Prolog

437 40 10
                                    

  Aku tersenyum hangat melihat beberapa foto yang tiba-tiba tergeletak dari dalam laci lemariku. Beberapa lembar foto yang pernah aku potret secara diam-diam dari pinggir lapangan sekolah, dari lantai dua kelasku, dari perpustakaan, dan dari tempat rahasia lainnya. Aku meraih lembar foto pertama. Pria itu sedang tertawa dengan mata sipitnya, setiap kedua sudut bibirnya yang mengembang mampu menghangatkan hatiku berkali-kali, dulu. Ia tampak sedang menertawakan sesuatu dengan temannya, senyuman khasnya yang masih sangat lekat dalam ingatanku. Lalu, aku meraih lagi foto kedua. Pria itu sedang menendang bola di tengah lapangan saat gerimis, ia terlihat tak terganggu dengan rintik air yang mulai membasahi seragamnya, wajahnya benar-benar menunjukkan ia senang dengan kegiatan yang sedang ia lakukan. Aku meraih foto ketiga yang sedikit terhimpit oleh foto-foto lainnya. Aku merasa asing dengan foto ini, aku bahkan tak pernah ingat pernah memotretnya. Lalu mataku menyipit ketika melihat foto itu. Foto ketiga ini memotret ia sedang menggandeng teman wanitanya yang sedang tertawa, sedangkan ia hanya tersenyum simpul. Aku benar-benar terkejut bahwa mata pria itu melihat ke arah kamera sembari tersenyum. Apakah dulu ia menyadarinya ketika aku memotret? Apa aku begitu ceroboh saat berusaha memotretnya? Hingga tak menyadari ia melihat ke arah kamera. Aku memutar otakku, mencoba mengingat dengan keras kapan aku mengambil foto itu. Aku masih bisa mengingat waktu saat aku mengabadikan foto-foto yang lainnya, tapi foto yang satu itu terasa asing. Aku merasa tak pernah memotretnya dengan kamera milikku.

"Ata, Fasa udah nunggu kamu dari tadi."

Aku menoleh kepada Ibu yang baru saja memanggilku, lalu menyimpan kembali foto-foto tersebut. Mencoba melupakan apa yang baru saja ku fikirkan, meski hal itu begitu mengusik fikranku dan menimbulkan rasa penasaran yang sangat membuatku frustasi.

Waktu mungkin sudah berlalu dengan lama, tapi dengan melihat foto-foto itu membawa kenangan tersendiri lagi bagiku, perasaan seperti itu muncul lagi. Membawa lagi mimpi-mimpi dan harapan yang belum tersalurkan sampai saat ini. Hanya dengan melihat fotonya, aku hampir lupa bahwa aku bukan lagi wanita enam tahun yang lalu. Aku melupakan kenyataan bahwa aku sudah bersama Fasa sekarang.

"Sayang, kita jadi pergi?"

Aku menatap Fasa yang sedang berdiri di pintu kamarku, melihatnya dengan perasaan bersalah.

"Ada apa, Ta?" Melihat gelagatku yang tidak seperti biasanya, Fasa menghampiriku.

"Aku.. kembali teringat-"

"Mika?" Tanyanya tepat sasaran. Meskipun Fasa mengatakannya dengan seulas senyuman, aku tahu apa yang ia rasakan saat ini. Pandangan terlukanya tak bisa ditutupi.

Mika.

Satu kata yang dulu berarti segalanya untukku. Enam tahun yang lalu, aku adalah remaja SMA yang dibutakan oleh cinta.

Bolehkah aku becerita sedikit tentang apa yang terjadi enam tahun lalu? Oh bukan. Ini akan menjadi cerita yang sangat panjang sepertinya. Baiklah, di bagian ini aku akan memberitahu sedikit tentang Mika.

Azryal Mikata. Dulu, saat aku membicarakan ia dengan teman-temanku, kupanggil ia dengan sebutan Mika. Begitu pula saat temannya memanggilnya. Mika adalah kaka kelasku satu tingkat pada saat itu. Dia bukan lah pria paling tampan di sekolahku enam tahun yang lalu, salah satu dari itu pun tidak. Aku bukan sedang mengikuti kisah di novel remaja saat ini, tapi aku tak bisa berbohong bahwa enam tahun yang lalu ia menjabat sebagai ketua osis. Dan itu sebuah kenyataan yang tak ingin aku lewatkan dalam tulisanku.

Jujur , ia bukanlah ketua osis yang sering di bicarakan di dalam novel. Bagiku dia adalah dia. Dengan candaannya yang selalu aku dengar dari tempat persembunyianku, dan selalu membuatku ikut tertawa. Dari rasa tanggung jawabnya yang selalu membuatku berkali-kali lebih menyukainya. Dan untuk sedikit informasi, dia bukan tipe orang yang akan menjaga ucapannya ketika menjabat sebagai orang penting. Enam tahun yang lalu, saat dia menjabat sebagai ketua osis, bicara nya terkadang ku dengar sedikit kasar ketika sedang mengobrol ringan. Tapi aku tak melihat sedikitpun rasa risih dari temannya ketika sedang berbincang dengan dia. Lalu-

  "Sayang?" Ah aku terlalu asik menyeritakan seseorang di masa laluku kepada kalian. Aku lupa bahwa ada orang yang tersakiti ini sedang menungguku. Sepertinya aku harus bercerita di lain waktu. Aku pastikan kita bisa bertemu di lain bagian.

  "Ayo," Aku menggenggam tangan Fasa lebih dulu saat ini untuk pergi. Tak akan kubiarkan dia sedih lagi.

--------------------
Hai, maaf kita malah ketemu di sini. Bukan di lapak Rain😊. Ini cuman baru prolog dan aku bakal nerusin ini setelah Rain tamat. Jadi aku ga akan menomor duakan Rain. Vomment yaaa:)
Sedikit banyak cerita ini emang aku
 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You, and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang