"Ha! Dia mengajak main petak umpet. Ayo, Noa."

Entah sengaja atau tidak, seperti itulah kelihatannya. Cheshire Cat muncul dan menghilang, sepertinya dekat tapi kemudian menjauh lagi. Seolah menantang mereka untuk menangkapnya. Awalnya mereka masih menyusuri lapangan Agora, tapi menit berikutnya, Noaki sadar mereka sudah keluar dari kompleks Messe. Mereka bahkan sudah menyeberang jalan mengikuti kucing itu.

"Jangan khawatir," kata Keo. "Messe masih kelihatan kok."

Cheshire Cat berjalan cepat. Keo lagi-lagi mencoba memanggilnya, tapi cosplayer itu terus berjalan. Di pertigaan, tiba-tiba ia membelok. Dan menghilang lagi.

Noaki berhenti berlari, terengah-engah. Jalan di depan mereka sepi. Deretan toko di kanan kiri jalan, rel tram di tengah.

Keo menunjuk tram yang baru lewat. "Dia sudah naik kayaknya. Kita bisa naik yang berikutnya, lihat-lihat setiap perhentian, turun kalau ada tanda-tanda Cheshire..."

Noaki menggeleng. "Sudahlah. Kembali saja, yuk. Nanti kita dicari-cari."

Keo menengok jam di ponselnya. "Tidak. Kak Ary masih ada sesi sampai sore. Lagian kan tadi dia bilang, kita boleh menunggu di Messe atau pulang sendiri ke hotel. Kita bisa gunakan waktu untuk jalan-jalan."

"Tapi mengejar Cheshire yang enggak jelas gitu—" Noaki ragu.

Keo memperlihatkan galeri foto di ponsel. "Lihat, foto Cheshire semuanya dari jauh. Padahal dari semua karakter yang kufoto, enggak ada yang bikin kamu bersemangat kayak tadi. Aku harus mendapatkan Cheshire buat kamu."

"Ah, bukan masalah kok, Keo...."

"Tapi jadi masalah buatku. Aku pengin ada foto kamu sama Cheshire." Keo membandel. Nada suaranya sudah seperti Hana yang minta es krim padahal sedang pilek.

Noaki menyembunyikan senyum. Ia sudah tidak berminat mengejar Cheshire sebetulnya. Tapi lebih tidak berminat lagi mengecewakan Keo. Ia tahu, Keo begitu karena tidak ingin mengecewakannya. Aah.

"Baik. Tapi jangan jauh-jauh. Lima halte ya? Kalau enggak ketemu, kita balik lagi ke Messe." Mata lancip Keo berbinar. Seperti ada pegas di kakinya, ia melompat-lompat gembira, menyeberang jalan. Saat tram datang, dengan gaya gentleman, dipersilakannya Noaki naik lebih dulu. Noaki mendecak. Keo seperti cosplayer tanpa kostum.

Dari jendela tram yang melaju, mereka mengamati sepanjang jalan, terutama di sekitar halte saat tram berhenti sebentar. Tidak ada jejak Cheshire di empat perhentian. Yah, apa yang kamu harapkan? Cheshire bertengger di atas pohon dengan seringai nakalnya?

Pada perhentian kelima, mereka turun dan menyeberangi rel untuk naik tram yang berlawanan arah. Menunggu tram, Noaki berdiri bersedekap. Angin dingin bertiup mengacaukan rambutnya. Menyesal ia meninggalkan topi rajutnya di hotel. Untungnya, ada penutup telinga yang ia peroleh dari sebuah stand di pameran buku sebagai hadiah. Kalau tidak, jangan-jangan telinga lancipnya akan mengerut. Bagaimana kalau jadi bulat kayak telinga tikus? Ia melirik Keo. Rambut dan telinga anak itu rapat tertutup beanie. Pasti hangat.

Keo menoleh tiba-tiba, mengangkat alis. "Masih kedinginan, ya? Mau pakai jaketku? Atau beanie? Syal?"

"Tidak, tidak." Noaki tersenyum. Dan mendadak sadar Keo tidak memakai sarung tangan. Pasti dilepas agar jemarinya bebas mengoperasikan ponsel. "Sarung tanganmu ke mana?"

"Ada di saku." Keo merogoh kantong-kantong jaket dan celana. Sesaat kemudian cengirannya menghilang. "Kok enggak ada? Mungkin jatuh entah di mana."

Seperti diingatkan akan pengaruh cuaca dingin pada tangan telanjang, Keo mendadak gelisah. Setelah menyelipkan ponsel di saku, ia sibuk menggosok-gosok tangan. Memasukkannya ke saku. Tidak nyaman, dikeluarkan lagi untuk dikepal-kepalkan. "Rasanya seperti menggenggam es batu."

Keo&Noaki di Frankfurt: Oh, Cheshire! (Complete)Where stories live. Discover now