"Om," Arletta menyapa sambil tersenyum dan sedikit mengangguk pada om Alvin.

"Oh, ya. Mari makan Arletta," sahut om Alvin hangat.

"Iya om,"Arletta menarik kursi kosong untuk diduduki. Saat tante Neara hendak mengambilkan nasi untuknya Arletta menolak dengan sopan. "Nggak pa-pa tante, aku bisa ambil sendiri,"

"Nggak pa-pa, biar sekalian. Segini nasinya kurang nggak?"

"Nggak tante, kebanyakan malah,"

"Owalah, ini udah sedikit loh. Diet?"

"Nggak, kok. Emang kadang suka kekenyangan kalo makan kebanyakan,"jawabnya. "Atta nggak makan, tante?" Arletta tanya, sekedar untuk basa-basi agar tidak terlalu kaku. Tapi ada secuil rasa ingin tahunya juga sih.

"Belum turun,"

"Oh," jawaban standar Arletta sebelum mulai makan, tak lupa berdoa lebih dulu, hal-hal kecil yang selalu di ajarkan mama-papanya, dan selalu ia terapkan setiap saat dan tak ingin lupa.

Tak lama kemudian Atta masuk keruang makan, cowok itu memakai kaos hitam polos dan celana santai sedengkul, lalu menarik kursi persis berseberangan dengan Arletta.

"Bun, Atta mau bilang sesuatu, penting nggak penting sih, cuma pengin ngasih tahu aja," katanya sambil duduk.

"Ngasih tahu apa?"

"Atta masih bernafas,"

Hmm! Bundanya menatap Atta kesal, "udah? Itu aja? Nggak guna kamu itu," kirain mau ngasih tahu apa. "Udah sholat isya kamu?"

"Udah,"Atta menjawab singkat sambil mengaduk nasi kepiringnya.

"Bener?"

Dengan santai dan tanpa dosa Atta menjawab "Kemarin,"

"Kemarin?!" Neara melotot. "Emangnya kamu makan kemarin hari ini nggak perlu makan? Kemarin tidur hari ini nggak tidur? Kalau boker kemarin cebok hari ini nggak cebok?!"

"Hehe..." Atta nyengir sambil menggaruk kepala.

"Nggak usah nyengir!"

Bibir Atta langsung terkatup rapat seketika.

"Kamu itu udah jadi bujang, sholat jangan nunggu diingetin orang lain. Kalau jadi suami kamu bakal jadi imam rumah tangga! Perempuan yang baik bakal nyari suami yang rajin ibadah"

Atta menatap ayahnya. "Yah, ada niatan ganti istri nggak sih?"

"Bilang apa kamu tadi?"Neara langsung berdiri dan menjewer, Atta mengaduh sakit, mana keras lagi. "Kurang ajar ya! Kamu pikir bunda kurang apa hah? Kamu pengin ayahmu menceraikan bunda dan nikah lagi biar kamu punya ibu baru? Memangnya kamu pikir ada orang lain yang mau punya anak kayak kamu?!" Jeweran itu semakin keras.

"Iya. Iya. Iya. Ampun. Ampun. Ampun,"

Melepaskan jewerannya Neara lanjut menoyor kepala Atta "jaga ucapanmu!" kemudian duduk dan menghela napas kasar sambil matanya melirik Atta tajam. "Awas aja kalo nggak sholat. Sholat kok harus di ingetin mulu,"

Alvin geleng-geleng kepala melihat adegan istri dan putranya. Tidak heran, ini sudah biasa terjadi. Alvin hanya perlu istighfar dan mengelus dada. Semoga Allah menormalkan otak bocor istri dan anaknya.

Arletta tak tahan untuk menahan senyum, bibirnya berkedut samar, memunduk dan pura-pura sibuk dengan makanan.

Atta mengusap telinganya yang merah dan terasa sangat panas. Lalu menjejalkan makanannya kedalam mulut. Sambil mengunyah ia melempar pandang pada Arletta yang menunduk tapi kentara menahan tawa.

Merasa diperhatikan Arletta mengangkat wajah, dan menemukan Atta yang sedang memandanginya terang-terangan, lalu matanya mengerling dibarengi senyum. Hampir saja Arletta tersedak, tapi tidak jadi, dia masih kuat. Arletta kembali menunduk, kali ini untuk menyembunyikan wajahnya yang mendadak terasa panas dan merona, lalu dengan gugup menyelipkan helaian rambutnya ketelinga, padahal rambutnya diikat. Dia mati gaya.

"Biasa aja lihat Arletta-nya," Neara menimpuk Atta dengan serbet.

Atta berdecak. "Heran deh,"

"Heran apa?!" Neara melotot.

"Itu matanya masukin dulu, nanti jatuh,"

Next...

Atta & Arletta Where stories live. Discover now