Unconcious as wine

50 13 6
                                    

Walau kupandang jauh,
Dia dekat,
Memabukkan,
Air mataku, tetes darahku, ataupun pelukanku
Semuanya,
Milikmu.
Tapi...
—                       
Aku terus memandang pantulan dari diriku di cermin. Apakah ada yang kurang dariku? Terus kupandangi sebuah concealer yang tergeletak diatas meja. Ingin kuoleskan di hidungku yang sedikit membiru. Benar-benar sial, di hari sebelum datingku yang kesekian kalinya, adikku menghantam wajahku ke tempok kamar. Sederhana, kami berebut samyang yang limited edition di supermarket depan rumah. Siapapun katakanlah, relakah kalian samyang seharga 20 won, dimana kalian rela tidak mengeluarkan uang jajan selama seminggu demi membelinya, tiba-tiba kandas dan akhirnya membusuk di perut orang lain? Nelangsa. Baiklah terlepas dari itu, aku ingin penampilanku hari ini sempurna.
Hujan yg tadinya dengan deras mengguyur kota kecil ini mulai berdamai dengan jadwalku hari ini. Kencan. Oh aku lupa. Namaku Hyun Ra On, seorang semi introvert berkepribadian ganda bukan bipolar oke? Semua orang memandangku suka belajar, dan tidak ada waktu untuk Quality time. Good. Aku mempunyai seorang kekasih. Iya, memang kenapa jika seorang semi introvert sepertiku mempunyai seorang kekasih? Apa salah? Tidak 'kan? Dia seorang atlet bola voli, seseorang bertubuh jangkung dan agak kekar. Dia sedikit tampan dimataku. Tapi, sayangnya kami menjalani Long Distance Relationship. Dia baru lulus tahun lalu. Namanya? Ah, tunggu dulu. Nanti, aku akan menceritakannya.
Baiklah, cukup basa basinya, dengan segala keraguan kuoleskan concealer untuk menyamarkan memar di hidungku. Bayangkan, dia sangat suka dengan hidungku. Menggemaskan, katanya. Oh, aku menunggunya mengatakan itu semenjak enam minggu yang  lalu. Aku merindukan sentuhannya. Seperti biasa, dia memabukkan dengan aku yang selalu salah fokus ke otot-ototnya yang menyembul meskipun ia mengenakan jaket. Gadis sialan! Kenapa aku selalu begitu hmm.
Jam menunjukkan pukul tiga lebih enam belas menit. Aku berangkat ke tempat yang dijanjikan. Sederhana, kami hanya ingin bertemu melepas rindu. Di tempat ramai, pastinya. Aku suka, ketika bertemu dengannya, karena dia selalu melakukan hal-hal diluar ekspektasi yang membuatku merinding dan terbang ke langit.
"Eomma, aku berangkat. Nanti pulang pukul enam petang." Ucapku pada ibu yang sedikit terlrlap.
Dengan mengenakan sandal berpita hitamku dan berjalan menuju halte. Oh. Aku hampir terlambat, aku pun berlari mengejar waktu berharap dia tak menungguku lama. Rupanya dewi fortuna sedang berpihak padaku. Begitu aku sampai di halte, sebuah bus tiba seakan menungguku. Aku naik dengan tergesa. Dan dengan nafas yang terengah, aku kembali memeriksa dandananku. Sandal berpita hitam, rok panjang hitam, dan blus merah marun. Kuharap tatanan rambutku baik-baik saja. Aneh, aku tidak biasa memperhatikan penampilan tapi begitu aku dihadapkan dengannya, bagaikan seseorang yang terkena hipnotis. Aku memperhatikan segala tetek bengek pada diriku. Dari wajah sampai kaki. Hmm.
Saat sampai di pemberhentian halte berikutnya, aku segera keluar dari benda besar berwarna biru tersebut. Dan tanpa menunggu waktu lama, aku segera beranjak dari sana dengan berlari ke arah restoran tempat yang dijanjikan. Dapat kulihat seorang lelaki tinggi duduk menunggu di sepedanya, walau hanya punggungnya yang terlihat. Dia tampak memainkan ponselnya—entah—mungkin ia tengah mengetik sesuatu di ponselnya. Kuarahkan kakiku berjalan mendekatinya, kemudian menepuk punggung lebar dan tegap yang berbalut jaket hitam tersebut.
"Oppa!" (Mas..)
Sedikit terkejut, dia menoleh kearahku. Dengan senyumnya, ia memberi sebuah isyarat untuk menunggunya memarkir sepedanya. Menunggu? Tidak. Aku sudah menunggunya sejak empat puluh empat hari yang lalu. Aku tidak kuat. Aku sengaja mengikutinya hingga ke parkiran. Entah apa dia peka atau tidak ketika aku terus memandangi segala gerak-geriknya.
"Hei, didalam sana ramai," katanya menyadarkanku dari lamunan.
"Huh? Oh, tidak masalah. Aku ingin float," jawabku sambil memandangi gedung restoran.
Dia menghela napas sejenak. Kemudian merogoh saku celana dibagian belakangnya. Ia mengeluarkan sebuah dompet berbahan kulit dengan warna hitam. Dan tak lama, ia memberiku sepuluh won dan memintaku pergi membeli float sendiri. Baiklah, setidaknya aku tidak terlihat seperti gadis yang mudah di suap dengan uang untuk membeli sesuatu.
Ketika aku membuka pintu restoran, memang lumayan ramai tapi tidak terlalu sepi juga. Beranjak menghampiri meja kasir yang bergabung dengan meja pesan, aku menyebut kembali jenis minuman apa yang kuinginkan. Setelah kudapatkan segelas float, aku kembali menghampirinya. Oh God, dia berdiri, menyandar pada dahan pohon—yang memang ada di depan restoran—dan dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam kantong depan celananya. Aku menyukainya. Entah mengapa aku selalu mengagumi tubuh jangkungnya yang tinggi. Aku tersenyum, kemudian berjalan mendekatinya.
"Tidak terlalu ramai. Di situ saja bisa," celetukku.
Entah hanya perasaanku saja, ia memandangiku. Dan, menjawab sekenanya dengan senyumnya yang hanya aku yang tau dimana manisnya.
"Oke, kita masuk saja." Dia kemudian melangkah, namun sempat saja melabuhkan tangannya ke mukaku. Sialan. Tapi, meskipun begitu, aku selalu menyukai sentuhannya. Dia benar-benar memabukkan. Aku pun mengekor dibelakangnya. Hanya dengan melihat punggungnya saja, sudah membuatku berdebar tak karuan.
Kami memasuki restoran. Restoran Ayam, iya. Asal tahu saja, kami bisa pergi kemana pun. Terserah itu dimana saja, yang terpenting ada makanan. Kami duduk di tempat yang lebih dekat dengan pintu masuk, tetapi juga tidak dalam kerumunan. Dia memesan segelas coffee float dan kentang. Ia duduk didepanku, sambil mengaduk-aduk float yang sudah dipesannya.
"Masih dingin. Aku akan meminumnya jika ini sudah tak dingin lagi,"katanya.
"Tunggu saja sampai tujuh keturunanmu, minuman itu tak akan berubah menjadi hangat seperti yang kau pikirkan," jawabku asal. Oke, kata-katanya memang selalu membuatku sebal, tapi juga gemas.
Dia hanya tersenyum kecil. Kemudian keadaan menjadi hening, karena baik aku dan dia sama-sama terdiam. Menikmati minuman masing-masing yang telah di pesan. "Hei, apakah hari senin bisa bertemu lagi? Aku akan melatih voli di sekolah," katanya tiba-tiba.
"Baiklah, Namjoon Oppa," jawabku sambil tersenyum.
Kim Namjoon. Seseorang yang memabukkan seperti... oh seperti apa saja. Waktu berjalan. Tapi, kami membahas beberapa hal yang tidak penting.
"Entah sihir apa yang mengenaiku. Aku bisa renang!" Ceritaku dengan semangat yang meluap-luap, ketika mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.
"Mungkin saja karena kau kemasukan arwah seorang atlet renang," katanya sambil lalu dengan tawa aneh dan masih dengan mata yang fokus menatap pada ponselnya.
Ada apa dengannya? Dia bahkan tak menatapku. Sibuk sekali dengan ponselny Ia tiba-tiba mendekat. Aku membulatkan mata, menahan rasa terkejut. Belum sempat rasa itu mengilang, tiba-tiba ia mengecup bibirku. Dengan mata yang masih membulat seperti bulatan bola kasti dan dengan bibir yang kaku, aku memandangnya tak percaya. Tunggu, apa dia baru saja mengambil ciuman pertamaku? Ah, mati saja aku!
"Hei, apa kau mengaktifkan paket internetmu?" tanyanya.
Aku mengerjap. "Hah? Eum, Kenapa?"
"Berikan aku hotspot-mu. Sebentar saja. Aku ingin meng-update permainan get rich." Jawabnya polos.
