Chapter 25

6.5K 610 37
                                    

Di ruangannya, Albus Dambledore duduk termenung seorang diri. Ia tengah sibuk berfikir, mengingat-ingat sesuatu, khususnya yang berhubungan dengan Voldemort dan Harry Potter. Jemari tangannya yang sudah keriputan mengetuk-ngetuk meja kerjanya yang terbuat dari kayu oak berirama, seolah itu bisa memberinya pencerahan.

"Kenapa jadi begini? Apa yang salah?" katanya pada dirinya sendiri. Segala sesuatu yang terjadi belakangan ini tidak sesuai dengan prediksinya. Ia pikir, dengan tinggal bersama keluarga Dursley sihir perlindungan Lily akan semakin kuat, dan itu berarti Harry aman. Seharusnya. Sayangnya, tebakannya salah. Dia masih bisa menjangkau Harry bahkaan menyentuhnya secara fisik, walaupun sihir Lily masih melekat pada diri Harry.

"Ini mustahil. Dengan adanya sihir Lily, tidak mungkin Tom bisa menyentuh Harry apalagi membunuhnya, sebelum ia genap berusia 17 tahun." Katanya menyuarakan isi pikirannya. Matanya menatap resah dinding suram pada ruangannya. "Kecuali..." ketukan di mejanya berhenti, "Kecuali, ia memiliki obsesi baru pada Harry," lanjutnya dengan ekpresi ngeri.

Ia tidak buat. Ia bisa melihat bagaimana Harry terlihat jauh lebih mempesona semenjak ia menginjak usia ke-14. Dan, feromonnya menguat saat Harry berusia 15 tahun. Tidak menutu kemungkinan jika si tua bangka Voldi menyukai Harry dalam artian seksual. Bagaiman pun Voldie tetaplah seorang pria yang pasti memiliki kebutuhan seksual.

Namun, Albus tidak suka dengan kemungkinan ini. Baru membayangkannya saja perutnya sudah bergolak tidak nyaman, apalagi jika melihatnya secara langsung? Tidak-tidak. Albus tak sanggup memikirkannya lebih jauh. Terlalu mengerikan dan berbahaya untuk kesejahteraan otaknya.

"Atau jangan-jangan Harry sudah tidak menganggap Privet Drive bukan lagi rumahnya?" ujarnya mengutarakan option kedua. Ia manggut-manggut, puas. Option kedua jauh lebih masuk akal, ditinjau dari sudut manapun dan juga aman untuk kewarasan otaknya.

Pertanyaannya, benarkah Harry sudah mati?

Tingkat kepercayaan Albus akan berita ini hanya 98%. Dengan luka separah itu, nyaris mustahil Harry bertahan hidup. Tapi, sisa 2% nya lagi, ia percaya Harry masih hidup. Anggap saja ia percaya pada keberuntungan Harry yang luar biasa. Harry sering terlibat dalam berbagai bahaya yang menurut logika kemungkinan selamatnya 0% tapi nyatanya ia selalu selamat. Jadi, kali ini ia pun percaya Harry berhasil selamat dan masih hidup di suatu tempat.

Mungkin, tingkat kepercayaannya akan bertambah seandainya ia memiliki batu kebangkitan. Dengan batu kebangkitan, ia bisa memanggil roh Harry kembali. Jika ia datang dalam wujud roh, berarti Harry memang sudah mati. Tapi jika tidak, berarti Harry masih hidup. Sayang seribu ali sayang, batu itu tidak ada di tangannya. Jadi, ia tak bisa membuktikan hipotesisnya.

Itu pun jika benda itu benar-benar ada, mengingat tidak ada satupun penyihir -dalam catatan sejarah- yang melihat benda itu. Batu kebangkitan dikenal para penyihir melalui dongeng anak-anak yang diwariskan dari generasi ke generasi lainnya secara turun-temurun. Tak heran jika para penyihir menyebut batu kebangkian tak lebih dari sebuah benda mitos.

Albus menghembuskan nafas lelah. Dengan kematian Harry, ia harus menyusun rencananya dari awal, jika ia ingin mengakhiri kejahatan Voldemort. Kali ini untuk selamanya. "Mr. Longbottom junior. Mungkin, ia bisa jadi pengganti Harry," katanya ragu, mengingat muridnya ini terkenal akan kesembronoannya, dan kekurangannya dalam mengingat sesuatu. Rasanya sulit mempercayakan tanggung jawab sebesar itu pada pemuda tanggung itu.

Albus menutup kelopak matanya rapat-rapat. Tangannya terkepal erat, menalurkan sebagian kemarahannya pada jemari tangannya. Seandainya ia bisa memilih, ia ingin mengambil tanggung jawab ini. Bagaimanapun Voldemort adalah muridnya dan ia punya tanggung jawab moral untuk meluruskannya? Tapi...., Albus menggeleng resa, itu tidak mungkin. Kematian Voldemort bukan di tangannya, sekeras apapun ia berusaha. Dan, yang terpenting ia bukanlah orang yang tepat untuk tugas itu. Albus tahu dengan pasti, berkat pengalaman hidupnya yang pahit.

MATE SERAPHIM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang