" tanya Felicia, anak mereka yang duduk di bangku belakang, "Kulit Monica mulai merah-merah lagi nih!"

"Apa? Alerginya Monica kumat lagi ya?" dengan gelisah Sharon menoleh ke belakang. Benar rupanya, kulit anak bungsunya tampak memerah. Monica sendiri terdengar mengerang perlahan dan terlihat kesakitan.

"Astaga, kita harus segera membawanya ke rumah sakit!" seru Sharon.

"Ah sial! Kita nggak mungkin mutar balik!" kata Indra sambil melirik spionnya.

***

"Kenapa ambulannya nggak bergerak?" jerit Ranna, seorang perawat dengan cemas. Ia bersama rekan paramedisnya masih memegangi pasiennya yang terus meronta. "Pasien ini harus segera dibawa ke rumah sakit!"

"Percuma, antrean di depan kita sama sekali tidak bergerak." jawab sang sopir.

"Mengapa mereka tidak mau membukakan pintu tol untuk kita? Apa mereka tak mendengar suara sirine kita?" seru Ranna.

Tiba-tiba pasien itu berteriak begitu kuat hingga mulutnya berbusa. Ia menendang-nendang paramedis yang berusaha menenangkannya hingga pemuda itu terjungkal ke arah pintu ambulans.

Gadis itu hanya bisa menatapnya dengan ngeri, apalagi mata pasien itu kini berubah menjadi merah. Tak hanya itu, ia menggeliat begitu kuat hingga memutuskan tali pengikat yang mengikat tubuhnya ke atas ranjang.

Ranna hanya bisa menjerit ketika pasien itu tiba-tiba mengamuk dan menerkam paramedis yang semobil dengannya. Pemuda itu berteriak. Ranna kembali menjerit menyaksikan pasien itu mencabik leher pemuda itu hingga darahnya terciprat ke penjuru ambulans.

"Ada apa di belakang sana?" teriak sang sopir.

Pasien itu mendobrak pintu dan berlari keluar. Sementara itu Ranna mengatasi ketakutannya dan berusaha menghentikan pendarahan di leher rekan paramedisnya.

"Tidak! Jangan keluar mobil!" teriaknya ketika melihat beberapa pengemudi keluar mobil untuk mencari tahu apa penyebab kemacetan itu. "Cepat masuk kembali!!!"

Namun terlambat. Pasien yang tengah mengamuk itu mulai menerkam dan mengigiti orang-orang yang berada di luar mobil.

"Aaaaaargh! Aaaaaaaargh!!!" terdengar suara raungan dari paramedis yang tadi diserangnya.

"A ... apa kau tidak apa-apa?" tanya Ranna cemas.

Tiba-tiba pemuda itu berusaha menyerang Ranna. Kondisinya sama seperti pasien itu tadi, mata merah dengan mulut berbusa. Ranna segera melindungi dirinya dengan melemparkan peralatan medis ke arahnya dan segera keluar dari mobil.

Ranna berusaha menutup pintu ambulans. Terdengar pemuda itu menggebrak-gebrak pintu ambulans dari dalam.

"Ada apa ini? Kenapa kau mengurungnya?" sang sopir ambulans keluar dan mendapati Ranna sedang berada di luar mobil.

"Ti ... tidak!" jerit Ranna ketika melihat sopir itu berusaha membuka pintu ambulans, "Jangan dibuka!!!"

Namun terlambat. Ia keburu membukanya dan serta merta, pemuda yang tadi terkunci di dalam segera menerkamnya.

Ranna yang ketakutan segera berlari menjauh. Namun sejauh mata memandang, kekacauan yang sama tengah terjadi.

Orang-orang mulai mengamuk, saling menyerang satu sama lain, bahkan menyerang keluarganya sendiri.

"Ada apa ini sebenarnya?" pikir Ranna.

***

"AAAAAA!!!" jerit Sharon ketika orang-orang di luar berusaha memecahkan kaca jendela mobil mereka.

"Kenapa ini? Mengapa mereka mengamuk seperti ini?" seru Indra dengan panik.

"Papah, cepat pergi dari sini!" teriak Felicia.

Indra segera menginjak pedal gas dengan kencang hingga melindas pria yang tengah mengamuk di depannya.

Sharon menjerit, "Kau membunuhnya!!!"

Indra menghentikan mobilnya dan berusaha melongok ke arah depan. Namun tiba-tiba saja pria yang dilindasnya bangkit kembali dengan wajah berlumuran darah.

"Mus ... mustahil ..." Indra mengernyit ngeri ketika melihat tengkorak pria itu retak dan terbelah, bahkan memperlihatkan otaknya, "Harusnya ia sudah meninggal!"

Indra kembali berusaha menginjak pedal gas, namun percuma. Mobilnya tak mau bergerak.

"Sial! Semuanya cepat keluar dari mobil!" perintah Indra.

Sharon segera menggandeng Felicia pergi, sementara Indra menggendong Monica yang tengah sakit. Mereka berusaha berlari di tengah kekacauan itu, namun tiba-tiba terdengar jeritan Sharon. Indra menoleh dan dengan ngeri menyaksikan seorang wanita dengan brutal menggigit pundak Sharon.

"Pergi kau!" Indra menendang perempuan itu, "Apa kau baik-baik saja, Sharon?"

Namun wajah Sharon terus menunduk. Sambil menangis Felicia menggoncang-goncangkan bahu ibunya.

"Mama ... Mama ..."

Namun tiba-tiba Sharon mendongak dengan mata berwarna merah dan langsung menyerang anaknya sendiri.

"Felicia! Tidaaaak!!!!" tubuh Indra serasa terpaku dengan rasa ngeri. Ia tak bisa mempercayai istrinya menyerang anaknya sendiri dengan amat brutal.

Matanya membelalak makin lebar ketika mata Felicia perlahan berubah menjadi merah, sama seperti ibunya ... sama seperti orang-orang yang mengamuk itu ...

Monica menarik lengan baju ayahnya. Indra segera sadar bahwa ia masih memiliki satu lagi putri yang harus dilindunginya. Iapun segera melarikan diri, meninggalkan istri dan anaknya yang ia yakini telah menjadi monster.

BERSAMBUNG

ANGKOT KE BEKASIWhere stories live. Discover now