Peristiwa pahit yang merenggut nyawa adiknya m terbayang di kelopak matanya. Bulir air mata mengalir dari kelopak matanya menyiratkan penyesalan dan kesedihan yang mendalam. Lukanya masih basah dan perih mengguris hatinya, meski itu sudah lewat puluhan tahun lamanya, hampir tiga dekade usia manusia. Berkatnya, Albus kini sadar ia bukanlah orang yang bisa dipercaya untuk tugas mulai mengakhiri kekuasaan Voldemort. Ia tidak setulus Harry yang tak mengharapkan apapun dari kebaikannya. Ada bagian dari dirinya yang ingin terkenal dan haus akan perhatian orang-orang. Dan, ia takut karakter tersembunyinya ini akan muncul ke
permukaan lalu memakan korban tak bersalah lainnya, seperti adiknya tersayang.

"Aku harus melihat buku besar murid. Sebentar lagi, ajaran baru akan dimulai. Dan, Minerva harus mulai menulis surat untuk murid- murid dan calon murid Hogwarts," putusnya akhirnya menyudahi acara berfikirnya.

Albus merapalkan mantra memanggil buku besar murid yang tersimpan di dalam lemari. Sebuah buku berwarna kuning lapuk dan sudah kuno —warisan dari para pendiri Hogwarts— muncul dari udara. Dengan perlahan, ia membuka daftar calon murid untuk
tahun pertama, tahun kedua, dan seterusnya. Semua alamat anak-
anak itu ia catat dalam perkamen untuk kemudian ditindak lanjuti
oleh wakilnya, Minerva. Tangan Albus terhenti pada daftar murid tahun ke tujuh. Hatinya
berdenyut nyeri. Ia tak sanggup melihat tinta pada salah satu nama
muridnya di tahun ini memudar, pertanda jika ia sudah mati. Rasanya menyakitkan melihat murid asuhan kita mati di usia muda, terlebih jika ia mati dengan cara yang tragis seperti Harry. Ia hampir menutup buku itu dan menyuruh Minerva untuk meneruskan sisa pekerjaannya, ketika irisnya menangkap sesuatu yang ganjil.

"Oh, Merlin. Ini tidak mungkin," pekiknya terkejut. Ia melihat tinta yang tertulis atas nama Harry Potter masih berpendar dengan kilau keemasan yang mengagumkan. "Ini keajaiban," pujinya takjub. Harry memang luar biasa. Bintang keberuntungannya pastilah bersinar sangat terang hingga ia selamat dari maut mungkin untuk ke tujuh kalinya.

Dengan tergesa-gesa, ia membaca nama Harry Potter berikut alamatnya. Ia tak sabar untuk menemui Lucky Boy itu dan memeluknya erat. Hatinya membuncah oleh perasaan rindu yang
amat besar. Sayangnya, alamat tempat tinggal Harry tidak terbaca.

'Mungkin, Harry dilindungi oleh kekuatan sihir yang hebat, karena itu buku ini gagal melacak keberadaannya.' Pikirnya. Dengan terpaksa, ia pun menunda keinginannya itu.

"Setidaknya, kini aku tahu jika Harry masih hidup. Aku harus memberi tahu Sirius dan Remus. Mereka berhak mengetahui kabar gembira ini," kata Albus senang. Ia beranjak dari kursinya dan bersiap-siap mengunjungi kediaman Black. "Ah, mungkin Severus juga. Kasihan anak malang itu," tambahnya sebelum menjumput segenggam bubuk flo, melemparkannya ke perapian dan lalu menyebutkan tempat tujuannya. Ia tidak minta ijin terlebih dahulu,
karena pasti Black tidak akan mengijinkan kunjungannya.

.....*****.....

Di belahan bumi yang lain, di waktu yang sama, tampak Hermione
berdiri dengan mata melotot pada sosok yang tengah berdiri di
depan pintu masuknya.

"Apa kau akan terus-menerus menatapku sampai tahun depan atau akan menyuruhku masuk ke dalam rumahmu?" tanya Draco dengan ekspresi mencela yang tidak ditutup-tutupi.

Pipi Hermione memerah, merona malu. Tidak biasanya ia seperti ini, tapi sungguh kehadiran Draco yang tak biasa membuatnya terpaku di tempat dan lupa akan sopan santun yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Ia memberi senyum canggung pada
Draco.

"Oh, well maafkan aku," kata Hermione meminta maaf.

Rasanya agak aneh di lidah, mengingat ia jarang minta maaf pada murid- murid Slytherin, jika mereka tak sengaja bersenggolan di koridor. Terlebih lagi pada Draco, yang selama ini seringkali mengejeknya dan memanggilnya dengan julukan yang buruk. Nyaris tidak pernah.

MATE SERAPHIM (END)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora