"Siapa yang peduli?"

Sehun menarik napasnya panjang. "Lupakan." Sehun menatap ke penjuru kelas yang sudah mulai terisi penuh. Ia memangku dagunya, lalu bertanya kembali. "Kau punya SNS?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Malas."

Lagi, Sehun menarik napasnya. Malas, terserah, tidak, jawaban yang gadis itu keluarkan begitu simple hingga membuatnya kesal. Dia mengerti sekarang kenapa orang-orang sering jengkel karena jawaban yang terdengar tidak peduli dan malas tahu darinya. Ia benar-benar merasakannya sekarang.

Selang berapa menit kemudian, bel berbunyi. Seorang pria gemuk dengan tinggi yang kurang dari 160cm masuk ke dalam kelas. Kaca mata membingkai di mata sipit itu. Walau memiliki mata yang sipit, tetapi tatapan matanya sungguh tajam dan menakutkan.

"Keluarkan tugas kalian."
Sekali lagi Sehun mendengus. Lagi-lagi sebuah tugas. Jangan tanyakan tugas padanya. Berada hingga pelajaran berakhir saja sudah merupakan keajaiban.

"Sial!" Yoona mengumpat.

Sehun melirik Yoona lalu tersenyum kecil. Well, dia memiliki teman yang tak mengerjakan tugas seperti dirinya. Langsung saja, Sehun berdiri dan menarik Yoona bersama dengannya keluar dari kelas sebelum interupsi keluar dari kelas terdengar dari mulut sang guru. Sekali lagi, mereka harus membolos.
.
.
.
Setelah menarik napas yang sama-sama tersenggal, keduanya memutuskan utntuk duduk bersandar di bawah pohon yang rindang dengan mata yang memandang langit berawan. Tempat itu baik, untuk menenangkan dir, dan juga melarikan diri.

"Jadi kau tipe orang yang malas mengerjakan tugas yah?"

Yoona mendesis. Suara Sehun terdengar seperti ejekan baginya. "Kau pikir aku sepertimu. Aku hanya tak tahu jika ada tugas. Kau lupa? kemarin kita tak mengikuti satu pelajaran pun."

Similar angin menyapa lembut tubuhnya. Yoona terpejam. Tak buruk Sehun menariknya paksa menuju belakang sekolah. Setidaknya, dia bisa merasakan angin sejuk yang menenangkan dan terasa sangat nyaman.

Untuk berapa menit yang lama, Sehun terdiam. Menatap Yoona dengan pertanyaan-pertanyaan yang berada dalam benaknya sejak kemarin. Angin sepoi-sepoi menerbang halus rambut kecokelatan itu, memperlihatkan wajah yang membuat Sehun semakin dibuat penasaran dengan ekspresi datar tanpa kesakitan itu.

"Tentang keluargamu, kau mengatakan mereka tak peduli denganmu, kan?" Secara pelan dan suara yang tak memaksa, Sehun bertanya.

"Ya, mereka tak peduli denganku."

Melihat tak adanya keberatan dalam menjawab pertanyaannya, Sehun kembali membuka mulutnya. "Jika 'mereka' tak peduli padamu, kenapa mereka membiarkanmu tinggal? Mereka bahkan menyekolahkanmu di sekolah yang mahal."

Yoona tersenyum kecil, pertanyaan yang sama yang selalu ditanyainya dalam dirinya. kenapa mereka menahannya? Kenapa mereka menyekolahkannya? Dan semua pertanyaan membingungkan itu terjawab dengan kenyataan yang menyakitkan. Alasan dari semua itu adalah karena Nicole.

"Nicole memiliki penyakit jantung. Sejak kecil, ia lahir dengan jantung yang lemah yang membuatnya tak bisa melakukan banyak aktivitas. Aku bisa mengatakan dengan yakin, bahwa tanpaku, Nicole pasti akan kesulitan. Terkadang aku menjadi pengganti kaki dan tangannya. Aku membantunya saat melakukan pekerjaan berat, mengerjakan tugasnya, menjadi tameng jika ada orang-orang yang ingin mengganggunya. Untuk itu, aku selalu ditempatkan di sekolah yang sama, agar aku bisa mengawasi Nicole setiap saat dan menolongnya. Ayah Nicole kaya, mereka tak akan masalah jika itu menguntungkan Nicole." Semua keluar dari mulutnya dengan tenang. Tak ada kemarahan atau kesedihan dari suaranya. Yoona hanya sudah sangat muak untuk menangis meratapi nasibnya.

"Apakah sakit?" tanya Sehun.

"Apa?"

Sehun melirik Yoona sendu. "Memanggil ayahmu sendiri dengan sebutan ayah Nicole."

Mendengar itu, Yoona menggeleng pelan. "Akan lebih sakit jika aku memanggilnya ayah."

Sehun melirik Yoona. Perempuan itu terpejam tak menunjukan ekspresi apapun. Dibalik sikap yang cuek dan terlihat sedikit dingin, Yoona menyimpan rasa sakit hati yang dalam. "Jika aku jadi kau, aku pasti sudah melarikan diri dari rumah itu."

Yoona tersenyum samar. "Aku memang akan melakukannya. Tapi setelah sekolahku selesai."

"Wah kau benar-benar memanfaatkan uang mereka dengan baik."

Yoona tertawa kecil. Ucapan sarkas Sehun tak berarti apa-apa. Itu nyata jika dia memanfaatkan ekonomi mereka dengan baik. Cukup bodoh jika dia harus meninggalkan rumah dengan uang yang tak seberapa dari ibunya. Uang sekolah, tempat tinggal, biaya makan dan keperluan sehari-harinya tak akan cukup dengan uangnya. Untuk itu Yoona bertekad menyelesaikan sekolahnya dengan nilai yang baik lalu kemudian mencari pekerjaan yang menerima ijazah SMA. Jika nilainya cukup baik maka Yoona akan mencari beasiswa sambil bekerja. Yang harus dilakukannya adalah sedikit bersabar dan belajar lebih giat lagi.

"Kau memberikan nomorku pada Yura Unnie, kan? Terima kasih."

Sehun tersenyum kecil. "Sepertinya kalian sudah akrab hingga kau memanggilnya unnie. Tapi, untuk apa berterima kasih?"

"Karna kau telah memberikan nomorku padanya. Aku senang mengobrol dengan kakakmu, menyenangkan rasanya."

Sehun mengkerutkan keningnya, "Kenapa?"

"Kau tahu, untuk pertama kalinya ada orang yang mendengarkanku dan percaya padaku. Selama ini, aku selalu dikelilingi rumor buruk, saat aku ingin menceritakan yang sebenarnya, tak akan ada yang percaya padaku. Tapi tidak dengan kakakmu, dia baru mengenalku dan langsung percaya padaku."

"Masih ada satu orang."

"Apa?" Yoona mengalihkan pandangannya. Menatap Sehun dengan kening yang berkerut bingung.

"Aku juga percaya padamu."

Deg!

Tak perlu lebih dari sedetik ketika darahnya berdesir hebat. Jantung yang selama ini berdetak normal itu bergerak sangat cepat. Kata-kata itu bekerja sangat ampuh untuk membuat sarafnya lumpuh seketika. Kata-kata yang selalu ingin Yoona dengar dari orang-orang. Yoona menatap Sehun intens. Tenggelam kedalam pasang mata yang menatapnya. Pria dengan tatapan tegas dan alis yang melengkung indah, membuat sorot matanya begitu menggairahkan.

AloneWhere stories live. Discover now