Prolog

13 0 0
                                    



Angin malam berhembus pelan dari luar jendela. Merebak masuk membawa hawa dingin ke dalam kamarku yang hangat. Suasana sudah kembali sepi, pesta ulang tahunku telah berakhir beberapa jam yang lalu. Aku menutup gagang telepon dengan gemetar. Air mata sepertinya telah membasahi kedua pipiku. Aku benar-benar tidak menduga kejadian seperti ini akan terjadi pada hari ulang tahunku yang ke-17. Tepat hari ini, 13 Desember 2013.

Dia sosok ayah yang baik, bertanggung jawab, sabar, pintar, humoris dan berbagai sifatnya sangat aku kagumi. Aku menyayangi ayah bahkan melebihi aku menyayangi ibuku. Kata teman-teman aku adalah anak papa. Tapi sekarang tidak akan ada lagi sebutan seperti itu karena Tuhan telah mengambil ayah dariku. Aku sangat menyesalinya, tapi apalah daya aku hanya seorang anak manusia yang tidak bisa menggugat keputusan Tuhan.

Aku menoleh ke pojok ranjang. Disana tergeletak sebuah kotak kosong dengan bungkus kado yang telah kurobek sembarangan, juga laptop putih versi terbaru lengkap dengan dosbuk dan chargernya. Di sebelah laptop itu tergeletak pula sebuah gulungan kertas berwarna kuning kecokelatan yang diikat dengan pita merah.

Aku berjalan mendekati barang-barang itu, meraih laptop dan merengkuhnya dalam pelukan. Air mataku kembali bergulir, dadaku terasa sesak dan aku menangis sesenggukan dalam diam. Ini semua hadiah ulang tahun dari ayah. Beberapa jam yang lalu bahkan aku masih bisa merangkul dan menciumnya. Berbincang dengannya, bercanda dan tertawa bersama.

"Ayah, aku menyayangimu..." gumamku dalam tangis. Kemudian kuletakkan laptop itu kembali di atas ranjang. Kini tanganku beralih kepada gulungan kertas kuning yang diam membeku.

"Sayang, ini wasiat. Jangan buka kertas ini sebelum umurmu genap dua puluh tahun!" Itu kata ayah pagi tadi saat memberikannya, aku masih ingat dengan pasti. Awalnya aku merajuk pada ayah, memohon agar aku diberi izin membuka kertas itu sekarang. Tapi ayah tetap tidak mengizinkan.

"Kamu masih kecil, masih 17 Tahun. Belum waktunya, Sayang" kata ayah sambil tersenyum dan memegangi pundakku lembut. Pada akhirnya aku mengalah dan menurut.

Seekor burung gagak menjerit di luar sana, menyentakkanku dari bayang-bayang kehadiran ayah yang masih sangat lekat dengan ingatan. Burung itu memang tampak berkeliaran di sekitar rumah beberapa hari belakangan. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa mitos tentang burung gagak itu ternyata benar. Dia pertanda kabar kematian.

"Aku akan menuruti wasiat ayah..." gumamku lirih. Air mata kembali menganak sungai tanpa bisa lagi dibendung. Ada ruang kosong dalam hatiku. Ruang yang seharusnya menjadi tempat ayah tinggal.

Aku harus menunggu, benar-benar menunggu sampai usiaku genap 20 tahun. Menunggu 3 tahun lagi.

"Michi, sayang?"

Seseorang memanggil. Aku segera menoleh ke asal suara dan mendapati seorang wanita tua berdiri di ambang pintu.

"Nenek?" kudengar suaraku parau. "Ada apa?"

Nenek hanya tersenyum ringan. Ia berjalan pelan ke arahku kemudian membelai rambut panjangku lembut. Kulihat nenek tampak memperhatikan gulungan kertas yang ada dalam genggamanku.

"Dari ayahmu, ya?" tebak nenek. Aku mengangguk.

"Tapi Michi belum boleh membacanya sekarang. Tunggulah sampai hari ulang tahunmu yang ke dua puluh."

"Bagaimana nenek tahu?"

"Sebaiknya kertas ini disimpan dulu." Nenek sepertinya mengacuhkan pertanyaanku. Sejurus kemudian ia mengambil alih kertas itu. Memasukkannya ke dalam kotak kosong bekas tempat kado dan meletakkannya di atas almari pakaian.

"Akan aman disini sampai waktunya tiba." Nenek berbalik dan tersenyum.

Aku semakin tidak mengerti. Sepertinya ada sesuatu yang telah direncanakan dibalik semua ini.

"Sekarang, ayo kita ke rumah sakit melihat jenazah ayahmu." Nenek merangkulku, meminta tubuhku beranjak berdiri bersamanya. Meski hati ini terasa begitu pilu dan berdarah-darah, aku tetap harus melakukannya. Ini kesempatan terakhirku melihat wajah manusia paling kuhormati.

"Ayah..." Aku menyebut kata itu penuh rasa sakit. Air mata tak mau berhenti.

"Kau harus sabar Michi. Kau pasti akan bisa bertemu dengan ayahmu lagi."

"Tapi, Nek. Ayah sudah_"

"Ssshtt!" nenek segera menempelkan telunjuknya pada bibirku. "Ayo berangkat!" ajaknya.

Aku hanya mengangguk dan menurut saja. Semua kejadian ini membuat otakku tidak bekerja dengan baik. Tiga tahun lagi, mungkin semua akan terungkap.


Gulungan Kertas WasiatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang