Fitri lalu menambahkan keterangan bahwa orang perfeksionis itu berselera tinggi. David baru setuju soal itu. Mayoritas barang-barang miliknya adalah barang orisinil dan berkualitas nomor satu. Pilihan-pilihannya juga begitu, termasuk  Nadia, cewek high definition yang sejak semester satu jadi incarannya, juga incaran hampir seluruh laki-laki normal di seantero kampus.

Kenyarissempurnaan Nadia lah yang mengembangkempiskan hati David. David punya timbangan sendiri untuk mengukur kualitas tiap cewek yang ditemuinya. Ia punya system rating. Nah, Nadia ini punya skor empat koma enam lima, dari lima, di timbangan David, kebanyakan ia lihat dari body, face, dan style. Fitri terbahak waktu David keceplosan bicara soal system rating miliknya.

“Kalau skorku berapa?” tanya Fitri.

Pipi David bersemu merah, “Hmm, nggak tahu. Belum diupdate sih. Hehe…”

Itulah David dengan dunianya. Dia raja dalam kerajaannya. Dia berkuasa menilai orang-orang dengan batas yang dibuatnya sendiri, satuan dan besarannya sendiri.

Sesuatu bergejolak di hati David, membuatnya agak malas memutar koleksinya siang itu. Padahal hanya ada dirinya di rumah dalam beberapa hari ke depan. Dia sedang libur semester, jadi maklumlah ada banyak waktu kosong yang entah mau diapakan. Dia tutup laptop lalu menarik sebuah buku gambar A3 dari bawah tempat tidur.

Itu gambar seorang wanita. Digambar David sendiri, dengan busana yang cukup sopan. Ternyata ada juga sebuah bakat positif dalam dirinya: menggambar.

“Nggak terlalu mirip sama Nadia, Vid,” komentar Fitri sewaktu dia menunjukkan gambar itu.

David gemar sekali menggambar Nadia. Macam-macam bahasa tubuh cewek seksi itu bisa ditemukan di dalam buku gambar David. Sudah banyak Nadia-Nadia di sana.

David memandangi berbagai macam gambar gadis pujaannya itu. Memainkan imajinasinya yang terlatih untuk menghidupkan goresan pensil menjadi wujud padat. Yang muncul bukan Nadia, tapi Fitri. Memang akhir-akhir ini gadis itu berkelebat dalam pikirannya. Fitri yang bersedia menjadi tempat curhatnya. Mereka berdua ditemukan oleh sebuah gambar Nadia David yang ketinggalan di kampus.

“Gambar yang cantik,” puji Fitri waktu itu. “Aku Fitri, salam kenal. Ajari aku mengggambar seperti ini ya?”

Pipi David sering bersemu jika ingat pujian Fitri. Belum pernah ada yang mengapresiasi hasil karya David sebaik Fitri. Paling-paling, “Kurang naik, Vid, roknya,” seloroh teman-temannya yang lain. Memang orang-orang dengan hobi yang sama bisa saling lebih menghargai.

Fitri yang tidak sesempurna Nadia. Fitri yang sama sekali bukan tipe gadis impiannya, dari segi fisik, wajah, dan anatomi tubuh. Fitri yang mau mengerti perbedaan. Fitri yang…

David mengacak-acak rambutnya. Kenapa Fitri? Dia tidak tahu. Yang dia tahu setelah ada beban hati yang dibagi dengan gadis itu, keinginannya untuk jadi manusia bermoral seperti rumput di pinggir trotoar yang diberi pupuk urea.

David tidak tahu, apakah Fitri tahu tentang wujudnya yang sebenarnya. Dia cerita apa saja pada gadis itu. Fitri bahkan tahu kalau David seorang yang sulit bergaul. Bagaimana ia sering bersepeda menyendiri tanpa punya tujuan dan teman bicara. Tentang sifat-sifat buruknya yang suka mengkritik dan merating orang lain. Tapi dia tidak pernah mampu cerita tentang hobi nonton film minim dialog. Ia takut Fitri akan membencinya dan menggelarinya cabul. David tak ingin kehilangan seorang sahabat hanya karena masalah itu.

Maka tiap kali kebiasaan buruk itu muncul, muncul juga rasa bersalah karena mengingat Fitri. Segera ia matikan laptop lalu mengurung diri di balik selimut. Bertahan sekuat-kuatnya dari godaan kenikmatan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 30, 2013 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Lukisan UlarWhere stories live. Discover now