Dengan kesal aku meraih ponselku, dan mengaktifkan paket data dan hotspot. Kuharap dia tak menggunakan data roaming-nya. Jadi, aku rela menunggu siang dan malam selama empat puluh empat hari hanya untuk memberikan hotspot untuknya? Biarlah. Sesuka hatinya. Dia memandangku sambil senyum. Apa-apaan itu? Apa menurutnya aku akan luluh? Aku bahkan nyaris mual. Menyadari itu, Nam Joon menarik tanganku dan menggenggamnya dibawah meja. Entah ia menyaridari atau tidak, wajahku memerah. Layaknya besi yang terbakar. Juga layaknya seorang peminum yang terus meminum alkohol hingga mabuk. Cukup lama aku mendamba sentuhannya, yang sangat terasa hangat dan menenangkan, ia kemudian menjauhkan tangannya. Kehangatan itu tiba-tiba saja hilang tak berbekas.
Ia berseru senang, kemudian menggumam, "terima kasih, sayang." Namjoon kemudian melirikku. Menaikkan salah satu alisnya keatas. "Apa kau tak pernah bermain permainan seperti ini?" Ia berdeham. "Ingin mencobanya?"
Aku mencebik. "Apa sebegitu asyiknya, bermain permainan itu?"
"Mampus!" Ia mengumpat, kemudian tak beberapa lama memekik kegirangan, "—karakter baru!"
Dia mulai kembali tak mengacuhkanku. Aku mendengus. Dab dengusan kesal mendadak keluar, ketika Namjoon melirikku dengan mata berbinar.
"Ra On-ah, ayo main," rengeknya, sambil dia menarik-narik tanganku seperti anak taman kanak-kanak. Untuk kali pertama selama aku berhubungan dengannya, aku illfeel dengan Namjoon. Dengan kesal, aku menyetujui ajakannya. Mencoba memperbaiki duduk agar mendapatkan posisi nyaman di sampingnya, aku mulai memainkan permainan yang bahkan sama sekali aku tak mengerti bagaimana cara memainkannya.
Lima belas menit, dia terasa seperti orang gila—setidaknya itu menurutku. Dimulai dari kakinya yang terus bergoyang, bibirnya yang sesekali mencibir bahkan mengumpat, juga dahinya yang sudah lembab dikarenakan oleh keringat. Walaupun tampak menjengkelkan, dia sangat tampan dan juga menyenangkan. Aku mulai larut dengan suasana yang sedang terjadi. Menatap wajahnya selalu membuatku mendadak disorientasi pada sekitar. Kami tertawa-tawa di restoran dan aku dengan modus kelelahan bersandar di bahunya.
"Sialan! Ternyata ini belum ter-update se—" gumamnya terputus, karena melirikku melalui ujung matanya.
"Hei, Ra On-ah, kembalilah ke bangkumu. Aku mulai merasa bosan," katanya lesu.
Aku beranjak menuju bangku-ku yang semula, dengan hentakkan kaki yang terdengar. Aku mendengus sembari menempatkan pantatku ke kursi kayu. Aku meliriknya, melalui celah bulu mataku. Kuliat, Namjoon kembali mengaduk floatnya dan tak lama menyeruputnya. Aku mendesis gemas. Dasar bocah! Mulutnya belepotan, sial aku gemas. Aku hanya diam menatapnya, berharap dia akan segera sadar dari tingkah konyolnya, karena krim yang bersarang di bibirnya. Ia melihatku, salah satu matanya mengedip kemudian tersenyum manis—terlalu manis hingga membuatku takut.
"Kau lihat mukutku belepotan?" tanyanya, kemudian kembali menyeruput float dan belepotan. Seharusnya aku kesal, namun, aku justru tengah berusaha dengan keras menahan tawa melihat sifat kekanakannya. Namjoon, Kubunuh kau setelah ini!
"Tidak." Jawabku singkat.
"Benarkah?" Ia kembali mengacaukan kekacauan di depan mulutnya. Hingga aku nyaris frustasi, dan sudah tak tahan lagi.
"Oke. Aku melihatnya." Putusku mengalah. "Bersihkan bibirmu."
"Bersihkan," katanya manja, nyaris merengek. Ia mencondongkan tubuhnya, dan mendekatkan wajahnya padaku. Aku nyaris menyemburkan tawaku di depan wajahnya ketika melihat kekacauannya dengan jarak sedekat ini. Aku menghela napas, kemudian meraih tissue. Dan, dengan tenang mengelap bibirnya yang belepotan. Namun, tiba-tiba ia meraih tanganku. Mendekatkannya ke arah bibirnya dan mengecup punggung tanganku.
Aku mencebik. "Pencari kesempatan!" Celetukku, dengan tangan yang masih sibuk membersihkan kekacauan bibirnya yang belepotan.
Bunyi dari lonceng di pintu berbunyi. Seorang pelanggan datang lagi. Oh, sepertinya bukan pelanggan, karena kali ini adalah sebuah keluarga dengan seorang anak kecil. Namjoon yang kembali sibuk dengan ponselnya mengalihkan perhatian ke arah anak kecil itu. Memang menggemaskan, tapi entah kenapa kulihat dia seperti seorang pedofil. Seorang pria dewasa yang sangat tertarik dengan anak kecil. Ya, seperti itu, walaupun dia memang sebenarnya penyuka anak kecil. Waktu kembali berjalan, sejenak saja dia memperhatikan bocah kecil tadi dengan gemas. Namun setelahnya, kembali meminum float-nya yang memang sudah hancur karena ulahnya sendiri.
"Hei, sudah pukul lima. Apa kau ingin pulang, sekarang?" tanyanya, dengan tiba-tiba membelai rambutku dengan lembut.
Aku lelah. Iya, aku lelah hari ini. Apa dia tidak merindukanku? Aku kalah dengan gamenya dan seorang anak kecil. Kutepis tangannya yang membelai lembut rambutku. Kemudian aku memasukkan seluruh barangku—ya walupun hanya ponsel dan sebuah novel saja.
"Oke, ayo pulang," sahutku datar.
Aku meliriknya. Sempat aku menangkap raut heran diwajahnya dengan kening yang mngernyit, ketika melihat responku. Aku kesal memang. Apa aku tak bisa bermanja dengan kekasihku sendiri? Aku selalu dimanja ketika bersamanya. Tapi lihatlah hari ini, aku lelah karena tak diacuhkan olehnya seperti ini.
Aku mengikutinya keluar dari restoran dan berjalan kearah parkiran—dimana tempat sepedanya terparkir. Dia biasa mengantarku pulang setelah kencan. Dia menatapku sejenak, meneliti wajahnya dan tercenung sesaat, seakan menyadari wajahku yang semakin terlihat lesu.
Aku mengerjap. "Eh, mana, ya?" Aku baru menyadari jika sapu tangan kesayanganku tak ada di dalam tas kecil.
"Apa yang sedang kau cari, sayang?" tanya Namjoon.
"Hah? Ah, A—aku mencari—"

Ucapanku menggantung bersamaan dengan sebuah benda lunak kembali menyapa bibirku. Mataku kembali membola melihat mata Namjoon yang terpejam dengan jarak tak terhitung di depanku. Wajahku memanas, hingga menguap keseluruh tubuhku.
Tidak lama memang. Karena hanya kecupan, bukan ciuman. Namun, sentuhan itu berhasil membuatku seperti merasakan ribuan mega watt listrik menyapa tubuhku. Juga membuat waktu berhenti untuk sejenak. Aku berdiri mematung didepannya, dan menurunkan wajahku—melihat pijakan kakiku di trotoar—karena tak berani menatap matanya. Kurasakan tatapannya seakan menghujamku, hingga membuatku menunduk.
Kudengar ia berdeham. "Ra On-ah, maaf."
"Apa aku mengecewakanmu hari ini?" tanyanya dengan suara yang terasa amat bersalah.
"Aku memang tak pandai membuatmu terkesan. Tapi, percayalah. Aku mencintaimu, Ra On-ah," ucapnya yang membuat jantungku berdentum dengan keras.
Aku mendongak. Memandang matanya yang memang selalu menjadi kesukaanku setelah senyum dan sentuhan dambaanku. "Lalu, mengapa saat aku ingin bersandar, kau justru menolak?" tanyaku lirih.
"Kau tahu, bahwa aku juga menginginkannya. Tapi, aku merasa tak nyaman dengan orang didepan kita. Kau tahu 'kan?" Namjoon memandangku dengan tatapan ngeri. Membuatku nyaris tertawa, sebelum memutar kembali pengamatanku pada restoran itu. Kembali mengingat orang yang sedang dibicarakan oleh pria itu. "Seorang gadis dengan dress merah muda. Dia sepertinya tak memounyai kekasih hingga dia terus mengamati kita, sedari kita masuk," ucapnya setengah mencibir. Ia kemudian menghela napas, kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya. "Maafkan aku, sayang."
Parkiran yang sepi itu menjadi saksi bisu, untuk kesekian kalinya aku kembali mabuk karenanya. Namjoon menarikku secara tiba-tiba. Kemudian ia melingkarkan tangannya di bahuku. Memelukku dengan erat, kemudian suara berbisiknya mengusik telingaku. "Aku mencintaimu. Dan, selalu mencintaimu. Hyun Ra On."
Aku tersenyum. Membalas pelukannya tak kalah erat. Ia kemudian mengecup puncak kepalaku, berkali-kali. Dan aku harus ingatkan sekali lagi, Kim Namjoon, kau benar-benar memabukkan. Seperti Cherry Wine.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 21, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cherry WineWhere stories live. Discover now