Lembar 1. Desa Saya

17.4K 1.7K 578
                                    

            Nama saya Ndalu Subuh. Dulu simbok memberikan nama ini semata-mata karena saya lahir di malam hari, pada pertengahan antara malam dan subuh. Lebih tepatnya dini hari. Hari kamis legi. Neptu telulas. Hitungan tiga belas, kamis delapan, legi lima. Pasarannya lintang alias bintang. Dalam penanggalan Jawa, anak yang lahir hari kamis legi biasanya memiliki sifat welas asih. Baik hati. Sabar. Senang membantu orang lain. Saya ngikut saja ucapan orang tua. Ndak boleh ya saya meragukan ucapan orang tua. Dosa. Masuk neraka nanti. Begini-begini saya ini juga takut dengan neraka. Di buku cerita dulu gambarnya fenomenal sekali.

Saya tinggal di salah satu lereng gunung Merapi. Simbok saya masih ada kerabat dengan Mak Lampir, tahu ndak? Ah, maaf! Dulu saya sering nonton film yang itu. Saya ini penggemar berat Misteri Gunung Merapi. Pokoknya misteri-misteri begitu sangat menyenangkan. Saya fans akut Sembara. Mas Sembara itu ganteng, setia pada istrinya, lalu sakti mandraguna. Ah, soal saya tinggal dan punya kerabat dengan Mak Lampir, itu bohong! Maaf... Maaf.... Saya bukannya tinggal di lereng gunung Merapi, tapi saya ini tinggal di pesisir pantai selatan. Saya ndak berani, lah tinggal di lereng Merapi. Nanti kalau gunungnya meletus bagaimana? Simbok sudah ngungsi jauh sebelum saya lahir, takut kena letusan.

Dan akhirnya di sinilah kami tinggal sekarang.

Pesisir pantai selatan pulau Jawa. Saya dan simbok tinggal berdua. Simbok jualan ikan di pasar, saya jadi asisten nelayan. Saya ndak ikut melaut, tapi saya ikut jual ikan-ikan itu di pelelangan. Begitu...

Di desa ini ada sebuah mitos dan juga bisa disebut legenda. Saya ndak berani menyebutnya sebagai takhayul. Takut dikira menistakan simbol-simbol Jawa nanti. Meski saya ini lelaki yang taat beragama, tapi saya ndak mau mencampuradukkan hal yang memang ndak bisa diaduk.

"Kalian tahu, dulu ada sebuah cerita menyakitkan di desa kita?" Pak Kampung mulai bercerita. Kami sudah berkumpul sehabis sholat maghrib. Setelah mengaji, kami mulai berkumpul melingkar di sekitar Pak Kampung.

Pak Kampung ini pinter cerita. Kalau dibukukan mungkin ceritanya bisa sampai lima season, ndak tamat-tamat karena ada saja yang baru. Beliau juga gemar mengajari kami ngaji selepas maghrib. Ngaji-nya macam-macam. Mulai ngaji iqro' sampai kitab kuning. Pak Kampung ini pengalamannya banyak sekali.

"Menyakitkan seperti apa, Pak?" Kami bertanya penasaran. Lah, namanya saja anak-anak, ya wajar toh kalau sukanya tanya-tanya. Kepo. Penasaran kalau ada hal-hal baru.

"Kalian dengarkan, yo? Pak Kampung akan cerita menyakitkan dan mencekam sekarang."

"Serem ndak, Pak?"

"Ya namanya mencekam yo pasti serem, lah!"

"Bisa buat mimpi buruk?"

"Ya tergantung."

"Bisa ngintilin kita ndak, Pak setan-setan itu?" Anak-anak lain berkasak-kusuk heboh.

"Kan kalian sudah diajari berdoa untuk mengusir setan."

"Pak... Pak..."

"Ya?"

"Kapan ceritanya?"

Pak Kampung juga harus sabar. Keren, toh? Pak Kampung ini salah satu tokoh yang diberkati beberapa kemampuan sekaligus. Pinter ngaji, pinter ndongeng, sabar, pinter nawar dagangan, tapi sayangnya Pak Kampung ini masih jomblo sampai tua.

"Kalian dengarkan!" Pak Kampung berdehem.

Kami ingat, hari itu Pak Kampung menceritakan sebuah kisah yang membuat pemikiran saya berubah. Dari tarikan napas Pak Kampung, kisah itu sampai di telinga kami.

Segawon ShacklesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang