Dendam Itu Tuli Part 9

402 19 0
                                    

"Demikianlah Kayana, Wuni, aku berharap kalian nantinya tidak salah jalan dan bisa menggunakan apa yang kalian punya untuk kebenaran. Semoga cerita ini bisa menambah wawasan kalian", lanjut Kiai Alas Jabungan.

"Baik Guru..", Jawab mereka berbarengan.

"Lalu bagaimana guru bisa mengalahkan atau paling tidak bisa membuat orang berjenggot putih itu melarikan diri?? Bukankah ilmu Watu Abang tidak bisa dilawan dengan ilmu Cakra Banyu??" tanya Arya Kayana heran

Kiai alas Jabungan tersenyum, "Bukan tidak bisa mengalahkan ngger. Ilmu watu abang dan Cakra Banyu adalah ilmu yang sebanding. Jika ilmu itu berbenturan dengan tenaga dalam yang sama maka kemungkinan akan sampyuh. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Bahkan jika dipaksakan keduanya bisa sama sama mati ngger. Namun, untunglah ngger, bahwa kelihatannya orang itu belum menguasai benar intisari ilmu Watu Abang."

Arya Kayana dan Candana Wuni mengangguk-angguk..

"Namun..". Wajah Kiai Alas Jabungan menjadi berkerut dan menampakkan kekhawatiran. "Jika orang itu kemudian mampu menemukan intisari dari Ilmu Watu Abang, maka sungguh akan sangat membahayakan".

"Ilmu Cakra Banyu yang berintisari dingin dengan Ilmu Watu Abang yang berintisari panas akan menjadi kekuatan yang menakutkan di tangan orang yang salah".

Kiai Alas Jabungan menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Aku tidak menyangka bahwa ilmu itu ternyata masih ada pewarisnya"

Melihat hal itu Arya Kayana dan Candana Wuni hanya terdiam.

Kemudian Kiai Alas Jabungan mendesah pelan. "Mereka harus dihentikan. Dengan kedua ilmu itu ditangan mereka, maka kerusakan akan berkobar di bumi Jawa ini".

"Lalu bagaimana cara menghentikan mereka eyang? Bukankah ilmu cakra banyu saya dan kakakng Arya Kayana tidak bisa mengalahkan ilmu Watu Abang", tanya Candana Wuni.

"Apalagi jika ilmu itu digabung dengan ilmu watu abang", sahut Arya Kayana.

"Ah iya, Kau lupa Wuni, bukankah Guru tadi bilang bahwa orang yang memiliki Ilmu Watu Abang itu belum sepenuhnya menguasai intisari ilmu tersebut. Sehingga guru dengan ilmu Cakra Banyu dengan tingkatan penguasaan intisari tertinggi bisa mengalahkannya. Betul begitu khan guru??. Arya Kayana mencoba menjawab pertanyaan Candana Wuni.

"Yah begitulah Wuni. Tapi..". Tiba-tiba Perkataan Kiai Alas jabungan terhenti karena mendengar suara adzan dari mesjid padepokan.

"Sudah tengah hari rupanya. Tak terasa bahkan kita belum makan pagi...", Candana Wuni bergumum sendiri.

"Yah baiklah..kita sholat dulu. Kemudian habis makan siang kalian coba lihat apa saja yang sudah dikerjakan para cantrik."

"Baik Guru", jawab Arya kayana.

"Setelah sholat ashar nanti kita akan lanjutkan pembicaraan ini".

Arya Kayana dan Candana Wuni mengangguk. Arya Kayana dan Kiai Alas Jabungan segera pergi ke mesjid. Sedangkan Candana Wuni itu segera pergi ke kamarnya yang berada di belakang pendopo.

--------------------------

Setelah sholat dhuhur dan makan siang bersama, maka Kiai Alas jabungan, Arya kayana, dan Candana Wuni melihat apa yang sudah dilakukan oleh para cantrik.

Terlihat bahwa sisa kebakaran telah dibersihkan. Yang tersisa hanyalah warna hitam pada tanah dimana Sanggar dan Gedhogan berdiri sebelum dibakar.

"Kelihatannya sudah bersih eyang, tinggal kita menunggu para cantrik lain yang sedang menebang pohon di hutan belakang".

"Kau benar Wuni..", berkata Kiai Alas Jabungan sambil matanya melihat sekeliling padepokannya.

"Guru..", tiba-tiba Arya kayana menyela.

"Apakah tidak sebaiknya kita membangun pagar batu yang lebih tinggi di sekeliling padepokan. Kita memang padeopkan yang menjunjung tinggi akan kedamaian. Namun tidak semua orang berpikiran sama. Peristiwa semalam telah membuktikannya..."

"Kakang Arya benar eyang.. dan sebaiknya kita juga membangun gardu peronda di empat penjuru mata angin. Gardu yang cukup tinggi yang bisa melihat apa yang ada di kejauhan.."

"Kalian benar.. kelihatannya mereka akan kembali walau tidak dalam waktu dekat. Pastinya orang yang semalam melawanku akan lebih dahulu mematangkan kembali ilmunya...". Kiai Alas jabungan terdiam.

"Dan jika itu terjadi maka akan sangat berbahaya", desis Kiai Alas jabungan perlahan.

"lalu apa yang harus kami lakukan guru??", Arya kayana menatap gurunya yang tampak sedang berpikir keras

Suasana Nampak hening. Tak ada pembicaraan diantara mereka bertiga. Yang terdengar kemudian adalah suara para cantrik padepokan yang sedang mempersiapkan pembangunan sanggar dan gedhogan baru.

"baiklah..perintahkan para cantrik untuk membuat pagar batu mengelilingi padepokan setinggi 4 depa. Bangun juga gardu peronda yang tinggi di empat penjuru mata angin...!!!"

Perintah itu mengejutkan Arya kayana dan Candana Wuni. Berbarengan mereka mengangguk.

"Setelah sholat ashar nanti kita bicara lagi...". Sebelum itu aku akan di kamarku dan jangan ganggu aku"

Arya Kayana dan Candana Wuni hanya bisa diam dan mengangguk. Dalam hati mereka penasaran, tidak biasanya orang tua yang begitu mereka hormati itu bertindak seserius itu. Mereka saling berpandangan dan kemudian bergegas menemui para cantrik.

------------------------

"Bagimana dengan kuda-kuda kita Kayana..?", Kiai Alas jabungan membuka pembicaraan sore itu.

"Hanya diketemukan 1 ekor guru. Yang lain entah kemana.."

"Hmmm...jadi kuda kita sekarang tinggal 4 ekor" gumam Kiai Alas jabungan

"Benar Guru", Arya kayana mengangguk pelan.

Pembicaraan ringan itu terhenti sejenak ketika Candana Wuni dating sambil membawa minuman. Wedang Jahe panas dan ketela rebus. Nikmat.

"Ini baru yang namanya hidup... jahe membuat hidup lebih hidup..Ayo mana Wuni", canda Kiai Alas Jabungan sambil terkekeh ringan.

"Tunggulah eyang..Sabar. Kalau berjalan cepat aku nanti bisa tersangkut jarik dan jatuh.. ga jadi deh minum Jahenya" ujar Candana Wuni genit.

Mendengar dan melihat tingkah Candana Wuni, kakek tua itu semakin terkekeh...

Arya kayana yang berdiri di hadapannya hanya bisa tersenyum.

Maka setelah jahe dan ketela rebus dihidangkan. Mereka dengan suka cita mulai menikmati hidangan ringan itu.

Sore yang cerah. Matahari mulai berayun dan condong kebarat. Warna cahayanya yang mulai kemerah-merahan menambah suasana sore menjadi lebih indah.

Udara begitu sejuk mengalir masuk ke pendopo. Suara burung-burung yang beterbangan hendak pulang ke sarangnya menambah kemerduan alam.

Begitu damai...

"lihatlah ngger...begitu damai alam ini.." gumam Kiai Alas jabungan lirih

"Aku tidak menyangka bahwa..". Perkataan Kiai Alas Jabungan terhenti ketika tiba-tiba terdengar salah seorang cantrik berteriak sambil berlari ke pendopo..

"Kiai...kiai..." cantrik itu berteriak-teriak


Bayangan Semar di Kaki Gunung LawuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang